NovelToon NovelToon

Hot Couple: Ilham Dari Tuhan (I Love You, Ustadz!)

Tentangku

...♡♡♡...

...MOHON BIJAK DALAM MEMBACA....

...¤ CERITA INI BERGENRE ROMANSA HOT 21...

...¤ TERDAPAT UNSUR *EKSUAL DAN KEKERASAN...

...¤ BUKAN UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR...

...PLEASE, BERI LIKE JIKA KAU MENYUKAI TULISANKU....

...HAPPY READING!...

...♡♡♡...

Namaku Salsabila Azzahra. Orang-orang biasanya memanggilku Salsa atau Bila. Aku tipe gadis dengan dua kepribadian. Di satu sisi, aku orang yang ceria, terlebih di depan teman-teman dan anak-anak didikku. Tetapi, di sisi lain, di rumahku, aku merupakan sosok penyendiri. Aku pribadi yang keras dan pembangkang, tapi sungguh, itu bukanlah sifat asliku. Ada alasan di balik sikapku yang demikian itu.

Berdasarkan hobi, aku menghabiskan waktu luangku dengan cara yang sama sepertimu, seperti kalian semua yang membaca tulisan ini. Aku gemar membaca novel romansa dewasa, bermain game, dan juga menonton drama, tak terkecuali drama dari negara-negara luar. Aku juga menyukai musik. Aku suka mendengarkan lagu di kamarku dengan volume cukup kencang asal suaranya tidak terdengar sampai ke luar rumah. Sebab, aku tinggal di dalam lingkungan pesantren.

Aneh, bukan? Aku, dan kepribadianku, tidak seperti gadis-gadis muslimah lainnya yang hidup dan tumbuh besar di lingkungan pesantren. Sekali lagi, aku punya alasan -- alasan yang kau, bahkan orang tuaku sendiri, tidak mampu mematahkannya.

Yap. Aku masih gadis. Perawan. 24 tahun. Tepat satu bulan yang lalu sudah genap 24 tahun. Masih muda, bukan? Tentu saja itu usia yang masih sangat muda. Tetapi, bagi teman-teman seusiaku, mereka sering kalut karena menganggap itu usia di ambang pintu. Menghampiri usia seperempat abad. Kalau aku, aku tenang-tenang saja dengan usiaku. Aku merasa tidak ada yang perlu dicemaskan dengan angka itu. Aku cenderung cuek. Bagiku angka bukan jaminan kebahagiaan seseorang. Merasa bahagia di usia berapa, itu tergantung si pemilik usia itu sendiri. Jadi, yap, aku merasa enjoy-enjoy saja.

Yang suka rewel itu malah kedua orang tuaku. Terutama ayahku. Kiai Muhammad Siddiq. Abi yang sebenarnya sangat kucintai. Beliau seorang kiai ternama di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Yeah, aku tahu, ayahku bersikap begitu bukannya tidak beralasan. Tapi, karena ia menginginkan aku supaya cepat menikah dan ia ingin memiliki seorang menantu yang notabenenya juga seorang ustadz. Sebab itu ia hendak menjodohkan aku dengan anak temannya sesama kiai. Kenapa? Supaya pesantren yang ia asuh kelak ada penerus yang bisa ia percayai. Tentu, menurutnya itu juga demi kebaikanku. Jika memiliki suami seorang ustadz, tentulah anak gadisnya ini kelak akan dibimbing supaya menjadi pribadi yang salehah. Lebih salehah daripada aku yang sekarang ini.

Tapi aku tidak mau. Aku tidak ingin menikah dengan seorang ustadz. Aku tidak ingin terus hidup di dalam ruang lingkup pesantren. Dan sejujurnya, aku memiliki traumaku sendiri tentang seorang pemuka agama.

