Semburat merah di pipiku membuatku tak berani mengangkat wajah. Aku tertunduk, menghabiskan bakso di mangkukku dalam diam. Seperti itu juga sisa waktu yang kami lewati, di sepanjang jalan, aku menatap ke luar jendela. Ekspresi senyum tertahan di wajah Ustadz Ilham membuat senyumku juga tak bisa berhenti mengembang.
"Zahra," panggilnya sebelum kami keluar dari mobilnya. Kami sudah berada di depan rumah. Mobil Ustadz Ilham baru saja berhenti dan terparkir.
Aku menoleh, memandang seraut wajah tampan di depanku.
"Jika kamu masih menyimpan pertanyaan, kamu boleh menyampaikannya kapan pun. Jangan sungkan untuk menghubungiku. Ya?"
Aku mengangguk, dan senyumku kembali mengembang. "Ya. Nanti akan kuhubungi. Emm maksudku... aku akan menghubungi Mas Ilham kalau ada sesuatu yang ingin kutanyakan."
"Oke."
"Em, kalau begitu aku--"
"Boleh aku meminta satu hal?"
"Oh, apa itu?"
"Istiqharah, ya, please?"
"Istiqharah?"
"Ya, untuk meyakinkan hatimu."
Aku mengangguk. "Inshaallah," kataku.
"Semoga Allah segera memberikan jawaban untukmu. Dan apa pun hasilnya nanti, aku akan ikhlas. Kalaupun kamu bukan jodohku, aku akan tetap mendoakan yang terbaik untukmu, dan berharap semoga Allah memberikan jodoh lelaki terbaik untukmu. Lelaki yang bisa memuliakanmu sebagai seorang perempuan, dan yang menghargai Abi dan Umi sebagai kedua orang tuamu."
Aku tersenyum. Kata-kata itu terdengar begitu tulus. Ada haru menyusup ke dalam hatiku. Pelan-pelan kutata kata-kata. "Terima kasih doa tulusnya, Mas. Dan... aku janji," kataku gugup. "Aku... aku akan istiqharah. Aku juga berharap... semoga Allah akan menunjukkan pilihan yang terbaik."
"Aamiin."
Aku sejenak terpaku, memandangi wajah tampan yang menenangkan itu. Betapa tulusnya ia hingga memintaku menunaikan salat istiqharah supaya hatiku yakin untuk nenerima atau menolak perjodohan ini. Kalau aku tidak mendapatkan jawaban sama sekali, bagaimana?
"Aamiin."
"Aamiin yang sama, kan?"
"Eh? Em, yeah... sama. Inshaallah sama, Mas."
"Aku berharap, akulah jawaban dalam istiqharah**mu."
Aamiin. Aku tertawa. Riang. Seriang burung-burung yang melintasi awan, terbang beriringan menghias biru angkasa. Biru yang sebentar lagi mengelam terwarnai senja.
Suara azan asar lamat-lamat terdengar dari kejauhan. Abi pun keluar dari pintu depan dan Ustadz Ilham menyuruhku masuk. Dia hendak ikut ke masjid bersama Abi.
"Assalamu'alaikum, Zahra."
"Wa'alaikumussalam, Mas Ilham."
"Saranghae."
Aku diam tanpa komentar. Kalau tak ada Abi, aku akan tertawa sampai ngakak. Aku bahagia, bertemu sosok seperti dia. Ustadz Ilham yang... nyaris sempurna.
Kesempurnaan hanya milik Allah, Zahra.
Sungguh aneh, aku tak bisa berhenti tersenyum hingga malam. Tersenyum-senyum di depan kaca, mengerjap beberapa kali. Bertopang dagu pada meja riasku yang lebar. Yeah, malam yang tak sepenuhnya kelam. Ada bintang-bintang bertaburan, menyinarkan kemilau cahayanya.
"Cieee... yang sedang jatuh cinta."
Ya ampun... sekarang Umi senang sekali menyambangiku ke kamar malam-malam, masuk diam-diam ke kamarku dan menggodaku seperti itu.
Aku tersipu. "Ah, Umi ini, bisa saja." Buru-buru aku beralih ke tempat lain. Pura-pura membereskan buku-buku di meja kerjaku.
"Memang indah, ya, kalau sedang jatuh cinta sungguhan."
Aku memijat keningku, menyembunyikan senyumku dari Umi. "Apa itu maksudnya sungguhan?"
"Ya sungguhan. Bukan hanya sekadar pelarian."
Pelarian? Maksudnya perasaanku ke Mas Imam? Terserahlah, pikirku. Terserah Umi mau menilai seperti apa.
Tapi memang benar. Yang kurasakan pada Ustadz Ilham itu bukan sekadar rasa biasa. Ia meliputi segalanya: termasuk rasa kagum dan rasa hormatku, dan aku menghargainya sebagai pemuda yang baik, berbudi pekerti yang baik dan berakhlak mulia.
