Aku tergeragap. Kutatap sejenak seraut muka penuh brewok yang tersenyum kepadaku, lalu aku mengangguk, memperbolehkan ia memanggilku Zahra seperti yang ia inginkan.
"Terima kasih, Zahra."
Yeah, dia satu-satunya orang yang memanggilku Zahra. Kedengarannya... ya... manis juga. Kembali lagi, mungkin karena dia satu-satunya, dan yang pertama kali.
Kenapa tidak memanggilku sayang saja sekalian?
Eh?
Dan itu membuatku tersenyum. "Sama-sama, Ustadz. Eh, maksud saya, sama-sama, Mas Ilham."
"Biasakan, ya," tegurnya. "Lagipula saya ini memang bukan ustadz, kok. Bukan seorang ustadz dalam arti pendakwah yang menyiarkan agama ke mana-mana, dari masjid ke masjid. Bukan, kok. Saya hanyalah seorang tenaga pengajar yang mengajarkan salah satu mata pelajaran agama di sekolah madrasah. Alias guru. Kan sama sepertimu. Sama-sama tenaga pendidik. Iya, kan?"
Tapi aku mengajar seni dan budaya modern. Bukan mengajarkan pendidikan agama.
Aku mengangguk. Kusambut perkataan Ustadz Ilham dengan senyuman. Setidaknya dia telah mencoba memberitahuku bahwa dia bukanlah sosok seorang ustadz yang membuatku parno akan poligami yang seolah menjadi tradisi. Tak ada gunanya membantah. Dan aku berpikir keras, bagaimana mengubah haluan pembicaraan ini? Membawanya seperti tujuanku yang seharusnya: memastikan bahwa Ustadz Ilham merupakan sosok yang akan pro atau justru menolak poligami? Minimal untuk dirinya sendiri. Dan, untukku, seandainya kelak kami berjodoh dan aku menjadi istrinya.
Tetapi, bagaimana menanyakan pertanyaan itu supaya ia tak tersinggung dan mau menjawabku dengan jujur sejujur-jujurnya?
"Zahra," panggilnya. "Boleh saya bicara duluan?"
Aku mengangguk. "Silakan," kataku.
"Begini, mungkin kamu bingung bagaimana memulai obrolan yang pasti isinya sangat panjang kalau sudah kita bicarakan. Maksud saya, kalau kita membahasnya, pasti itu pembahasan yang akan sangat panjang. Jadi, biar saya yang memulai semua. Tapi kamu mesti berjanji dulu, kamu akan tetap di sini, jangan marah, dan jangan mengedepankan emosi. Bisa?"
Aku mengangguk lagi.
Ustadz Ilham berdeham lembut. "Sebenarnya, saya sudah tahu banyak tentang kamu. Abi dan Umi sudah menceritakan garis besar tentang kepribadianmu kepada saya. Semua garis besarnya."
"Oh," nyaris tak terdengar.
Pria itu mengangguk sebelum kembali membuka suara. "Abimu," katanya, "beliau juga sudah menyampaikan apa dan kenapa dia menginginkan kita berjodoh. Keinginannya supaya kamu bersuamikan pria baik yang siap membimbingmu menjadi pribadi yang lebih baik. Dan, yeah, termasuk keinginannya supaya kelak saya bisa membantu beliau di pesantren. Tapi... bukan itu yang menjadi asalan saya ada di sini. Bukan karena semata-mata saya ingin membantunya mengurusi pesantren. Sama sekali bukan itu."
"Lalu, apa?" potongku -- dengan nada pelan.
Dia meminum sedikit es teh di depannya, lalu kembali fokus kepadaku. "Karena harapan mereka, harapan yang juga menular kepada kedua orang tua saya. Sekali lagi, ini juga bukan harapan mereka tentang pesantren, tapi lebih ke dirimu. Anak gadis Umi satu-satunya. Itu yang membuat saya ada di sini. Demi ibumu, demi ibu saya, juga demi kamu. Tapi... saya juga tidak akan memaksamu untuk menerima perjodohan ini. Semua tergantung pada dirimu sendiri. Saya hanya ingin melakukan yang terbaik, yang bisa saya lakukan untuk perempuan-perempuan mulia yang menggenggam surga kita. Jadi, saya pikir tidak ada salahnya kalau saya mencoba mengenalimu lebih jauh dan menerima perjodohan ini. Ada banyak pihak yang akan bahagia atas hubungan ini. Tapi sekali lagi, bukan untuk dipaksakan."