Jujur, tak bisa kupungkiri bahwasanya di sekitarku para lelaki kebanyakan membina keluarga dengan cara berpoligami. Seakan-akan itu sudah menjadi tradisi. Memang tidak semua, tapi sebagian besarnya begitu. Termasuk Abi. Sebab itu, aku tidak ingin dijodohkan dengan seorang ustadz. Aku takut jika kelak nasibku akan sama seperti nasib ibuku: yang nampaknya biasa-biasa saja, tapi hatinya mana tahu. Yang kutahu, sejak hidup dipoligami, wanita salehah yang kupanggil umi itu selalu bangun malam lebih awal dan salat malam lebih panjang. Menangis dalam sujudnya.

Oh Tuhan... aku membayangkan diriku seandainya aku bernasib sama: saat aku terbangun di tengah malam, namun suamiku tak ada di sisiku, melainkan ada di sisi perempuan lain.

No!

Betapa buruknya itu. Aku tidak ingin bernasib demikian. Jangan sampai. Jangan sampai hal itu terjadi padaku.

Kuperkenalkan diriku lebih jauh. Aku ini tipe gadis dengan karakter di level medium. Sejak ayahku berpoligami beberapa tahun yang lalu, di mana waktu itu aku baru menginjak usia balig, baru masuk Madrasah Tsanawiyah, jenjang sekolah setingkat SMP, aku mulai menjadi pribadi yang pembangkang. Aku tidak suka atas keputusan yang diambil oleh Abi, apa pun alasannya. Apalagi kalau alasannya hanya karena Umi sakit dan rahimnya diangkat, dan dia tidak bisa memberikan keturunan lagi bagi keluarga kami, aku semakin tidak bisa menerimanya. Sakit hatiku karena keputusan ayahku yang menikah lagi dengan seorang wanita yang lebih muda. Lebih sakit lagi ketika adikku dari perempuan lain itu lahir ke dunia. Adik pertamaku, perempuan. Usianya sekarang sepuluh tahun, empat belas tahun lebih muda dariku. Dan aku masih punya adik perempuan kedua yang berusia lima tahun. Dan satu lagi, masih calon, baru dua bulan di dalam kandungan ibu tiriku.

Oh, astaga...

Apa salah jika aku menganggap mereka egois? Demi kelangsungan pesantren sampai harus berpoligami untuk mencetak generasi pendakwah yang akan meneruskan perjuangan mereka dalam membela agama Tuhan? Dan, haruskah mereka memaksaku menikah dengan lelaki yang memenuhi kriteria mereka?

Kenapa aku tidak boleh menentukan sendiri jalan hidupku dan memilih sendiri pasangan hidupku? Aku berhak, bukan?

Cara mereka yang demikian egois itu membuatku ingin selalu membangkang. Seperti dulu, keinginan mereka untuk melahirkan keturunan yang saleh dan salehah, malah membuat anak pertama mereka ini justru membelokkan diri dari apa yang mereka harapkan.

"Abi sudah mengizinkanmu memilih jalan hidupmu sendiri. Kamu tidak ingin memilih jurusan pendidikan agama, Abi mengizinkan. Kamu mau sekolah di kota, Abi juga mengizinkan. Tolonglah, Nduk, sekarang kamu yang turuti permintaan Abi. Menikahlah dengan Ustadz Ilham. Ini juga demi kebaikanmu. Abi ini kan sudah tua, Abi butuh orang yang bisa dipercaya untuk membantu Abi mengurusi pesantren."

Haduuuh... puyeng kepalaku mendengar omongan Abi selama satu bulan ini. Tak ada henti-hentinya ia menjejaliku dengan kalimat-kalimat yang bagaikan teror itu. Rasanya aku ingin memundurkan lagi usiaku, seandainya saja bisa.

Argh! Kenapa juga aku berada dalam karakter medium begini? Mestinya, kalau mau nakal dan jadi seorang pembangkang, jangan nanggung. Minggat sekalian!

Tapi aku tidak sanggup menjadi penyebab Umi semakin menderita batinnya kalau aku melakukan hal itu. Aku tidak tega. Umi sudah mulai tua dan mulai mengeluhkan kesehatannya. Tapi aku juga tidak ingin dijodohkan, apalagi dengan seorang ustadz. Kenapa mereka tidak mau mengerti itu?

