Hari berganti pagi. Sinar sang surya mengintip dari celah-celah dedaunan. Langit biru tampak cerah tanpa gelantungan awan. Udara pegunungan masih dingin. Harum segar khas tanah usai tersiram hujan semalaman tercium samar-samar.
Aku baru saja hendak duduk di kursi meja makan ketika ponselku berdenting.
》 Assalamu'alaikum, Zahra.
Serta merta wajahku berseri-seri. Whatsapp dari Ustadz Ilham pagi-pagi begini sudah menyapa dari layar ponselku.
《 Wa'alaikumussalam, Mas Ilham.
》 Hari ini ngajar, ya?
《 Ya. Full sampai siang.
》 Sip. Semangat, ya, Zahraku.
Eh?
Kok dia sudah mengaku-ngaku, sih? Dasar Ustadz gombal. Aku nyengir lebar.
《 Trims....
》 Saranghae....
《 ♡
Ah, aku yakin tidak akan kelar kalau aku terus menerus membalas whatsapp-nya. Kusimpan kembali ponselku ke dalam tas dan aku mulai sarapan.
Pagi ini, aku mengajar seni musik di kelas sebelas. Mengambil nilai dengan ujian bermain alat musik dan bernyanyi. Benar-benar pagi yang indah dan membuat semangatku kian membara. Murid-muridku sudah siap dengan keantusiasan yang membumbung tinggi di atas kepala mereka.
"Adriana," panggilku.
Remaja belia yang cantik dan bertubuh mungil yang menempati urutan pertama daftar presensi di kelas itu bangkit dari bangkunya, dengan gitar di tangan kirinya, dan juga selembar kertas lirik lagu yang akan ia persembahkan di tangan kanannya, kemudian ia menyerahkan selembar kertas itu kepadaku.
Saranghae.
Nah, lo? Apa ini? Hatiku bergetar saat melihat kata itu pada judul lagu yang hendak dinyanyikan oleh Adriana. Aku menggeleng-geleng sendiri.
Ini bukan apa-apa, Bil. Hanya kebetulan saja. Ini pasti bukanlah jawaban istiqharahku. Masa iya baru sekali istiqharah aku sudah diberi petunjuk?
"Bu?"
"Eh, ya? Ada apa, Adriana?"
"Saya sudah siap. Boleh saya menyanyi sekarang?"
"Oh, iya. Please, silakan, Adriana."
Dan, lagu itu pun mengalun merdu dari suara tinggi Adriana yang berhasil menjadikan hatiku bak taman bunga yang sedang bermekaran. Indah sekali. Menghibur dan menentramkan.
"Saranghae...." Adriana memberikan lambang love dari jemarinya ketika tepuk tangan teman-teman sekelasnya menemaninya turun dari mimbar aula.
Lebih dari itu, fenomena aneh yang terjadi berikutnya ialah pada saat jam pulang sekolah. Motorku, yang tak pernah bermasalah selama ini tahu-tahu starternya macet siang itu. Dan kendalanya adalah aku tidak bisa mengengkolnya terlebih dengan sepatu model heels yang kukenakan.
"Kenapa, Bu?"
Seorang murid laki-laki menghampiriku di parkiran. Aku mengenal wajahnya, walaupun tidak tahu siapa namanya, tapi aku tahu ia murid kelas dua belas IPS.
"Starternya macet. Bisa tolong diengkolkan, Nak?"
Dia mengangguk dan segera menolongku, diengkolkannya motorku dengan mudah hingga mesin motor itu meraung kembali.
"Terima kasih, ya. Untung ada kamu."
Senyum manis mengembang di wajah tampan nan cute anak itu. "Santai, Bu...." Dia menyapu debu imajiner di bahu kirinya ala cowok cool, membuat mataku terfokus pada nama yang tertera di sana. "Ilham datang, masalah hilang. Itulah aku."
Hatiku cenat-cenut. Aku mengulum senyum saat bayang-bayang wajah menenangkan milik Ustadz Ilham melintas di benakku.
Saranghae....
Dengan suara klakson berdentin sekali, aku meninggalkan pelataran parkir sekolah dan berencana mampir ke bengkel. Masalah besar jika aku mesti mengengkol motor itu setiap kali aku mengendarainya. Jadi ya sudahlah. Sudah waktunya ia kembali mendapatkan jatah servisnya.
Mungkin sebaiknya aku ke bengkel Mas Imam. Sekalian bicara dengannya mengenai hubungan tanpa status ini. Mau dibawa ke mana? Harus diakhiri dengan kejelasan dan itu akan menjadi lebih baik. Kalau memang tak bisa bersama, harapan itu mesti dipupus secepatnya. Aku mesti memberi kesempatan bagi diriku untuk membahagiakan Umi.
Yeah, Umi ingin melihatku bahagia bersama orang yang tepat. Dan aku ingin membahagiakan Umi dengan sebuah pernikahan sakinah, dan memberikan cucu yang banyak untuknya.
