Kenapa tidak menikah dulu saja, setelah itu baru melakukan perjalanan?
Nope! Aku memang ingin segera menikah, tapi juga tidak dadakan, tidak dalam waktu yang terjepit, tidak tergesah-gesah, apalagi tidak tersebar luas.
Keadaan ini genting kalau dilihat dari sisi nasib Bulik Sulastri dan kedua anak gadisnya, tapi tidak genting dari segi pernikahanku.
Cara Abi dan Umi sudah baik dengan menyertakan Mas Farid bersama kami. Lelaki dewasa yang akan berpegang teguh pada apa yang sudah diamanahkan kepadanya. Toh, dia juga sayang padaku dan pasti akan menjagaku dari godaan setan dan kenakalan diriku sendiri.
Pernikahan bukan untuk diburu-buru, apalagi tidak disebarluaskan lebih dulu, yang otomatis akan memancing pertanyaan dan kecurigaan masyarakat: kok mendadak nikah? Kok menikahnya tidak diumumkan dulu? Sudah rusak, ya? Hamil duluan, ya? Dan ujung-ujungnya malah menimbulkan fitnah.
Kalau mau pergi jauh seperti keluar kota, boleh pergi. Asal jangan pergi berduaan. Kalau sudah bersama orang-orang yang bisa dipercaya, tapi masih difitnah juga, buktikan saja kalau kau masih perawan. Toh, teknologi zaman sekarang sudah sangat canggih.
Aku lebih baik tidak jadi pergi daripada mesti dipaksa menikah dadakan sekarang juga.
Benar aku pembangkang pada Abi, tapi aku bisa berkomitmen demi mempertahankan harga diriku sebagai seorang perempuan. Dan untungnya, aku punya Umi yang bijaksana, ia tahu apa yang terbaik untukku. Dia bukan tipe ibu yang iya iya saja untuk apa pun yang menyangkut kehidupanku. Kalau tidak, pasti bukan pemuda seperti Mas Ilham yang akan dicarikan Abi untukku.
Ah, perjalanan ini membuatku dipenuhi rasa syukur -- menyadari bahwa aku memiliki ibu seperti dirinya. Wanita yang begitu sempurna di mataku. Di mataku....
"Bila sayang Umi," bisikku sambil memeluknya erat saat kami berpamitan. "Terima kasih untuk semuanya. Bila sangat bangga punya ibu seperti Umi."
Tanpa sadar, mataku berkaca-kaca mengingat momen-momen manis itu dan semua yang telah diperjuangkan Umi untukku. Mas Ilham yang duduk di depanku tersenyum simpul lewat kaca spion.
Allah, Tuhan yang membolak-balikkan hati manusia. Dalam sekejap, semuanya berubah haluan. Rasa hormatku, cinta, dan sayangku pada Umi kian menguat. Sementara dengan Abi, setidaknya sekarang hubunganku sudah jauh lebih baik. Aku tak lagi merengut-rengut saat berada di hadapannya atau berkata dengan nada tinggi saat kami bicara. Dan pada Mas Ilham, aku telah melabuhkan hatiku seutuhnya.
Setelah menempuh lima jam perjalanan, kami sampai juga di Solo sekitar jam sepuluh pagi. Mula-mula kami singgah ke sekolah Laila dan Laili sebentar. Walaupun sudah menitip pesan melalui temannya, tapi kurasa kami mesti menemui wali kelasnya. Aku dan Mas Farid menjelaskan segala duduk perkaranya tentang kedua sepupuku yang sejak jumat lalu terpaksa bolos sekolah, dan kemungkinan mereka yang akan pindah sekolah ke Rembang. Kami pun meminta kontak bagian administrasi sekolah supaya bisa segera memberitahukan keputusan besar mengenai izin pindah sekolah itu -- nanti, setelah nanti urusan di kantor polisi selesai.
Yap, dan itulah yang akan terjadi. Mereka akan pindah sekolah. Sebab, urusan di kantor polisi begitu pelik. Bu Ambar, ibu-ibu yang berstatus sebagai pelapor sekaligus korban atau justru salah dalam berprasangka hingga menyebabkan orang lain menjadi korban, waallahu'alam siapa yang benar -- ia bukanlah warga asli Solo. Dari datanya yang kami dapatkan di kantor polisi, beliau adalah warga Surabaya. Sialnya ia tak menjawab telepon saat kami berusaha menghubunginya.