Lagipula, aku punya seseorang yang kucintai. Mas Imam. Pemilik bengkel yang lokasinya tidak jauh dari SMA tempat aku mengajar. Kami dekat, tapi memang tidak terikat hubungan pacaran. Hanya sebatas tahu sama tahu kalau kami memiliki perasaan yang sama. Mas Imam punya niat baik ingin menikahiku, namun kendalanya cuma satu: restu kedua orang tua kami.

Bukan. Bukan karena orang tuanya tidak menyukaiku. Tetapi, mereka tidak memperbolehkan Mas Imam menikah sebelum kedua kakak lelakinya dan satu kakak perempuannya menikah lebih dulu. Mas Imam anak bungsu dari empat bersaudara. Usianya sekarang 26 tahun, dan aku tidak tahu kapan kakak-kakaknya itu akan menikah. Bisa jadi setahun, dua tahun, atau lebih dari lima tahun. Busyet, usiaku bisa mencapai kepala tiga. Hiks!

Belum lagi kendala berikutnya, tentang restu dari Abi yang juga tidak kunjung kudapatkan.

Sama, Abi bukannya tidak suka pada Mas Imam. Ia tidak membencinya sama sekali. Tapi... alasan ia tak merestui kami adalah: karena dari segi ilmu pengetahuan agamanya, Mas Imam tak sesuai kriteria yang diinginkan oleh Abi. Jangankan untuk berdakwah, mungkin, menjadi imam salat di masjid pun ia tak mumpuni. Tetapi dia lelaki baik. Selama dekat denganku, ia tidak pernah berbuat macam-macam. Bicaranya pun sopan terhadapku.

Oh Tuhan, aku sangat galau....

Tetapi aku takut untuk salat istiqharah. Aku takut membayangkan bahwa Mas Imam bukanlah jodohku.

Aku mencintainya....

Perjodohan

Kabut pagi masih menggantung di langit. Udara dingin seolah enggan beranjak dari muka bumi. Cericit burung terdengar riang menyambut mentari. Beberapa orang memanggul cangkul, dan perempuan-perempuan menggendong tenggok, sebuah bakul besar yang terbuat dari keratan bambu. Mereka terlihat berjalan dengan semangat di sepanjang jalan. Gemericik air yang berseling dengan nyanyian binatang sawah melengkapi pesona pagi.

Tapi sayang itu tidak berlaku untukku. Diriku seolah diselubungi oleh kabut yang tebal gara-gara mendengar permintaan Umi semalam. Ia mendatangiku ke kamar dan memintaku untuk bersedia berkenalan dengan Ustadz Ilham.

"Berkenalan saja dulu, Nduk. Siapa tahu nanti kamu suka dengan orangnya. Mau, ya?" kata Umi semalam.

Sambil merengut aku memunggunginya di tempat tidur. "Ogah!"

"Nduk, usiamu sudah cukup untuk menikah. Malah ndak bagus kalau kamu masih melajang. Kalau kamu sudah menikah, kamu ada yang menjaga. Terhindar dari fitnah."

Oh...aku menatap Umi dengan perasaan nelangsa. "Fitnah apa, sih, Mi? Siapa juga yang mau memfitnah Bila?"

"Nduk, Umi dan Abi tahu kalau kamu sering bertemu dengan lelaki yang bukan muhrimmu itu. Abi malu, Nduk. Umi kasihan pada Abi. Abi kan seorang kiai. Kamu mestinya bisa menjaga sikap dan menjaga jarak dengan lawan jenis. Jangan sering bertemu begitu."

Menyebalkan sekali, sih! Aku geram. "Jangan suka mendengarkan kata orang, Umi. Bila tidak melakukan apa pun yang bisa membuat Abi dan Umi malu. Bila cuma ketemu dengan Mas Imam. Cuma mengobrol, sebatas itu. Lagipula, kami bertemu di tempat ramai, bukannya menyepi berduaan. Kenapa mesti malu?"

"Tapi tetap saja, Nduk, itu membuat Abi malu. Kamu kan anak seorang pemuka agama. Kalau kamu sering bertemu dia, itu pasti menjadi omongan yang tidak mengenakkan."

