"Kamu ikhlas, Zahra?"
"Ikhlas? Maksudnya? Kamu tanya tentang apa?"
"Tentang perjodohan kita, apa kamu ikhlas menerimanya?"
Aku mengangguk. "Ya," kataku. "Aku ikhlas, Mas."
"Kamu ikhlas menerimaku?"
Kuanggukkan lagi kepalaku dengan yakin. "Kamu tidak perlu ragu, Mas. Aku ikhlas menerima Mas Ilham untuk menjadi suamiku. Menjadi imam yang sebenarnya untuk Zahra. Kamu... kamu imam yang mengilhami."
Dia balas mengangguk, masih menatapku dengan serius. "Kamu ikhlas atas khitbahku? Ikhlas dengan waktu pernikahan yang hanya sebentar lagi?"
"Ya." Kubalas anggukannya, dan kuberikan ia senyuman tulus dari hati terikhlasku. "Aku ikhlas. Aku bahagia atas khitbahmu. Bahkan lebih dari itu, aku merasa terhormat sebagai seorang perempuan. Terima kasih, Mas." Mataku berkaca. "Dan jujur saja, kalau soal waktu... sayangnya kurasa itu terlalu lama. Aku takut tersiksa rindu. Kan rindu itu berat."
Hah! Dia tersipu-sipu. Enak, kan, digombali balik? Tetapi...
Eh?
Mas Ilham merosot dari kursinya dan berlutut di hadapanku. Dengan sehelai sapu tangan, ia menyentuh punggung tanganku. "Percayalah, itu juga yang kuinginkan. Dan seandainya bisa, aku juga ingin lebih cepat menghalalkanmu. Bahkan kalau bisa, akan kuhalalkan kamu saat ini juga. Karena sungguh, Zahra, aku sangat mencintaimu. Aku ingin memilikimu seutuhnya. Saranghae."
Uuuh... kepingin jingkrak-jingkrak. "Saranghae, Mas...."
Hah! Entahlah, ini edisi bergombal ria, sebatas bercanda, atau sepenuh perasaan?
Tapi kata-kata itu benar-benar mewakili dan menyentuh perasaanku. Dosakah?
Dengan menahan senyum semringah, Mas Ilham kembali ke kursinya. "Itu sungguhan, ya, bukan drama apalagi akting semata."
Ah, aku tak bisa berkata-kata lagi. Gemetar aku dibuatnya meski ia tak menyentuh tanganku secara langsung. Itu sudah cukup meyakinkan hatiku sepenuhnya tentang rasa ini.
Mas Ilham melakukan cara apa pun untuk menaklukkan hatiku atas cintanya. Mencoba cara terbaik yang bisa ia lakukan, namun tetap berusaha menjaga batasan, dan, tidak melanggar apa yang sudah ditetapkan keharamannya.
Entah, pikiranku serasa berkata itu tadi seperti tester sentuhan, meski aku tahu ia tak bermaksud seperti itu, tersetrum aku karenanya.
Bagaimana nanti jika kami sudah halal? Bagaimana nanti saat pertama kali kami bersentuhan? Duh... pasti rasanya....
"Sayang?"
"Emm?" aku kaget tahu-tahu dipanggil sayang.
"Jangan melotot begitu...." Mas Ilham terkikik sendiri.
"Kamu sih, tahu-tahu memanggilku sayang. Aku jadi... auh ah! Gelap!"
Mas Ustadz-ku tersenyum semringah lagi dan nyaris tertawa. "Latihan," katanya. "Biar terbiasa. Kamu suka, kan, kupanggil sayang?"
Kukulum senyumku supaya ia tak mengembang berlebihan. Sambil mengangguk aku berkata, "Iya, aku suka," kataku nyaris tanpa suara. "Aku suka apa pun tentang kamu."
"Termasuk statusku sebagai ustadz?"
"Em, termasuk itu. Asal kamu setia. Jangan pernah menduakan aku."
"Tidak akan pernah, Zahra. Tidak akan pernah. Kamu, the one and only. Hanya kamu."
Emmmmm... gimana nggak meleleh coba akunya?
"Aku percaya, Mas. Aku percaya padamu."
"Syukurlah. Dan, harus."
"Em, jaga kepercayaanku, ya, Mas?"
"Inshaallah, akan kujaga kepercayaan itu sampai mati."
Aku mengangguk.
"Oh ya, kalau boleh tahu, yang datang tadi siapa?"
"Oh, itu. Yang tadi itu sepupuku, Mas. Keponakannya Abi."
"Em, begitu. Tapi, kok nggak diajak ke depan tadi? Kan sekalian bisa kenalan."
Duh... aku bingung sendiri. "Emm... itu, waktu dan kondisinya belum pas, Mas. Aku suruh mereka istirahat dulu di atas."
