Hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Mas Ilham datang bersama kedua orang tuanya pada hari jumat setelah asar. Aku merindukan wajah tampan itu setelah kemarin tak bertemu dengannya. Calon suamiku yang gagah itu sekarang ada di depanku. Tak bisa dicegah, senyum kami sama-sama mengembang tak tertahan. Berbeda dengan diriku yang sebelumnya, dengan Mas Ilham aku merasa super bucin sampai akut. Tak bertemu walau sehari, rasanya hatiku benar-benar merindu.
Namun sayang, sewaktu aku baru saja ikut duduk di ruang tamu, suara ketukan di pintu menjedah obrolan basa-basi di antara dua keluarga ini. Dan, aku yang baru saja mengecek keluar langsung tercengang saat melihat dua sepupuku berdiri di teras depan dalam keadaan yang memprihatinkan.
Nur Laila dan Nur Laili. Dua gadis kembar berusia enam belas tahun dan baru duduk di bangku SMU, kelas sebelas di akhir semester genap, datang dari Solo dengan dua tas tangan ukuran besar sambil menangis. Mereka anaknya almarhum Paklik Darmawan. Beliau pamanku, saudara laki-laki Abi tunggal ayah, tapi tak seibu. Mereka yatim sejak beberapa tahun lalu dan diasuh oleh nenek dari pihak ibunya. Ibu mereka, Bulik Sulastri, yang sempat menjanda selama dua tahun, sudah menikah dengan suami barunya beberapa tahun yang lalu. Dan, dua bulan yang lalu, Nek Ina, nenek si kembar juga telah berpulang ke hadapan yang Mahakuasa. Mereka tak punya siapa-siapa lagi selain Bulik Sulastri dan ayahku sebagai pamannya. Nenek dan kakek dari ayah kandungnya sudah meninggal. Mereka terpaksa ikut tinggal di rumah Bulik Sulastri dan ayah tiri mereka, Pak Sobirin.
Melihat mereka menangis, aku langsung cemas. "Kalian berdua kenapa? Kok nangis?" tanyaku pada mereka yang langsung menghambur ke pelukanku.
Namun tak ada jawaban, tangis mereka dalam diam dan dengan air mata berurai -- menjelaskan kepadaku bahwa mereka tengah menghadapi masalah yang sangat serius.
"Abi dan Umi sedang ada tamu. Kalian ikut Mbak ke ruang makan dulu, ya, atau ke halaman belakang. Sekalian Mbak ambilkan minum."
Mereka mengangguk.
"Ayo," ajakku sambil menunjuk ke jalan pintu samping.
Di dalam, kusuruh mereka duduk dulu di meja makan sembari aku mengambilkan minum dari lemari pendingin. Si kembar Nur menaruh tas bawaan mereka di samping kaki kursi.
"Tunggu di sini. Mbak ke depan dulu sebentar."
Cepat-cepat aku kembali ke ruang tamu dan semua orang yang ada di sana agak kaget karena tiba-tiba aku ada di dalam.
"Tadi Bila lewat pintu samping," kataku. "Emm, Umi, bisa ikut Bila ke belakang sebentar?"
Dengan heran, Umi bangkit dari duduknya dan lekas ke belakang. "Sebentar, ya, semua. Saya izin ke belakang dulu."
"Ada apa, Nduk?"
Aku baru saja hendak mengikuti Umi ketika Abi bertanya. "Oh, anu, Bi," kataku sambil menunjuk ke belakang dengan tangan kiri. "Di belakang ada si kembar. Bila permisi dulu. Mari semuanya."
Aku kembali ke ruang makan dan mendapati Umi sedang menenangkan dua gadis remaja itu. Dan, melesak. Ternyata mereka kabur dari rumah.
"Pak Sobirin bejat, Bude. Semalam kalau ndak ketahuan oleh aku, Lalili pasti sudah diperkosa di kamar mandi," kata Laila tersedu-sedu. "Ndak cuma semalam, dia sering diam-diam masuk ke kamar kami, pura-pura nanya sesuatu."
Speechless....
Sakit sekali hatiku melihat penderitaan mereka dan mendengar cerita pilu itu. Sakit hatiku ketika Abi menikah lagi -- tak sebanding dengan sakitnya mereka ketika ibu mereka menikah lagi, dan mereka mesti seatap dengan seorang ayah tiri yang bejat.
