Buyar semua yang ada di otakku.
Gara-gara pipiku merona atas kata-kata Ustadz Ilham yang bercanda tapi klik di hati, semua yang ingin kutanyakan malah benar-benar menguap dari otakku. Bahkan, lidahku terasa kaku, aku bingung aku mau berkata apa. Sebab itu, Ustadz Ilham menyuruhku fokus saja pada makanan yang mesti kuhabiskan.
"Jangan mubazir. Orang yang suka mubazir itu temannya setan. Kalau kamu, kamu teman saya."
Ck!
Terdengar seperti gombalan.
Duuuh... hati... kenapa kau suuzhan terus?
"Iya, Mas. Akan saya habiskan."
Kukembalikan fokus mataku pada piring nasiku yang baru berkurang sedikit. Dan setelah makanan kami habis, Ustadz Ilham malah menyuruhku pulang.
"Segini saja dulu, ya, untuk hari ini," katanya. "Lain waktu kita mengobrol lagi. Kalau perlu, kamu tulis apa saja yang ingin kamu bahas. Jadi otakmu tidak sampai ngeblank. Nanti saya tinggal baca, setelah itu saya akan menjawabnya sendiri."
Aku pun mengangguk. "Ide yang bagus. Akan kutuliskan."
"Cieeeee... yang ngomongnya aku-kamu."
Ya ampun... sempat-sempatnya Ustadz Ilham melontarkan kalimat itu. Pasti Umi yang sudah menyetelnya supaya ia jangan bersikap seperti ustadz kebanyakan, yang ngomong apa adanya dan sekaku batu berhadapan dengan seorang gadis: yang pasti tak akan klik denganku bila ia seperti itu.
Aku jadi penasaran, apa itu setelan Umi? Umi yang memberitahunya secara detail harus seperti ini, harus seperti itu, dan Ustadz Ilham mempelajarinya? Atau, apakah memang seperti itu pembawaan Ustadz Ilham? Bahkan kalau dia bicara dengan gadis lain?
Ah, untuk apa juga aku memikirkannya.
Kusunggingkan senyuman terbaik. "Nanti saya tuliskan," ralatku.
"Tidak apa-apa, kok, kalau kamu mau bicara pakai aku-kamu. Biar kedengarannya lebih akrab, ya kan?"
Aku mengangguk. "Ya, terserah Ust... terserah Mas Ilham saja. Kalau mau bicara pakai aku-kamu, ya monggo...."
"Yap. Jadi... sepakat, ya, nanti kita bertemu lagi?"
"Oke. Tentukan saja waktunya, kapan dan di mana. Kalau kita... sama-sama punya waktu luang bareng, kita bisa bertemu lagi."
"Oke. Jadi kesimpulannya, pertemuan pertama perkenalan. Pertemuan kedua pengenalan. Dan pertemuan ketiga nanti pendalaman. Setelah itu, mudah-mudahan...."
Lagi-lagi Ustadz Ilham melirikku.
Yang dilirik tersenyum-senyum saja. "Kamu terdengar seperti orang yang sedang menggombal, tahu!"
"O ya? Ini bukan gombalan, Zahra...," protesnya dengan gaya merengek ala seorang kekasih, lalu ia berkata lebih pelan, "Ini upaya seorang pemuda untuk menyelinap ke dalam hatimu, dan, juga demi mendaftarkan namanya dalam rangkaian doa-doamu. I wanna be with you, Zahra."
Hmm... siapa yang menjadi dalangnya ini? Benaran hasil penyetelan orang dalam ini mah. Abi atau Umi? Mereka memberi informasi terlalu detail. Ustadz Ilham memberikan gambaran seorang pemuda brewok dengan tutur kata yang manis bak di film-film dari negara timur.
"Lo? Kok diam? Katanya suka nonton film drama percintaan. Kok malah nervous?"
Aku nyengir. "Sudah mau zuhur, Mas. Saya mau pulang."
Ustadz Ilham hanya mengangguk kecil. "Saya antar, ya," tawarnya seraya menunjuk ke mobilnya yang terparkir nun jauh di sana.
"Tidak usah, Mas. Saya sudah biasa kok bawa motor sendiri siang bolong begini. Kan ada helm dan jaket."
Si ustadz tersenyum tipis. "Perempuan mandiri," pujinya. "Benar-benar calon istri idaman."
Mendengar kalimat itu aku terkikik geli. Dia membuat senyumku malah semakin melebar. "Sudah, ya... saya pulang dulu. Terima kasih atas traktirannya. Assalamu'alaikum."
"Waalaikumussalam. Sampai jumpa, Zahra."
Dan aku jadi tersenyum sendiri. Aku beranjak ke luar dari rumah makan itu dan naik ke motor, mencolokkan kunci dan menstarternya, lalu melaju.
Di sepanjang jalan aku berpikir, ternyata Ustadz Ilham bisa menjadi pribadi yang asyik -- yang seperti lelaki biasa. Memikirkannya membuatku tak merasa perjalananku cukup jauh. Hingga, tanpa terasa, aku sudah hampir sampai tujuan.