Peka. Keningnya langsung mengerut. "Ada sesuatu? Hal buruk?"
Aku menggeleng, tapi ragu. "Emm... tidak ada apa-apa, kok."
"Jangan bohong, kan mau jadi istrinya Mas Ilham. Utamakan kejujuran, ya. Kalau memang aku tidak boleh tahu, bilang saja. Tidak apa-apa, kok. Yang penting kamu berterus terang."
Kugelengkan lagi kepalaku dengan rasa bersalah. Aku bukannya mau menutup-nutupi soal itu. Hanya saja, ini merupakan aib keluargaku. Aku mesti merahasiakannya karena Mas Ilham belum menjadi bagian keluarga kami yang seutuhnya. Belum sah. "Maaf, Mas. Aku... aku tidak bermaksud untuk berbohong. Tapi....ya begitu. Kan Mas Ilham belum benar-benar jadi anggota keluarga kami. Jadi... maaf, ya. Mas bisa mengerti itu, kan?"
"Nah, begitu. Berterus terang."
"Iya, tegur aku kalau aku salah. Tapi benaran tidak apa-apa, kan?"
"Ya, serius. Tidak apa-apa, kok. Aku mengerti kalau kamu belum bisa cerita. Tapi... kalau terjadi sesuatu, atau kalau kamu ada masalah, bilang, ya? Aku ingin selalu ada di saat kamu butuh, dan, menjadi satu-satunya yang selalu kamu andalkan."
Kuhela napas dalam-dalam, bisa sesak napas aku dimanis-manisi terus oleh Mas Ilham. "Iya, Mas. Inshaallah. Pasti, kamu akan selalu menjadi satu-satunya yang selalu kuandalkan. Selain Allah, ya, selain Abi dan Umi juga."
Ck! Kami cekikikan.
"Nah, sekarang cerita, apa yang mengganjal di hatimu? Aku bukan tanya tentang aibnya."
Aku menunduk, ragu. Tapi akhirnya kuputuskan untuk bercerita sedikit. "Anu, Mas. Aku... aku cuma memikirkan sepupu-sepupuku. Soalnya... saat ini ibu mereka ditahan di kantor polisi. Di Solo. Katanya dia cuma salah bawa barang belanjaan orang sewaktu belanja di pasar. Tapi yang punya barang malah menuduh dia maling, jadi dia dibawa ke kantor polisi. Jadi... rencananya aku mau ke sana. Siapa tahu bisa berdamai. Tapi... kalau tidak bisa, aku mau urus berkas-berkas sepupuku pindah sekolah, pindah ke sini. Ke tempatku mengajar. Aku boleh pergi, kan? Eh, maksudku... aku meminta izinmu. Izinkan aku pergi, ya?"
Panjang kali lebar. Sudah menjadi sifatnya mendengarkan kata-kataku sampai selesai baru dia merespons, "Harus kamu? Tidak bisa orang lain?"
"Abi sibuk, Mas. Tidak mungkin juga Umi. Kesehatan Umi kan sudah tidak bagus kalau mesti pergi jauh-jauh. Mereka tidak punya keluarga yang lebih dekat selain kami. Sepupu ibunya atau sepupu bapaknya, kan masih cukup jauh hubungannya dibandingkan dengan Abi yang paman kandung. Eh, bukan sekandung, ding. Sebapak," ralatku. "Mereka butuh wali, butuh perlindungan, butuh tempat tinggal juga. Boleh, ya? Izinkan aku pergi. Aku mohon, Mas?" aku memelas bak seorang istri yang taat.
Mas Ilham mengangguk, lalu mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Kapan? Kalau senin, tidak masalah? Biar aku bisa menemanimu."
"Eh? Tidak usah, maksudku... aku tidak mau merepotkan Mas Ilham."
"Jangan bicara begitu. Aku tidak akan tenang kalau membiarkanmu pergi tanpa aku. Apalagi keadaanmu masih sakit."
"Ya ampun... kamu perhatian sekali sih, Mas. Aku terharu. Terima kasih, ya, karena kamu sudah sebegitu pedulinya padaku."
Lagi, dia mengangguk-angguk. "Deal, ya. Hari senin setelah subuh. Nanti aku jemput kalian. Nanti aku yang minta izin pada Abi."
Ya Tuhan... sumpah demi apa? Ke Solo, bareng Mas Ilham?
Duh, mulai deh pikirannya Salsabila Azzahra ke mana-mana. Fokus dengan tujuanmu, Neng! Fokus! Fokus!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Rifa Endro
awas Bila ... jangan terlalu Deket... ntar diabetes parahnya lagi Kesambet .
2023-11-16
0
VERALI
Diabetes aku Mas Ilham denger kata kata manismu 🤭😘
2022-08-26
1
Danie Soetono
adhuh co cweet bangets sech Mas Ilham
2022-04-20
1