Aku mendongakkan kepala ke langit yang biru cerah dengan awan-awan putih bersih menggantung, menghiasi langit siang dengan panas matahari yang terik, serta burung-burung yang terbang menyerupai titik-titik hitam, berkelana dengan bebasnya. Suara musik pop mengalun merdu menemani siangku yang damai.
"Nduk, siang ini kamu ndak mau ke mana-mana, kan? Ustadz Ilham tadi meminta izin pada Abi mau mengajakmu pergi katanya," seru Umi dari ambang pintu, aku sedang bersantai di halaman belakang. Tempat privasiku.
Aku kikuk. Dia meminta izin pada Abi tapi tidak bertanya dulu padaku?
Hari itu jumat. Pesantren libur. Aku juga sudah pulang dari sekolah yang proses belajar mengajarnya hanya sampai jam sebelas siang. Kebetulan aku juga tidak punya rencana apa pun siang itu. Jadi, okelah, aku mengiyakan ajakan Ustadz Ilham kepada Umi. Tetapi...
"Memangnya mau ke mana, Umi? Dia bilang tidak dia mau mengajakku ke mana?" Aku menghampirinya ke dapur.
Umi menggeleng, ia masih sibuk dengan masakannya. "Tidak bilang tepatnya di mana. Tapi katanya mau jalan-jalan saja, kulineran. Nanti dia menjemputmu."
"Eh? Memangnya boleh, Umi? Tidak apa-apa, kah? Apa ndak Bila pakai motor saja, Mi?"
Ih, Umi malah menertawaiku. "Tidak apa-apa, Nduk. Baru pertama kali juga, kan? Kecuali kalau sudah keseringan, tidak enak dilihat orang. Lagipula kan kalian akan pergi atas izin Abi."
Apa karena dia seorang ustadz jadi dia dipercaya? Bukankah itu malah membuat lebih tidak enak? Bagaimana kalau orang-orang bilang kok ustadz hanya berduaan di mobil dengan seorang gadis? Kok Pak Kiai mengizinkan anaknya?
Ah, sudahlah pikirku. Toh, apa pun yang terjadi di dalam hidup, pasti akan ada para komentator yang siap menilai dan cuap-cuap seperti ikan yang mengerubungi umpan.
Ini juga untuk pertama kali.
Tanpa sadar, aku peduli pada status Mas Ilham sebagai seorang ustadz, jangan sampai ia menjadi bahan hujatan masyarakat hanya karena aku. Dan... kusadari bahwa selama ini aku tak pernah seperti ini pada Mas Imam. Bahkan kami sering bertemu dan ternyata pertemuan-pertemuan itu malah menjadi gosip terhangat, tapi malah ditujukan kepada Abi dan Umi. Bukan kepadaku atau kepada Mas Imam. Jelas, karena aku mengacuhkan segala macam hal-hal yang seperti demikian itu.
Kenapa aku peduli pada status ke-ustadz-an Mas Ilham? Aku menggeleng-geleng keheranan, tapi setelahnya aku menemukan jawabannya: sebab, dia memang seorang pemuda terhormat, dan dia layak untuk dihormati dan dihargai. Begitulah pikirku.
Beberapa menit berlalu. Aku sudah makan siang dan sudah berdandan. Yap, hari ini aku berdandan seperti apa adanya aku: tanpa gamis dan tanpa jilbab super panjang. Hanya dress lebar berlengan panjang dan jilbab merah jambu sebatas menutup dada. Aku sudah keluar dari kamarku ketika mendengar derum mesin mobil Ustadz Ilham terdengar di halaman depan.
Dan, sangat menyenangkan hati ketika kulihat ia di ruang tamu bersama Abi -- sebabnya Ustadz Ilham hanya mengenakan kemeja biasa berwarna biru muda dan pas badan. Lengan kemejanya pun di gulung hingga ke pertengahan lengan. Rambut hitam lebatnya tersisir rapi tanpa peci. Ia necis namun terkesan santai, ia juga hanya memakai sandal model pria, dan penampilannya itu sama sekali bukan seperti penampilan para ustadz pada umumnya. Dan...
Masyaallah... bulu-bulu di lengannya membuatku gemas pingin nyabutin satu-satu. Haha!
"Bagaimana?" bisik Umi saat aku menyusulnya ke dapur. "Benar-benar sesuai kriteria Salsabila Azzahra, bukan?"
Uuuh... Umi jadi suka sekali menggodaku. "Siapa yang mencarikan Bila sosok lelaki seperti aktor film begitu?" tanyaku.
