Kabut pagi masih menggantung di langit. Udara dingin seolah enggan beranjak dari muka bumi. Cericit burung terdengar riang menyambut mentari. Beberapa orang memanggul cangkul, dan perempuan-perempuan menggendong tenggok, sebuah bakul besar yang terbuat dari keratan bambu. Mereka terlihat berjalan dengan semangat di sepanjang jalan. Gemericik air yang berseling dengan nyanyian binatang sawah melengkapi pesona pagi.
Tapi sayang itu tidak berlaku untukku. Diriku seolah diselubungi oleh kabut yang tebal gara-gara mendengar permintaan Umi semalam. Ia mendatangiku ke kamar dan memintaku untuk bersedia berkenalan dengan Ustadz Ilham.
"Berkenalan saja dulu, Nduk. Siapa tahu nanti kamu suka dengan orangnya. Mau, ya?" kata Umi semalam.
Sambil merengut aku memunggunginya di tempat tidur. "Ogah!"
"Nduk, usiamu sudah cukup untuk menikah. Malah ndak bagus kalau kamu masih melajang. Kalau kamu sudah menikah, kamu ada yang menjaga. Terhindar dari fitnah."
Oh...aku menatap Umi dengan perasaan nelangsa. "Fitnah apa, sih, Mi? Siapa juga yang mau memfitnah Bila?"
"Nduk, Umi dan Abi tahu kalau kamu sering bertemu dengan lelaki yang bukan muhrimmu itu. Abi malu, Nduk. Umi kasihan pada Abi. Abi kan seorang kiai. Kamu mestinya bisa menjaga sikap dan menjaga jarak dengan lawan jenis. Jangan sering bertemu begitu."
Menyebalkan sekali, sih! Aku geram. "Jangan suka mendengarkan kata orang, Umi. Bila tidak melakukan apa pun yang bisa membuat Abi dan Umi malu. Bila cuma ketemu dengan Mas Imam. Cuma mengobrol, sebatas itu. Lagipula, kami bertemu di tempat ramai, bukannya menyepi berduaan. Kenapa mesti malu?"
"Tapi tetap saja, Nduk, itu membuat Abi malu. Kamu kan anak seorang pemuka agama. Kalau kamu sering bertemu dia, itu pasti menjadi omongan yang tidak mengenakkan."
Kesal. Kutatap ibuku itu dengan tajam. "Terus, kalau selama ini aku mendengar teman-temanku bilang kalau ayahku punya dua istri, itu tidak membuatku malu? Aku punya adik-adik dari ibu tiriku, itu tidak membuatku malu? Ibuku dipoligami, apa itu tidak membuatku malu? Iya, Umi? Kenapa kalian egois cuma memikirkan diri kalian sendiri, juga cuma memikirkan pesantren? Kenapa? Kenapa tidak pernah memikirkan perasaanku? Aku ini anak kandung kalian, kan? Pokoknya aku tidak mau menikah dengan seorang ustadz! Aku mencintai Mas Imam, dan aku mau menunggu Mas Imam. Titik!"
Ibuku meneteskan air mata. Gemetar.
Ya Tuhan, sungguh aku tidak sengaja telah menyakiti hatinya. Kuhela napas dalam-dalam, ikut menangis. "Bila minta maaf, Umi. Bila tidak bermaksud menyakiti hati Umi. Maaf...."
"Umi mengerti, Nduk. Tapi kamu juga harus mengerti. Kehidupanmu itu bukanlah seperti kehidupan gadis biasa. Kamu harus paham akan hal itu. Legowo, Nduk."
Aku tidak bisa legowo. Aku tidak suka diatur-atur. Aku ingin hidup seperti gadis biasa, Umi.
Dan itu yang kulakukan selama ini di dalam hidupku. Aku memang berhijab saat keluar rumah, namun hanya jilbab biasa, bukan yang panjang sampai ke pinggang apalagi sampai ke lutut. Sementara di dalam rumah, aku menanggalkan jilbabku. Aku kuliah di universitas umum, mengambil jurusan pendidikan seni, dan akhirnya mengajar mata pelajaran seni budaya di salah satu Sekolah Menengah Atas di Rembang.
Dalam mata pelajaran yang kuajarkan, aku mengajarkan murid-muridku tentang musik, namun bukan nasyid. Mengajar bermain alat musik, tapi bukan rebana. Aku mengajarkan seni lukis, tapi bukan kaligrafi. Bukan apa pun yang biasanya diajarkan di pesantren. Bahkan seni pentas, mementaskan drama biasa, bahkan drama kolosal, bukan tentang perjuangan umat dalam membela agama. Aku melakukan hal-hal yang sepenuhnya berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ustadz dan ustadzah di pesantren.