Namun, hingga malam datang pun pikiranku masih tertuju pada ketulusan Ustadz Ilham dalam menyikapi perjodohan ini. Entah kenapa, aku jadi merasa ragu dengan perasaanku terhadap Mas Imam. Apa itu hanya sekadar perasaan semu semata, sebagai bentuk protes dan pembangkanganku terhadap Abi? Jika tidak, masa iya aku bisa biasa saja tak merasa risau dengan keadaan hubungan yang tak jelas arah dan jundrungannya?
Aku menghitung bintang di langit. Satu... dua... tiga... lima... sepuluh....
Ponselku berdenting. Pesan whatsapp masuk, dan membuatku terbelalak.
》 Di hatimu ada pertanyaan tentang poligami, kan, Zahra? Sebagaimana ayahku memuliakan ibuku dengan kesetiaannya, inshaallah, seperti itu juga aku akan memuliakanmu sebagai istriku. Dengan kesetiaanku yang hanya akan kutujukan kepadamu.
Aku tersenyum sendiri. Isi whatsapp itu menyetrum hatiku, memicu hormon-hormon bahagia yang seketika meletup-meletup dan menyebar ke seluruh aliran darahku. Serta merta pipi tembamku langsung merona.
Umi yang entah sejak kapan berdiri di belakangku tahu-tahu berdeham. "Ehm... ehm...," Umi sengaja mengeraskan dehemnya.
"Eh, Umi."
"Lagi baca apa, Nduk?"
"Eh, tidak ada apa-apa," elakku menyembunyikan benda pipih persegi itu di balik jilbabku.
"Kamu jatuh cinta, ya?" tebak Umi berbisik lirih di telingaku. Ia tersenyum simpul. "Pada siapa? Ustadz Ilham?" bisiknya lagi. Lebih lirih dari sebelumnya.
Aku semakin tertunduk dalam diam. Wajahku pasti kian berwarna merah jambu. "Zahra belum banyak bertanya padanya, Umi. Mas Ilham...."
"Zahra?"
"Eh, astaghfirullah. Maksudku... Bila."
"Jadi, ada yang punya panggilan khusus?"
"Umi... jangan begitu, ih! Bila malu, Umi...."
"Kenapa? Tidak apa-apa lagi. Curhat ke Umi," katanya. "Eh? Mas Ilham, ya?"
Ya ampun... sejak kapan, sih, Umi jadi begitu?
Umi langsung nyelonong keluar dari kamarku setelah ia menggodaku. Tetapi aku sempat menghentikan langkahnya. "Ada apa, Nduk? Jadi mau curhatnya?"
Aku tersenyum geli. "Jangan sebegitunya juga, Umi. Bila cuma mau mengobrol sedikit."
Umi duduk di sampingku, di sofa depan jendela kaca kamarku yang memaparkan gelapnya langit malam di atas sana.
Tak disangka, tak dinyana, meluncurlah cerita itu, bagai aliran air yang dibendung sekian lama dan terpaksa jebol. Tak bisa dihentikan, sebelum air yang hendak melepaskan keterkungkungannya habis tanpa sisa. Aku menceritakan pertemuanku dan Ustadz Ilham tadi siang: bagaimana pembawaannya yang santai dan penuturan kata-katanya yang menyenangkan hati. Juga, tentang sesungguhnya aku yang menyadari kekeliruan sikapku selama ini, caraku membangkang, aku yang sering menyakiti hati Umi.
"Tapi Bila tetap tidak akan bisa mentolerir keputusan poligami Abi. Kalaupun tak boleh menentang poligami, silakan itu dilakukan oleh orang lain. Kenapa mesti Abi?"
Umi tak mampu menjawab, tak seperti biasanya ia yang seringkali memberiku pengertian. Mungkin karena memang sudah percuma. Sikap tolerir itu tak akan pernah muncul dalam benakku.
"Yang penting Mas Ilhamnya Zahra tidak akan berbuat seperti itu, kan?"
Hah! Godaan Umi kembali membuatku tersenyum sendiri. Satu... dua... tiga... kembali kuhitung bintang setelah Umi meninggalkanku sendirian di dalam kamar. Malam ini langit gelap. Rembulan hanya sepotong di langit. Sepi telah berteman dengan senyap sejak hampir setengah jam yang lalu. Tapi mataku masih sulit terpejam.
Gara-gara dia!
Oh, Mas Ilham....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Afternoon Honey
aish meleleh hati ini bacanya 💖
2023-08-19
0
VERALI
Zahra bucin duluan nih 🤣😂
2022-08-26
1
Oktavia
ach sudah lemah aja hatinya bila… aku juga tdk suka poligami. hal yg wajar krn orng yg dipoligami adlh ibu yg melahirkan. akan sedih jika waktu digilir. dia enak ada di pelukan wanita lain… bahkan anak banyak lagi… nauzubillah
2022-06-18
1