Kesal. Kutatap ibuku itu dengan tajam. "Terus, kalau selama ini aku mendengar teman-temanku bilang kalau ayahku punya dua istri, itu tidak membuatku malu? Aku punya adik-adik dari ibu tiriku, itu tidak membuatku malu? Ibuku dipoligami, apa itu tidak membuatku malu? Iya, Umi? Kenapa kalian egois cuma memikirkan diri kalian sendiri, juga cuma memikirkan pesantren? Kenapa? Kenapa tidak pernah memikirkan perasaanku? Aku ini anak kandung kalian, kan? Pokoknya aku tidak mau menikah dengan seorang ustadz! Aku mencintai Mas Imam, dan aku mau menunggu Mas Imam. Titik!"

Ibuku meneteskan air mata. Gemetar.

Ya Tuhan, sungguh aku tidak sengaja telah menyakiti hatinya. Kuhela napas dalam-dalam, ikut menangis. "Bila minta maaf, Umi. Bila tidak bermaksud menyakiti hati Umi. Maaf...."

"Umi mengerti, Nduk. Tapi kamu juga harus mengerti. Kehidupanmu itu bukanlah seperti kehidupan gadis biasa. Kamu harus paham akan hal itu. Legowo, Nduk."

Aku tidak bisa legowo. Aku tidak suka diatur-atur. Aku ingin hidup seperti gadis biasa, Umi.

Dan itu yang kulakukan selama ini di dalam hidupku. Aku memang berhijab saat keluar rumah, namun hanya jilbab biasa, bukan yang panjang sampai ke pinggang apalagi sampai ke lutut. Sementara di dalam rumah, aku menanggalkan jilbabku. Aku kuliah di universitas umum, mengambil jurusan pendidikan seni, dan akhirnya mengajar mata pelajaran seni budaya di salah satu Sekolah Menengah Atas di Rembang.

Dalam mata pelajaran yang kuajarkan, aku mengajarkan murid-muridku tentang musik, namun bukan nasyid. Mengajar bermain alat musik, tapi bukan rebana. Aku mengajarkan seni lukis, tapi bukan kaligrafi. Bukan apa pun yang biasanya diajarkan di pesantren. Bahkan seni pentas, mementaskan drama biasa, bahkan drama kolosal, bukan tentang perjuangan umat dalam membela agama. Aku melakukan hal-hal yang sepenuhnya berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ustadz dan ustadzah di pesantren.

Huh! Aku sering menertawai diri sendiri. Adakah di luar sana anak seorang kiai, pemuka agama, tapi berkarakter sepertiku? Orang tuaku sukses menjadi suri tauladan bagi banyak orang, bagi para santri, dan bagi masyarakat di sekitar pesantren. Tapi mereka menjadi contoh yang gagal bagi anaknya sendiri.

Meski sejak remaja aku sering dijejali dengan nasihat-nasihat tentang hal-hal positif di balik keputusan poligami ayahku, tapi tetap saja, hatiku menolak. Aku ingin seorang wanita dimuliakan. Sebagaimana seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami, seperti itu juga mestinya para lelaki: mestinya kaum lelaki juga hanya boleh memiliki satu istri. Terkecuali, jika kasusnya jika ibuku tidak bisa memberikan keturunan bagi ayahku, aku akan mengerti. Tapi sudah ada aku, kan? Dia sudah punya anak. Aku. Aku satu-satunya yang mestinya ia sayangi. Ia perhatikan tanpa harus membagi perhatiannya kepada adik-adik yang bukan terlahir dari rahim ibuku. Ibuku tidak bisa memberikan keturununan lagi bagi ayahku, itu adalah takdir, bukan serta-merta kesalahan ibuku. Kenapa ia mesti dipoligami? Itu tidak adil baginya, juga tidak adil bagiku yang terpaksa berbagi ayah.

"Kamu mau, ya, Nduk? Berkenalan saja dulu. Nanti kamu boleh bertanya apa saja pada Nak Ilham. Kalau kamu tidak srek dengan jawabannya, kamu bilang pada Umi. Tapi kamu mesti jujur apa yang salah dari jawabannya yang tidak sesuai dengan hatimu. Bisa, kan, Nduk? Lakukan ini demi Umi? Ya? Tolong? Demi Umi."