Huh! Aku sering menertawai diri sendiri. Adakah di luar sana anak seorang kiai, pemuka agama, tapi berkarakter sepertiku? Orang tuaku sukses menjadi suri tauladan bagi banyak orang, bagi para santri, dan bagi masyarakat di sekitar pesantren. Tapi mereka menjadi contoh yang gagal bagi anaknya sendiri.
Meski sejak remaja aku sering dijejali dengan nasihat-nasihat tentang hal-hal positif di balik keputusan poligami ayahku, tapi tetap saja, hatiku menolak. Aku ingin seorang wanita dimuliakan. Sebagaimana seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami, seperti itu juga mestinya para lelaki: mestinya kaum lelaki juga hanya boleh memiliki satu istri. Terkecuali, jika kasusnya jika ibuku tidak bisa memberikan keturunan bagi ayahku, aku akan mengerti. Tapi sudah ada aku, kan? Dia sudah punya anak. Aku. Aku satu-satunya yang mestinya ia sayangi. Ia perhatikan tanpa harus membagi perhatiannya kepada adik-adik yang bukan terlahir dari rahim ibuku. Ibuku tidak bisa memberikan keturununan lagi bagi ayahku, itu adalah takdir, bukan serta-merta kesalahan ibuku. Kenapa ia mesti dipoligami? Itu tidak adil baginya, juga tidak adil bagiku yang terpaksa berbagi ayah.
"Kamu mau, ya, Nduk? Berkenalan saja dulu. Nanti kamu boleh bertanya apa saja pada Nak Ilham. Kalau kamu tidak srek dengan jawabannya, kamu bilang pada Umi. Tapi kamu mesti jujur apa yang salah dari jawabannya yang tidak sesuai dengan hatimu. Bisa, kan, Nduk? Lakukan ini demi Umi? Ya? Tolong? Demi Umi."
Baiklah. Kupaksakan bibirku menyunggingkan senyum demi wanita yang kucintai ini. Pura-pura tegar, Bila. Demi Umi. Menurut saja dulu. Kuusap air mataku. "Orangnya tampan, tidak? Kalau tidak tampan aku tidak mau, ya. Boro-boro mau bertanya ini itu. Kalau dari tampangnya saja tidak sesuai kriteriaku, aku akan menolaknya. Tidak akan srek duluan."
"Tampan itu relatif, Nduk. Pokoknya temui saja dulu. Sekali lagi, lakukan ini demi Umi. Ya?"
Argh!
Semalam aku sudah mengiyakan permintaan Umi. Bagaimana aku mampu menolaknya jika saat bicara wajahnya bersimbah air mata? Dan siang ini aku mesti bertemu Ustadz Ilham. Dia akan datang berkunjung ke pesantren bersama kedua orang tuanya.
"Uuaaaaah...!" geliatku merentangkan kedua tangan sambil mengeluarkan napas dari paru-paru. Pegal-pegal terasa merambati kakiku.
Ya Tuhan, tak terasa aku sudah berjalan cukup jauh dari pesantren. Aku berada di pinggir sungai sekarang. Pemandangan yang terhampar di depan mata untuk sementara mampu membuatku lupa pada keadaan kakiku yang pegal dan sedikit perih, juga pegal di hatiku. Bebatuan berserakan di antara aliran sungai yang sangat jernih. Indah, dan menawan.
Aku terpesona. Kumaksimalkan kerja indra penglihatanku. Mataku merambah pepohonan rimbun di sekeliling lubuk yang berjajar seperti tentara mengepung banteng, menoleh ke kanan dan ke kiri berulang-ulang. Memang luar biasa indah.
Aku berdiri tegak sembari melempar kerikil kecil ke sungai. Menimbulkan irama kecipak yang merdu di telingaku.
Andai aku tak perlu berhadapan dengan situasi yang menyebalkan seperti ini. Andai Abi tidak memaksaku menikah dengan seorang ustadz. Andai aku diberi kebebasan memilih jodohku sendiri dan direstui menikah dengan Mas Imam. Andai....
Seperti zaman Siti Nurbaya saja, pikirku nelangsa.
Aku kembali melemparkan kerikil, kali ini agak besar. Irama kecipak yang dihasilkan pun lebih keras.
Baiklah, aku akan menemuimu, Pak Ustadz! Kita lihat, seberapa mampu kau meluluhkan hatiku? Ah, atau aku mesti membuatmu illfeel hinga kau juga akan menolak perjodohan ini? Wait and see. Silakan datang, Ustadz.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Afternoon Honey
wah menarik hati ini ceritanya 📖 💖
2023-08-19
0
Luthfi Natasa
bila itu takut hati nya tersakiti seperti umi nya kalau di bilang bila itu trauma
2022-06-26
1
Ristya Putri
Bila sudah trauma sebelum memulai,
2022-05-07
3