"Umi, Bila mau bertanya sesuatu."
"Apa, Nduk?" Ia duduk di sofa kamarku.
"Misal, ini misal, lo, ya. Jangan dianggap--"
"Iya, misal apa?"
"Misal... aku... menikah dengan Mas Ilham. Kira-kira, nanti Abi akan meminta kami tinggal di sini, atau kami boleh tinggal sendiri? Eh, apa nanti dia akan mengajak Bila tinggal di rumah orang tuanya, ya?"
Umi malah terkikik.
"Apa sih, Umi...?" protesku.
"Kamu lucu, sih. Kenapa bingung sendiri begitu?"
"Sudah... jangan dibahas. Jawab saja pertanyaan Bila."
Umi meredam tawanya sembari menghampiriku, lalu meraih dan menggenggam tanganku. "Umi minta kamu tinggal di sini, ya? Temani Umi. Kalau kamu pergi, Umi akan sendirian lagi kalau Abi sedang tidak di sini."
Ya Tuhan, keinginanku untuk keluar dari lingkungan pesantren selama ini terpatahkan begitu saja sekarang. Bagaimana saat dulu, saat aku kuliah dan tinggal di kota? Umi pasti sangat terluka.
Hiks! Tak tega rasanya melihat mata Umi berkaca-kaca. "Mau, kan, Nduk? Temani Umi sampai tua, ya? Nak Ilham kan masih punya adik laki-laki yang bisa menemani orang tuanya. Umi cuma punya kamu."
"Ya, Umi. Bila akan temani Umi selamanya. Bila akan kasih Umi cucu yang banyak supaya Umi tidak kesepian. Ya? Jangan menangis."
Tapi aku sendiri malah menangis. Air mataku tak terbendung, tapi aku bahagia melihat seulas senyum mengembang di wajah ibuku.
"Nanti Bila bicara dengan Mas Ilham. Bila yakin dia tidak akan keberatan tinggal di sini."
Astaga... mulut dan otakku tak satu frekuensi.
Mata Umi yang tadi berkaca sekarang berbinar-binar. "Memangnya kalian sudah sepakat menerima perjodohan ini?" tanyanya antusias.
Dan saat itulah aku tersadar atas kekeliruan ucapanku. Aku nyengir, lalu menggaruk-garuk kepala. "Iya, ya, Mi. Kan belum ada kesepakatan." Aku jadi terkikik-kikik sendiri.
"Ya, sudah. Umi aminkan kalau begitu."
Kusimpan senyum dalam hati, dan mengaminkan harapan Umi.
"Oh ya, Mi. Apa Mas Ilham tahu hubungan... emm maksud Bila, apa Mas Ilham tahu tentang Bila dan Mas Imam?"
Umi mengangguk dan mengiyakan. Dan aku sontak tertohok sendiri. "Umi yang cerita. Tapi Umi meyakinkannya kalau antara kamu dan Imam itu hanya sebatas teman. Umi benar, kan, Nduk?" Umi beringsut lebih dekat, ia memegang bahuku lembut dari depan, lalu menghadapkanku ke arahnya. "Kamu tidak marah pada Umi, kan?"
"Tidak, kok. Umi tidak perlu khawatir."
"Alhamdulillah...."
"Terus, bagaimana tanggapan Mas Ilham waktu itu?"
"Kamu mau tahu apa katanya? Katanya... dia akan memperjuangkanmu selama kamu belum dikhitbah oleh lelaki lain. Gentle sekali, kan? Lelaki idaman."
Uuuh... aku kembali terkikik. Nampaknya Umi lebih antusias daripada aku. Seperti ia saja yang sedang diperjuangkan cintanya.
Well, selepas Umi keluar dari kamarku, tepat jam sebelas malam, tapi aku belum berniat beristirahat. Masih terperangkap dalam manisnya perkenalan ini.
Kuusap wajahku yang mulai terasa dingin. Aku tersenyum kepada bintang, kepada sang malam. Membasahi tangan, berwudu. Lalu berdiri tegak, mengangkat kedua tangan, mendongakkan kepala, memohon kepada Sang Penegak Langit. Memanjatkan doa.
Istiqharah. Mencari Ilham-Nya.
Aku ingin tahu, bagaimana cara yang Mahakuasa menunjukkan jawaban atas pilihan itu kepadaku? Dan bagaimana aku akan tahu saat Dia memberitahuku?
Tapi entah kenapa aku yakin, Ilham dari-Nya pasti akan datang kepadaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Deliana
aaaahhhh mas ilham,, andai saja aq dpt sperti mas ilham,, uda ganteng sholeh lg... pasti sneng bnget...
2022-04-18
1
Lia liana
lama lama baper aku baca novel mu Thor, gak nahannnn 😍😍
2022-04-17
1
Zegiaisyah
as ilham😘
2022-04-12
3