Aku mengangguk, tanpa tahu mengapa harus mengangguk. Kutatap binar tulus di mata Ustadz Ilham dengan perasaan galau.
"Kamu gadis yang baik, Zahra," katanya melanjutkan. "Jauh di dasar hatimu, semua orang tahu kalau kamu orang yang baik, anak yang baik, kamu sayang kepada orang tuamu. Dan, tidak ada yang menyalahkanmu kenapa kamu... kamu mengerti maksud saya, kamu seperti... apa yang dijelaskan Abi dan Umi. Tidak ada yang menyalahkanmu atas semua itu. Semua yang ada pada dirimu. Toh, itu hanya pemberontakan yang bahkan kamu masih bisa mengendalikannya. Kamu masih di sini, di sisi kedua orang tuamu. Itu sudah cukup untuk membuktikan kalau kamu masih taat kepada mereka."
Aku terhenyak dengan kalimat terakhir itu. Serasa ingin menangis. Aku memang tak akan pernah sanggup menyakiti hati Umi dengan kabur, minggat dari rumah, apalagi mengajak Mas Imam kawin lari. Tak akan pernah.
Pelayan datang, membawakan dua porsi ikan bakar ke meja kami. Aku mengalihkan pandanganku ke tangannya yang bergerak cepat melakukan tugasnya.
"Ada lagi yang ingin dipesan?" tanyanya.
Aku menggeleng, Ustadz Ilham pun menggeleng. "Tidak, terima kasih," Ustadz Ilham menyahut. "Mari makan," katanya padaku, ia pun langsung menyendok nasi di piringnya. Aku turut melakukan hal yang sama.
Sambil menikmati makananku, aku berpikir, sungguh Ustadz Ilham sosok pria yang baik. Dia bersedia melakukan pendekatan hati kepadaku lantaran memenuhi permintaan ibuku, juga ibunya. Padahal dia sudah tahu soal garis besar kepribadianku yang tak sesuai dengan kepribadian seorang santri, apalagi kepribadian anak seorang kiai ternama. Kalau sebenarnya dia sudah tahu garis besar kepribadianku dan ia bisa menerima semua itu, apa perlu aku masih membeberkan tentang hal-hal yang tak sesuai itu?
Dan ini memicu ingatanku pada cerita Umi semalam. Katanya aku jangan pernah bertanya pada Ustadz Ilham soal pertanyaan yang kutanyakan padanya semalam: kenapa Ustadz Ilham belum menikah di usianya yang sudah matang dan malah bersedia dijodohkan denganku?
Kata Umi, Ustadz Ilham sudah pernah hendak menikah satu setengah tahun yang lalu. Namun, takdir berkata lain. Calon istrinya meninggal dalam jihad. Jihad yang tak dijelaskan Umi dalam bentuk apa dan seperti apa walaupun semalam aku sudah bertanya.
Dan sekarang, dia siap menata hatinya kembali dalam perjodohan ini: demi kedua ibu yang mulia itu. Menata hati kami bersama-sama? Atau bahkan dia sudah menyiapkan dirinya untuk menerima segala kekuranganku, plus cara yang mutakhir untuk bisa menyentuh hatiku?
Oh Tuhan... haruskah aku melakukan hal yang sama? Haruskah aku menerima perjodohan ini demi Umi? Aku sangat ingin membahagiakannya. Tetapi...
"Zahrah?"
"Emm?"
"Kamu diam saja. Apa kamu tidak suka saya bicara seperti ini? Kamu bisa bilang kalau ada bagian perkataan saya yang tidak sesuai dengan hatimu. Tidak apa-apa."
Aku yang sedang menyuapkan nasi ke mulut, menghentikan gerakanku. "Tidak, kok. Saya menerima dan menyerap semua yang Ustadz katakan."
"Mas Ilham!" tegurnya lagi.
"Oh, ya, maaf. Mas Ilham."
"Nanti kamu juga akan terbiasa."
"Yeah, em... pasti."
"Santai saja, Zahra. Kalaupun kita tak berjodoh, setidaknya saya bisa menjadi abangmu, kan? Saya bersedia menganggapmu sebagai adik. Adik kesayangan."
Eh?
Aku terkejut. Dia membuatku semakin merona.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Rifa Endro
adik !?? adik ketemu gede maksudnya ???
2023-11-16
0
Ismaul Yusuf
laaaaaaaaah kenapa aku yang lumer 😪
2022-05-28
3
Milah Kamilah
asyik... lanjut teroosss
2022-05-01
3