Baiklah. Kupaksakan bibirku menyunggingkan senyum demi wanita yang kucintai ini. Pura-pura tegar, Bila. Demi Umi. Menurut saja dulu. Kuusap air mataku. "Orangnya tampan, tidak? Kalau tidak tampan aku tidak mau, ya. Boro-boro mau bertanya ini itu. Kalau dari tampangnya saja tidak sesuai kriteriaku, aku akan menolaknya. Tidak akan srek duluan."

"Tampan itu relatif, Nduk. Pokoknya temui saja dulu. Sekali lagi, lakukan ini demi Umi. Ya?"

Argh!

Semalam aku sudah mengiyakan permintaan Umi. Bagaimana aku mampu menolaknya jika saat bicara wajahnya bersimbah air mata? Dan siang ini aku mesti bertemu Ustadz Ilham. Dia akan datang berkunjung ke pesantren bersama kedua orang tuanya.

"Uuaaaaah...!" geliatku merentangkan kedua tangan sambil mengeluarkan napas dari paru-paru. Pegal-pegal terasa merambati kakiku.

Ya Tuhan, tak terasa aku sudah berjalan cukup jauh dari pesantren. Aku berada di pinggir sungai sekarang. Pemandangan yang terhampar di depan mata untuk sementara mampu membuatku lupa pada keadaan kakiku yang pegal dan sedikit perih, juga pegal di hatiku. Bebatuan berserakan di antara aliran sungai yang sangat jernih. Indah, dan menawan.

Aku terpesona. Kumaksimalkan kerja indra penglihatanku. Mataku merambah pepohonan rimbun di sekeliling lubuk yang berjajar seperti tentara mengepung banteng, menoleh ke kanan dan ke kiri berulang-ulang. Memang luar biasa indah.

Aku berdiri tegak sembari melempar kerikil kecil ke sungai. Menimbulkan irama kecipak yang merdu di telingaku.

Andai aku tak perlu berhadapan dengan situasi yang menyebalkan seperti ini. Andai Abi tidak memaksaku menikah dengan seorang ustadz. Andai aku diberi kebebasan memilih jodohku sendiri dan direstui menikah dengan Mas Imam. Andai....

Seperti zaman Siti Nurbaya saja, pikirku nelangsa.

Aku kembali melemparkan kerikil, kali ini agak besar. Irama kecipak yang dihasilkan pun lebih keras.

Baiklah, aku akan menemuimu, Pak Ustadz! Kita lihat, seberapa mampu kau meluluhkan hatiku? Ah, atau aku mesti membuatmu illfeel hinga kau juga akan menolak perjodohan ini? Wait and see. Silakan datang, Ustadz.

Pertemuan

Matahari siang bersinar kian terik. Hawa makin panas. Dan aku semakin gelisah.

"Kenapa, sih, aku ini? Kenapa harus gelisah? Ini sama sekali bukan pengkhianatan. Aku tidak mengkhinati Mas Imam. Tidak!" tekanku meyakinkan diri sendiri. "Ini hanya perkenalan dan aku akan segera menolak si ustadz itu."

Ah, ingin sekali rasanya aku berdandan dengan riasan tebal supaya Ustadz Ilham dan kedua orang tuanya illfeel terhadapku. Tetapi, aku tidak ingin menyakiti hati ibuku dan tak ingin membuatnya malu. Pun ayahku, aku tidak ingin membuat Abi malu meski aku menentang hampir semua yang ia lakukan di dalam hidupnya.

Aku sedang mengenakan jilbabku ketika Umi memanggilku di ambang pintu. "Nduk, Ustadz Ilham dan orang tuanya sudah datang."

Aku melongok ke luar. "Tunggu sebentar. Lima menit lagi selesai."

"Apa, sih, Nduk? Jilbabnya tinggal pasang, biarkan menutupi dada."

