Seperti apa yang ia katakan, sebelum pulang, Mas Ilham bicara pada Abi tentang gagasanku dan niatnya untuk menemaniku ke Solo. Dia meminta izin pada Abi untuk hal itu. Dan entah apa yang ia sampaikan pada Abi sehingga izin itu dengan mudahnya ia dapatkan. Kurasa, dia meminta pada Abi untuk memberiku kesempatan melakukan hal-hal untuk kebaikan. Proses perubahan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih berguna untuk keluarga. Kurasa seperti itu, dan ia pun memgatakan hal itu di depan kedua orang tuanya juga. Pasti itu juga yang membuat Abi segan untuk menolaknya.
Sementara aku diminta untuk masuk, aku lekas-lekas kembali ke kamarku, menemui Laila dan Laili yang sedang istirahat. Mereka sudah mandi dan berganti pakaian. Yap, sudah tak sekacau tadi.
"Malam ini kalian tidur di sini. Besok pagi, bantu bereskan kamar kosong, biar kalian bisa menempati kamar itu. Oke?"
Harus oke.
Mereka mengangguk. "Biar kami bereskan sendiri, Mbak. Tapi kami belum minta izin, ding, pada Pakde dan Bude. Kami mau menumpang tinggal di sini kalau boleh."
"Ya, nanti," kataku. "Umi dan Abi masih mengobrol di bawah. Nanti kita bicara sama-sama."
Aku yang tengah duduk di depan meja riasku langsung melepaskan hijab panjangku dan barulah mereka memerhatikan lenganku yang berada di gendongan tangan. "Mbak kenapa? Kok tangannya...?" Laila bingung.
Aku mengedikkan bahu. "Kecelakaan, Dik. Ketabrak motor beberapa hari yang lalu." Lalu aku teringat sesuatu. "Hei, Mbak mau tanya, tapi maaf, lo, ya. Mbak cuma nanya, karena Mbak peduli pada kalian."
"Mau tanya apa, Mbak?"
"Emm... itu, selama kalian tinggal di rumah... bapak tiri kalian, dia belum sampai benar-benar... kalian mengerti, kan, maksud Mbak?"
"Belum, Mbak," sahut Laila lagi. "Belum, kan, Li?" Ia mengedarkan pandangan penuh harap pada sang adik. "Dia belum pernah apa-apain kamu, kan? Kamu masih perawan, kan?"
Laili mengangguk, menangis lagi. "Belum sempat. Tapi nyaris," katanya seraya menyeka air mata. "Apa jadinya kalau sampai kejadian--"
"Dik...." Aku mendekat, merangkulnya dengan tangan kiriku. "Sudah, ya. Mbak cuma mau memastikan. Syukurlah kalian baik-baik saja."
Sungguh, jika kau punya anak perempuan, pikirkanlah ia sebelum kau memutuskan untuk menikah lagi. Bagaimana perasaannya? Siapa yang akan mengasuh dan membesarkannya jika ia tak tinggal bersamamu, ibunya? Dan, jika pun ia tinggal bersamamu dan suami barumu, bagaimana nanti setelah ia balig, di mana ia mesti tinggal? Benar-benar baikkah suami barumu yang notabenenya bukan muhrim bagi mereka -- untuk tinggal seatap bersama mereka setelah mereka dewasa? Seberapa kenal kau pada suami barumu sehingga merasa aman ia berada satu atap dengan anak-anakmu?
Hidup memang berat bagi kaum perempuan. Dan sungguh, jangan sampai apa yang terjadi pada Laila dan Laili, terjadi juga pada anak gadismu.
Naudzubillahiminzalik.
Utamakan perasaan anak-anakmu, bukan perasaan dirimu sendiri.
Afwan. Maafkanlah jika kata-kataku menyinggungmu. Sesungguhnya aku hanya ingin menyampaikan kebaikan.
Ceklek!
"Turun, yuk, kita ketemu Abi," ajak Umi yang berdiri di ambang pintu.
Kami semua menurut. Sesampainya di bawah, Abi sudah menunggu di ruang tengah untuk mengorek informasi dari kedua keponakannya itu. Abi sangat menyayangkan keputusan Bulik Sulastri karena membawa kedua anak gadisnya tinggal seatap bersama suami barunya. Abi juga jadi menyalahkan dirinya sendiri.
"Mestinya Pakde bergerak lebih cepat. Semestinya... semestinya waktu itu Pakde langsung membawa kalian setelah nenek kalian meninggal."
Tidak ada manusia yang tidak pernah lalai, Bi. Sekalipun ia seorang pemuka agama. Tak terkecuali Abi.