"Umi," panggilku, "Umi ke depan saja, biar Bila di sini, tapi tolong ambilkan makanan dulu untuk mereka."
Umi mengangguk, mengambilkan nasi dan lauk untuk mereka dan mempersilakan mereka makan. Mereka pasti belum makan dan membawa uang seadanya untuk ongkos ke Rembang.
Sambil menemani mereka makan, aku hanya bisa menatap dengan iba, aku tak bisa menanyakan apa pun, atau menawarkan bantuan apa pun. Lagipula, aku tak mau mengusik selera makan mereka yang aku yakin baru timbul sekarang karena kepiluan yang mereka alami. Kedua adik kakak itu nampak kurus dari yang kulihat dua bulan yang lalu.
Setelah mereka makan, aku hanya bisa bertanya tentang ibu mereka. Sebab, jelas terlintas pertanyaan di benakku, kenapa hal buruk itu bisa terjadi pada anaknya, dan andai dia tahu, apa reaksinya sampai-sampai Laila dan Laili bisa kabur dari rumah?
Tapi mereka berdua terdiam.
"Cerita, Dik. Ada apa?"
"Bue...," kata Laili.
"Bue dipenjara, Mbak," potong Laila. "Kemarin sore, sewaktu di pasar, Bue dituduh mencuri. Tapi kata Bue dia ndak mau mencuri. Cuma ndak sengaja salah bawa kantung belanjaan pengunjung lain."
Ya Tuhan... sakit sekali hatiku.
"Tadi pagi kami baru dengar kabar tentang Bue. Kami keliling pasar, tanya ke orang-orang. Makanya kami cek ke kantor polisi, ternyata benar Bue ditahan polisi. Sebab itu, Bue suruh kita kabur ke sini, takut Pak Sobirin berbuat nekat lagi."
Aku menghela napas dalam-dalam. Mereka butuh perlindungan, dan tempat tinggal. "Nanti Mbak bicara dengan Abi dan Umi, ya. Kalian mending ke kamar dulu, bersih-bersih, terus istirahat. Ke kamar Mbak dulu saja. Ayo, Mbak antar."
Argh! Sesalku, keadaan tanganku membuatku tak bisa membersihkan kamar yang kosong untuk mereka tempati.
Setelah memastikan mereka nyaman di kamarku, aku segera kembali ke ruang tamu. "Mbak ke bawah dulu," kataku. "Kalian istirahat, ya."
"Iya, Mbak. Terima kasih," jawab mereka hampir kompak.
Aku mengangguk dan berlalu.
Di ruang tamu, obrolan dua keluarga mengenai acara lamaran itu sudah usai.
"Nah, ini calon pengantinnya," goda Abi. "Bagaimana, Nduk, kita semua sudah sepakat, pernikahan kalian akan dilaksanakan bulan depan, kamu ndak keberatan, kan?"
Ah, lagi-lagi Salsabila Azzahra hanya bisa mengangguk dalam senyuman. Aku duduk di antara mereka sambil tersipu malu.
"Alhamdulillah...," ucap semua orang berbarengan.
Persis di saat itu, pandanganku dan Mas Ilham bertemu. Saranghae, Mas... hatiku bersorak, walau sebenarnya kurasa satu bulan itu terlalu lama. Hihi!
"Abi, Ilham boleh mengobrol sebentar dengan, Zahra? Eh, maksud Ilham...."
Semua orang menertawai, Mas Ustadz Brewok jadi tersipu-sipu sendiri.
"Iya, boleh," kata Abi. "Monggo, Zahra, ajak Mas Ilhamnya ke depan."
Ah, Abi sudah ketularan Umi.
Aku mengangguk, dan kami pun segera ke teras. "Ada apa, Mas?" tanyaku padanya yang sekarang duduk di kursi bambu di hadapanku.
Dia menggeleng sambil tersenyum memandangiku.
"Katanya tadi mau mengobrol."
"Tidak, kok."
"Lo? Tadi kan Mas bilang--"
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin memberitahumu, kalau aku sangat rindu."
Oooooh... Zahra melting....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Rifa Endro
raja gombal Ra ternyata calon lakimu
2023-11-16
0
VERALI
Mas Ilham bisa ngegembel jg y 🤣😂🤣😂
2022-08-26
1
Aqu Ajaah
ikut mesam msem thor
2022-06-27
1