Aku mencebik. "Tidak keren, Umi," protesku.

"Nduk... jangan mempermalukan Abi...."

"Tapi Bila biasa begini jilbabnya, Umi."

"Hari ini jangan, ya. Malu pada keluarga--"

"Bukannya ini sama saja Bila menipu mereka? Kenapa Bila tidak boleh berdandan seperti biasanya dan apa adanya?"

Ibuku yang super baik hati itu tersenyum. "Umi tahu pikiranmu cerdas. Umi tahu kamu bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik, dan... mana yang tidak baik." Ia membenahi jilbabku dan menurunkannya menutupi dada. "Usiamu sudah dua puluh empat tahun. Bersikaplah dewasa. Ya, Sayang, ya? Kamu sayang pada Umi, kan?"

Umiiiii... sikap lembutnya padaku membuatku tak bisa menentang keras dirinya seperti apa yang kulakukan pada Abi.

"Baiklah, Umi. Bila tidak akan mempermalukan Umi. Tapi, sesuai kesepakatan kita, ya, kalau Ustadz Ilham memiliki karakter yang tidak sesuai dengan apa yang Bila harapkan, Bila boleh menolak perjodohan ini. Oke?"

Ia mengangguk. Setuju. Dan ini waktunya aku mesti beraksi. Lalu, kemudian...

Eh?

Brewoooook....

Oh Tuhan... pria itu, Ustadz Ilham, ia seperti pria-pria di film dari negara timur. Kulitnya putih bersih. Berbadan tegap, gempal, berisi dan berdada bidang. Otot-ototnya nampak jelas di balik baju koko yang ia kenakan. Dan kabar baiknya ialah: ia tak mengenakan sarung atau pun jubah putih, tak memakai sorban apalagi peci putih. Dan... brewoknya nggak nahaaaaan....

Dia menyunggingkan senyum tipis kepadaku. Penilaian pertamaku padanya serba plus. Dia nampak kalem, cerdas, tampan, gagah, dan berwibawa. Lelaki dengan wajah tenang dan sejuta pesona.

"Pak Kiai, Bu Nyai, ini Salsabila Azzahra, anak kami," kata ibuku.

Ingat, Bila, ingat. Ingat Mas Imam. Aku menyunggingkan senyum, lalu mencium tangan Bu Nyai sebagai bentuk hormat, dan, sama sekali bukan untuk mencari perhatian mereka.

Eh?

Kan... kan... kalau sudah berhadapan dengan situasi nyatanya, aku tak bisa berbuat sesuatu yang akan mempermalukan kedua orang tuaku. Justru aku bersikap baik kepada para tamu di hadapanku.

Seperti yang dikatakan oleh Umi. Pada awalnya ini hanya sekadar perkenalan. Obrolan basa basi tentang pribadi kami masing-masing. Bagaimana aku dan Ustadz Ilham tumbuh besar, tentang pendidikan kami, dan juga tentang pekerjaan kami saat ini. Tapi itu bukan pertanyaanku ataupun pertanyaan Ustadz Ilham, dan bukan pula jawaban kami berdua. Tetapi, ini pertanyaan dan jawaban yang dituturkan oleh kedua orang tuaku, dan kedua orang tuanya. Saling mengunjukkan nilai positif anaknya masing-masing. Dan aku tahu, nanti setelah pertemuan ini usai, aku pasti akan ditanya oleh kedua orang tuaku tentang bagaimana sosok Ustadz Ilham di mataku? Dan apakah aku bersedia dijodohkan dengannya? Dan kalau aku menjawab tidak, aku tahu pertanyaan selanjutnya: apa yang kurang dari seorang Ilham Akbar, sosok Ustadz yang pengetahuan agamanya mumpuni dan sudah sangat matang untuk menjadi seorang imam dalam rumah tangga? Dan, kalau aku menjawab ini tentang hati, maka pastilah Abi akan menceramahiku sepanjang malam.

Dan, aku yakin, Ustadz Ilham juga akan menerima pertanyaan yang sama. Dari caranya memandangku saat perkenalan ini, aku tahu jawabannya. Dia tak mungkin menolak perjodohan ini. Dia tak akan menolakku.