Andai aku tak memutuskan untuk berubah, sudah barang tentu kucetuskan kata-kata itu. Kalimat nasihat, tapi sesungguhnya pasti akan membuat hati Abi sakit saat mendengarnya.
Karena Abi hanya manusia biasa.
Lalu Abi mengarahkan pandang ke arahku. "Kamu yakin kamu sanggup ke Solo, Nduk? Kondisimu sanggup?"
Eh?
Aku tertegun sendiri mendengar pertanyaan itu. Mas Ilham mengagumkan pikirku bisa dengan mudah meyakinkan Abi.
Aku mengangguk cepat-cepat. "Aku sehat, kok. Yang sakit cuma tanganku."
"Baiklah. Abi izinkan. Abi percayakan urusan ini padamu, ya."
Kuanggukkan lagi kepalaku. Aku senang, aku diberi kepercayaan itu oleh Abi.
"Semoga bulikmu bisa dibebaskan. Tapi kalau ndak bisa, Laila dan Laili mesti balik ke sini lagi dan pindah sekolah ke sini, ya?"
Kedua sepupuku mengangguk. Mereka mesti sanggup menjalani hidup dan harus lebih tegar.
Dan tepat pada hari itu, ternyata Abi juga memerintahkan pada Mas Farid untuk ikut dalam perjalanan ini, sekaligus untuk menjaga kami bertiga. Mas Farid, sepupu jauhku namun masih sedarah. Usianya hanya dua tahun lebih tua dariku. Lelaki saleh yang mengabdikan diri di pesantren sebagai salah satu staf di bagian administrasi. Anak dari almarhum Pakde Munir. Pakde Munir itu sepupunya Abi, ayah mereka saudara kandung. Dengan kata lain, kakekku dan kakeknya Mas Farid yang bersaudara kandung. Jadi, Mas Farid itu termasuk keponakannya Abi, ya kan? Sepupu jauhku, tapi dalam penerus darah yang sama. Sebab darah kami keturunan langsung dari laki-laki yang jelas nasabnya. Begitu pula status hubungan Mas Farid dengan Laila dan Laili, meski Palik Darmawan tak seibu, tak serahim, atau tak sekandung dengan Abi. Tapi mereka dari ayah yang sama. Alias tunggal ayah. Begitulah ribetnya hubungan kalau seorang lelaki atau perempuan memiliki beberapa anak dari pasangan yang tak sama. Silsilahnya rumit untuk dijelaskan. Aku mesti mengenal mereka dengan jelas satu-persatu sesuai silsilahnya.
Jadi, ramai, ya?
Kami berangkat berlima, pada senin subuh. Meski aku paham benar apa tujuanku, tapi aku begitu bersemangat, terlebih pada saat melihat Mas Ilham pagi itu. Mataku jreng, rasa kantuk hilang tak bersisa. Rasa dingin setelah mandi di pagi buta itu seketika berganti kehangatan berkat senyumnya yang menawan. Dua hari tak bertemu, aku rindu....
Jangan protes! Inilah Salsabila Azzahra apa adanya. Sama sepertimu, makhluk manis yang mudah baper alias terbawa perasaan. Apalagi... melihat ustadz tampan dengan brewok tebalnya itu.
Duh... Zahra, konslet mulu. Ingat pesan Umi. Jaga pandangan!
Bagaimana bisa menjaga pandangan kalau Abi dan Umi mencarikan jodoh sesempurna itu?
Ups! Maksudku calon jodoh.
"Kalian bertiga di bawah pengawasan Mas Farid," tegas Umi. "Hati-hati dan jaga diri dari fitnah. Dan kamu Bila, Umi bukannya tidak percaya padamu atau pada Mas Ilhammu, tapi tetap, kalian dua insan yang sedang jatuh cinta, dan kalian belum muhrim. Jangan berdua-duaan supaya tidak ada pihak ketiga yang suka membisik-bisikkan maksiat. Betapa pun tebalnya iman seorang ustadz, fitrahnya sebagai lelaki tetap mesti diwaspadai. Paham, kan?"
Olala! Panjang, ya, ceramahnya Umi. Hmm....
"Iya, Umi."
"Iya, Bude."
"Iya, Calon Ibu Mertua. Akan kujaga anakmu dengan baik."
Eh?
Aku mendelik di antara cekikikan semua orang. Santai sekali Mas Ilham melontarkan candaannya pada Umi. Dasar....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Rifa Endro
dasar ...🙈
2023-11-16
0
VERALI
Mas Ustadz bisa ngelawak jg trnyata 🤣😂🤣😂
2022-08-26
1
Theart Art
ustdnya menggoda
2022-04-28
1