"Abi yang mencari... tapi Umi yang mendikte detailnya. Eh, ketemu anaknya Pak Kiai Rahman yang masih lajang."
Well, secara fisik dia memang sesuai kriteriaku. Idaman para gadis pecinta drama dari negara timur.
"Jadi, sesuai bukan?"
"Ehm, yah. Secara fisik dia sempurna."
"Dan...."
"Dan apa?"
"Dia Ilham dari Tuhan."
Praktis, aku tertawa. Dasar Umi, bisa-bisanya ia mencetuskan kalimat itu. "Sudah, ah. Mendengarkan celotehan Umi nanti hari keburu sore," elakku. Aku tersenyum malu. "Bila pergi dulu, ya. Assalamu'alaikum, Umi." Aku mengecup pipinya, lalu mencium punggung tangannya.
Sepeninggalku, Umi tersenyum lega di belakang sana. Harapannya semakin besar.
Di depan, kami berpamitan pada Abi yang juga sama semringahnya dengan Umi. Yeah, baru begini saja mereka nampak sangat bahagia. Bagaimana kalau aku dan Ustadz Ilham benar-benar berjodoh dan menikah? Mungkin aku akan benar-benar seperti anak yang memberi mereka mata air dari surga.
"Nak Ilham, tolong jaga Salsabilanya Abi, ya."
Aku terenyuh. Kenapa Abi jadi ikut-ikutan bersikap manis?
"Siap, Abi," sahut si ustadz.
"Eh, kok manggilnya udah Abi aja?"
"Kan sudah dianggap anak," sahutnya lagi -- santai di depan Abi.
Senyum Abi bertambah semringah.
Aku tahu, kebahagiaan mutlak kedua orang tua adalah ketika anaknya mendapatkan hal-hak terbaik dalam hidupnya. Dan, yang menyenangkan hatinya adalah ketika si anak menuruti segala apa-apa yang telah mereka tetapkan. Yeah, sebenarnya aku pun turut bahagia melihat kebahagiaan mereka. Sungguh, sejatinya aku juga tak pernah ingin menjadi pribadi yang membangkang. Tapi bara kebencian di hatiku sulit untuk kupadamkan. Ia terlanjur berkobar dan menghanguskan sebagian jiwaku.
Andai, andai Abi tak pernah membiarkan anak perempuannya ini menyaksikan air mata ibunya yang menetes di sepanjang malam, mungkin aku tidak akan menjadi seperti ini.
Seperti ayahku, para pria itu hanya menggunakan dalil bahwa seorang suami boleh memiliki istri lebih dari satu, dan ia juga tidak memerlukan izin siapa pun kecuali sang istri, itu pun jika ia memintanya. Katanya sang istri mengizinkan, katanya sang istri ikhlas. Tapi mereka tidak menyadari, keikhlasan itu hanya Tuhan-lah yang bisa mengukur. Dan sepertiku, izin anak dianggap tidaklah penting, apalagi waktu itu aku masih anak-anak. Tapi sesungguhnya mereka tidak akan pernah tahu seberapa dalam luka yang telah mereka goreskan.
Mungkin juga mereka tidak akan pernah peduli. Walaupun peduli, apa gunanya sekarang?
Aku tersenyum dalam kesakitan. Namun melihat pria yang sekarang berada di sampingku, yang baru saja membukakan pintu mobilnya untukku, ada suatu kedamaian yang menyeruak di rongga dada, juga kenyamanan. Senyumku kembali mengembang tatkala aku teringat whatsapp-nya di waktu yang lalu. Dia tidak akan berpoligami seandainya ia menjadi suamiku. Dan ia menjanjikan kesetiaan -- yang hanya akan ia tujukan kepadaku.
Ilham dari Tuhan?
Kata-kata Umi mendengung di telinga. Menggelitik sanubari. Dan seperti yang disampaikan oleh Ustadz Ilham pada pertemuan kami sebelumnya, akan ada banyak pihak yang bahagia atas hubungan ini. Hubungan yang direstui.
Mungkin, mungkin saja benar. Mungkin dia memang Ilham yang dikirimkan Tuhan untukku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Oktavia
bagaimana jika dirimu mengalami apa yg dirasakan umi… tdk bisa punya anak ? harusnya itu dipertanyakan bila… jgn udah terbuai saja. kurang srek,,, gundah hati bila cepat terbuai
2022-06-18
2
Kejora Kejora
jangan sakitin bila dgn cara yang sama yang dilakukan abi kepadanya y mas ilham .. pleasee😭
2022-05-09
3
Milah Kamilah
klo aku d kasih jodoh kaya mas Ilham.. g bkl nolak 🤭🤭
2022-05-01
1