Bukan. Bukan aku sok percaya diri. Tapi tatapan pria itu terhadapku mewakili apa yang ada di hatinya. Matanya menyampaikan kekaguman. Entah karena parasku, atau apa pun yang ia lihat dariku. Tapi aku tahu jika dia menyukaiku. Terlebih, ketika akhirnya Kiai Rahman bertanya padanya bagaimana pendapatnya tentang aku, Ustadz Ilham tersenyum manis. "Semuanya tepat seperti yang Umi katakan," katanya.

Pujian terselubung.

Tapi Pak Ustadz pasti tidak tahu bagaimana watak asliku.

"Bagaimana, Bila? Ustadz Ilham memenuhi semua kriteriamu, bukan?" tanya Abi yang membuatku merona malu.

Aku bukan geer, ya. Bukan pula tersipu malu karena jatuh cinta. Aku memang mengagumi, tapi tidak sedang jatuh cinta. Tidak. Aku hanya malu mengakui ataupun jujur tentang sosok Ustadz Ilham yang memang sesuai dengan kriteriaku, si gadis yang suka sekali menonton drama dari negara tetangga. Kecuali tentang statusnya sebagai ustadz. Itu satu-satunya yang tidak termasuk kriteriaku. Tapi selebihnya, 100% cocok.

"Abi...," protesku, "katanya sebatas perkenalan dulu...."

Senyum Abi semakin mengembang, pun semua orang, Ustadz Ilham juga.

"Abi kan cuma bertanya. Dia sesuai, kan, dengan keriteriamu?"

Iiiiih... Abi mah, jelas-jelas itu terkesan menggodaku. Aku mengangguk, lalu berpaling ke Ustadz Ilham. Ia tersenyum semringah atas pengakuanku. "Tapi ini bukan berarti aku langsung menerima perjodohan ini, ya," kataku, berusaha selembut mungkin. "Maaf Pak Kiai, Bu Nyai, dan... Ustadz... Ilham, tapi...." Aku berpikir bagaimana mesti menyampaikan sesuatu agar tak menyakiti hati siapa pun. Alasan terbaikku. "Bila butuh waktu untuk mengenal Ustadz Ilham lebih jauh. Karena kebahagiaan pasca menikah bukan tergantung pada ketertarikan secara fisik. Tapi lebih dari itu."

"Tidak apa-apa," sahut Bu Nyai. "Malah bagus, kamu terbuka dan bisa jujur dari awal. Iya, kan, Leh?"

Ustadz Ilham mengangguk. "Iya. Saya tidak keberatan kalau Bila ingin saling mengenal lebih jauh dulu sebelum menerima perjodohan ini. Maaf, maksud saya sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak perjodohan ini."

Aku menangkap tatapan Ustadz Ilham, dan menyadari -- Mas Imam memang tak sesempurna Ustadz Ilham dalam bersikap. Tutur katanya tak selembut itu. Dan penampilannya, ia tak senecis penampilan Ustadz Ilham.

Namanya juga tukang bengkel, Bil!

Juga satu hal lagi, aku tahu Mas Imam rajin salat, sesuai pengakuannya yang entah jujur atau tidak, tapi ia bukan ahli masjid. Pastilah sangat jauh berbeda dengan Ustadz Ilham. Maka cintaku padanya akan bertambah jauh dari restu orang tuaku.

Satu pertanyaan baru sekarang, apa aku siap melajang sampai usiaku lebih dari kepala tiga hanya demi menunggu restu? Aku jelas tak akan sanggup kawin lari. Itu sama saja aku melemparkan kotoran ke wajah kedua orang tuaku, atau seperti menelanjangi diri mereka.

Tak akan mungkin aku sanggup melakukan itu.

Kehadiran Ustadz Ilham jelas akan lebih mempersulit penyatuan cintaku dan Mas Imam.

Aku menatap kepada Umi. Wajahnya penuh harap, membuat perasaanku sakit tatkala mengingat bahwa: surgaku ada di bawah telapak kakinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!