Kulajukan motorku melintasi aspal. Tak jauh dari gerbang sekolah, bengkel Mas Imam sudah nampak dan aku menghentikan laju motorku tepat di depan salah satu montir di sana.
"Eh, ada Mbak Bila. Siang, Mbak," sapa Adi. "Nyari Mas Imam, ya, Mbak?"
Aku tersenyum dan turun dari motorku. "Sebenarnya mau servis motor. Starternya macet, terus olinya sudah lama ndak diganti. Ya sekalian mau ketemu Mas Imam juga, makanya saya mampir ke sini. Orangnya ada, kan?"
Adi yang langsung menunggangi motorku langsung mengetes starter yang macet itu. "Mas Imam lagi ke gudang, Mbak," sahutnya tanpa menoleh. "Ndak tahu balik ke sini lagi apa ndak. Orangnya ndak bilang soalnya mau balik apa ndak."
"Oh, oke."
Ponselku berdering. Ada telepon masuk dari Umi.
"Mbak, motornya mau ditinggal atau mau ditunggu? Biar nanti saya antar."
Aku yang baru saja menggeser menu terima panggilan menyahut, "Saya tunggu saja, Di. Ndak lama, kan?"
"Siap, Mbak. Tak kebutin, yo."
Aku kembali fokus dengan sambungan teleponku. "Assalamu'alaikum, Umi."
Umi menjawab salamku dari seberang sana. "Kamu lagi apa, Nduk?"
"Mampir di bengkel sebentar, Mi. Servis motor. Starternya macet."
Terdengar Umi mengucapkan istighfar di ujung telepon. "Di bengkelnya Imam?"
"Ya, Mi. Tapi Bila benaran servis motor, kok."
"Ya, Umi percaya. Tapi kamu cepat pulang, ya."
"Iya, begitu motor Bila selesai diservis, Bila akan langsung pulang."
Tapi dari suara dan nada bicaranya, Umi terdengar gelisah. "Kabari Umi terus, ya."
Aku heran. Ada apa? Tidak biasanya Umi begitu. "Iya, Mi. Kenapa memangnya? Ada tamu?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Ndak, Umi cuma... ndak tahu kenapa kok rasanya gelisah. Kamu... ndak mau ngapa-ngapain, kan, ketemu Imam?"
Aku beristighfar dalam hati. Kemudian menghela napas dalam-dalam. "Iya, Umi. Benaran servis motor, kok. Sekalian kalau ada Mas Imam, Bila mau bicara sebentar."
"Mau bicara apa?"
"Cuma... mencari kepastian saja, Umi," suaraku merendah.
"Untuk apa si, Nduk? Kan ndak perlu...," suaranya terhenti.
"Mi, hanya kepastian, kalau ndak ada, Bila mau akhiri dengan cara yang baik."
Tapi Umi tak terdengar senang. "Perasaan Umi kok ndak enak, ya, Nduk? Umi minta Abi menyusulmu, ya?"
"Lo? Ngapain? Tidak usah. Abi kan lagi sibuk jam segini."
"Tapi Umi khawatir. Ndak tahu kenapa, Umi takut terjadi sesuatu."
"Inshaallah, tidak akan terjadi apa-apa. Husnuzhan saja, ya, Mi. Nanti Bila langsung pulang. Assalamu'alaikum."
Kira-kira dua puluh menit berlalu setelah aku menutup sambungan telepon, mobil Mas Imam terpakir di lahan kosong di samping bengkelnya. Dengan senyum ceria ia menyapaku. "Lumayan lama tidak melihatmu. Kangen aku, Bil."
Aku hanya menyunggingkan senyum.
"Servis motor?"
"Iya, Mas. Mau bicara dengan Mas Imam juga sekalian."
"O ya? Memangnya kamu membahas soal apa?" Dia baru saja menaruh beberapa onderdil motor, menaruhnya ke atas etalase lalu duduk di hadapanku.
Aku mendadak ciut. Tapi aku mesti membahas hal ini. "Tentang hubungan kita, Mas. Bagaimana? Apa masih...?"
"Bil...." Dia menghela napas dalam-dalam. "Kamu kan tahu sendiri bagaimana keluarga kita. Maaf, aku belum bisa menikahimu."
Bismillah. Saranghae Ustadz Ilham. Aku mengangguk, tanpa rasa sakit. "Tidak apa-apa, Mas. Tapi... maaf, mungkin... aku akan menerima khitbah dari seseorang. Aku harap...."
Dia nampak terluka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Deliana
smoga ikhlas y mas imam,,,,,,dgn kputusan bila..
2022-04-18
1
enur .⚘🍀
semoga imam bisa nerima keputusan bila,,dan berbesar hati melepas kan bila.
2022-04-06
5
𝙦𝙞𝙡𝙡𝙖 𝙋𝙆𝙓𝘿 🗿
kok aq ikut deg deg an kayak umi 🤪🤭
2022-04-05
3