Dari keterangan Bulik Sulastri yang tak bisa dikuatkan, sebab tak ada saksi dan bukti yang menguatkan pembelaan dirinya atas tuduhan itu, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Ya mau bagaimana?
Tidak bisa dijamin. Ini bukan kasus perkelahian atau keributan yang kemudian bisa dijamin kebebasan untuk pelakunya. Jadi, satu-satunya jalan, kami mesti meminta pelapor untuk mencabut laporannya, dan kami berdamai. Tetapi...
Pelik. Kami pun bergegas ke Surabaya, melanglang buana selama lima jam mencari alamat tujuan, tapi nihil. Alamat yang dituju ketemu, tapi orangnya tidak berada di tempat. Hari minggu kemarin ia sudah berangkat ke Kalimantan untuk waktu yang cukup lama, sedang di rumah itu hanya ada saudaranya. Pak Eko. Sedikit harapan, si bapak bersedia membantu untuk menghubungi Bu Ambar. Tapi tetap nihil jua.
"Orang itu maling. Untung saja ketahuan. Coba kalau nggak, dia pasti masih berkeliaran mencari mangsa baru. Maaf, ya, saya tidak akan mencabut laporan saya. Biarkan saja dia dipenjara. Biar tahu rasa! Jangan hubungi saya lagi!"
Tut!
Seakan sudah lumrah ketika bicara dengan ibu-ibu yang sedang emosi, kita bahkan tidak bisa menyela. Percuma, tak akan didengarkan. Mereka akan menyerocos bagaikan petasan.
Melesak. Harapan kami pupus lagi. Tak satu pun dari kami yang ia dengarkan. Jangankan aku dan Mas Farid, Mas Ilham yang bicaranya tegas tapi tenang saja tak didengarkan oleh Bu Ambar. Bahkan, dua anak remaja yang yatim itu pun tak bisa meluluhkan hatinya. Bu Ambar tidak bersedia mencabut tuntutannya terhadap Bulik Sulastri.
Aku menangis. Perih. Getir. Sakit sekali hatiku. Tapi mesti kecewa pada siapa? Mesti marah pada siapa? Justru sebaliknya, aku mesti tegar di depan kedua sepupuku yang malang itu.
"Kami tidak apa-apa, Mbak," kata Laila. Kakak dan adik itu menangis sesenggukan.
Aku memeluknya. "Maafkan Mbak, ya. Mbak ndak bisa berbuat banyak untuk kalian."
"Sudah takdirnya begini. Mau bagaimana lagi?"
"Ya, yang penting kalian kuat. Harus kuat."
"Pasti, Mbak. Inshaallah kami akan kuat."
"Sudah, ya. Besok kita urus administrasi sekolah kalian. Kalian pindah sekolah ke Rembang. Sekalian besok kita ketemu ibu kalian lagi, pamitan. Kita ambil barang-barang kalian juga di rumah Pak Sobirin."
Yeah. Kami sudah mencoba, kan? Tapi Sang Pemilik Takdir berkehendak lain. Tapi aku yakin akan ada hikmah dan makna lain dari musibah ini. Setidaknya aku bersyukur, kedua sepupuku bisa selamat dari perbuatan bejat sang ayah tiri.
Akhirnya, malam itu kami memutuskan untuk menginap di Surabaya. Setelah berhenti di sebuah masjid untuk salat magrib, kami pun langsung mencari hotel terdekat, di dekat pusat kota. Yeah, kami mesti istirahat untuk apa yang mesti kami lakukan esok hari. Dua kata untuk hari ini: lelah dan pasrah.
》 Aku minta maaf, Sayang. Kalau saja aku tidak menunda keberangkatanmu sabtu kemarin, mungkin kita sempat bertemu dengan Bu Ambar.
Ya Tuhan, Mas Ilham merasa bersalah. Bukankah ini sudah takdirnya seperti ini?
Kutatap lelaki yang ada di depanku itu, yang mengemudikan mobil dalam diam. Terkungkung oleh rasa bersalah.
Ini cobaan. Tuhan sedang menguji hati kita, dan pasukan para setan sedang berusaha memisahkan kita. Aku tidak menyalahkanmu, Mas. Aku yakin, segalanya pasti akan baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Rosy Putri
lanjuttt
2022-05-29
1
Shafiya
ihh ustad ...stiap yg kau ucapkan menyejukkan hati
2022-05-22
1
Kejora Kejora
duhhhh kopi panas aku jad tiba" dingin gegara panggilan sayang dari mas ill .. 🤭
2022-05-12
2