Matahari siang bersinar kian terik. Hawa makin panas. Dan aku semakin gelisah.
"Kenapa, sih, aku ini? Kenapa harus gelisah? Ini sama sekali bukan pengkhianatan. Aku tidak mengkhinati Mas Imam. Tidak!" tekanku meyakinkan diri sendiri. "Ini hanya perkenalan dan aku akan segera menolak si ustadz itu."
Ah, ingin sekali rasanya aku berdandan dengan riasan tebal supaya Ustadz Ilham dan kedua orang tuanya illfeel terhadapku. Tetapi, aku tidak ingin menyakiti hati ibuku dan tak ingin membuatnya malu. Pun ayahku, aku tidak ingin membuat Abi malu meski aku menentang hampir semua yang ia lakukan di dalam hidupnya.
Aku sedang mengenakan jilbabku ketika Umi memanggilku di ambang pintu. "Nduk, Ustadz Ilham dan orang tuanya sudah datang."
Aku melongok ke luar. "Tunggu sebentar. Lima menit lagi selesai."
"Apa, sih, Nduk? Jilbabnya tinggal pasang, biarkan menutupi dada."
Aku mencebik. "Tidak keren, Umi," protesku.
"Nduk... jangan mempermalukan Abi...."
"Tapi Bila biasa begini jilbabnya, Umi."
"Hari ini jangan, ya. Malu pada keluarga--"
"Bukannya ini sama saja Bila menipu mereka? Kenapa Bila tidak boleh berdandan seperti biasanya dan apa adanya?"
Ibuku yang super baik hati itu tersenyum. "Umi tahu pikiranmu cerdas. Umi tahu kamu bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik, dan... mana yang tidak baik." Ia membenahi jilbabku dan menurunkannya menutupi dada. "Usiamu sudah dua puluh empat tahun. Bersikaplah dewasa. Ya, Sayang, ya? Kamu sayang pada Umi, kan?"
Umiiiii... sikap lembutnya padaku membuatku tak bisa menentang keras dirinya seperti apa yang kulakukan pada Abi.
"Baiklah, Umi. Bila tidak akan mempermalukan Umi. Tapi, sesuai kesepakatan kita, ya, kalau Ustadz Ilham memiliki karakter yang tidak sesuai dengan apa yang Bila harapkan, Bila boleh menolak perjodohan ini. Oke?"
Ia mengangguk. Setuju. Dan ini waktunya aku mesti beraksi. Lalu, kemudian...
Eh?
Brewoooook....
Oh Tuhan... pria itu, Ustadz Ilham, ia seperti pria-pria di film dari negara timur. Kulitnya putih bersih. Berbadan tegap, gempal, berisi dan berdada bidang. Otot-ototnya nampak jelas di balik baju koko yang ia kenakan. Dan kabar baiknya ialah: ia tak mengenakan sarung atau pun jubah putih, tak memakai sorban apalagi peci putih. Dan... brewoknya nggak nahaaaaan....
Dia menyunggingkan senyum tipis kepadaku. Penilaian pertamaku padanya serba plus. Dia nampak kalem, cerdas, tampan, gagah, dan berwibawa. Lelaki dengan wajah tenang dan sejuta pesona.
"Pak Kiai, Bu Nyai, ini Salsabila Azzahra, anak kami," kata ibuku.
Ingat, Bila, ingat. Ingat Mas Imam. Aku menyunggingkan senyum, lalu mencium tangan Bu Nyai sebagai bentuk hormat, dan, sama sekali bukan untuk mencari perhatian mereka.
Eh?
Kan... kan... kalau sudah berhadapan dengan situasi nyatanya, aku tak bisa berbuat sesuatu yang akan mempermalukan kedua orang tuaku. Justru aku bersikap baik kepada para tamu di hadapanku.
Seperti yang dikatakan oleh Umi. Pada awalnya ini hanya sekadar perkenalan. Obrolan basa basi tentang pribadi kami masing-masing. Bagaimana aku dan Ustadz Ilham tumbuh besar, tentang pendidikan kami, dan juga tentang pekerjaan kami saat ini. Tapi itu bukan pertanyaanku ataupun pertanyaan Ustadz Ilham, dan bukan pula jawaban kami berdua. Tetapi, ini pertanyaan dan jawaban yang dituturkan oleh kedua orang tuaku, dan kedua orang tuanya. Saling mengunjukkan nilai positif anaknya masing-masing. Dan aku tahu, nanti setelah pertemuan ini usai, aku pasti akan ditanya oleh kedua orang tuaku tentang bagaimana sosok Ustadz Ilham di mataku? Dan apakah aku bersedia dijodohkan dengannya? Dan kalau aku menjawab tidak, aku tahu pertanyaan selanjutnya: apa yang kurang dari seorang Ilham Akbar, sosok Ustadz yang pengetahuan agamanya mumpuni dan sudah sangat matang untuk menjadi seorang imam dalam rumah tangga? Dan, kalau aku menjawab ini tentang hati, maka pastilah Abi akan menceramahiku sepanjang malam.
Dan, aku yakin, Ustadz Ilham juga akan menerima pertanyaan yang sama. Dari caranya memandangku saat perkenalan ini, aku tahu jawabannya. Dia tak mungkin menolak perjodohan ini. Dia tak akan menolakku.
Bukan. Bukan aku sok percaya diri. Tapi tatapan pria itu terhadapku mewakili apa yang ada di hatinya. Matanya menyampaikan kekaguman. Entah karena parasku, atau apa pun yang ia lihat dariku. Tapi aku tahu jika dia menyukaiku. Terlebih, ketika akhirnya Kiai Rahman bertanya padanya bagaimana pendapatnya tentang aku, Ustadz Ilham tersenyum manis. "Semuanya tepat seperti yang Umi katakan," katanya.
Pujian terselubung.
Tapi Pak Ustadz pasti tidak tahu bagaimana watak asliku.
"Bagaimana, Bila? Ustadz Ilham memenuhi semua kriteriamu, bukan?" tanya Abi yang membuatku merona malu.
Aku bukan geer, ya. Bukan pula tersipu malu karena jatuh cinta. Aku memang mengagumi, tapi tidak sedang jatuh cinta. Tidak. Aku hanya malu mengakui ataupun jujur tentang sosok Ustadz Ilham yang memang sesuai dengan kriteriaku, si gadis yang suka sekali menonton drama dari negara tetangga. Kecuali tentang statusnya sebagai ustadz. Itu satu-satunya yang tidak termasuk kriteriaku. Tapi selebihnya, 100% cocok.
"Abi...," protesku, "katanya sebatas perkenalan dulu...."
Senyum Abi semakin mengembang, pun semua orang, Ustadz Ilham juga.
"Abi kan cuma bertanya. Dia sesuai, kan, dengan keriteriamu?"
Iiiiih... Abi mah, jelas-jelas itu terkesan menggodaku. Aku mengangguk, lalu berpaling ke Ustadz Ilham. Ia tersenyum semringah atas pengakuanku. "Tapi ini bukan berarti aku langsung menerima perjodohan ini, ya," kataku, berusaha selembut mungkin. "Maaf Pak Kiai, Bu Nyai, dan... Ustadz... Ilham, tapi...." Aku berpikir bagaimana mesti menyampaikan sesuatu agar tak menyakiti hati siapa pun. Alasan terbaikku. "Bila butuh waktu untuk mengenal Ustadz Ilham lebih jauh. Karena kebahagiaan pasca menikah bukan tergantung pada ketertarikan secara fisik. Tapi lebih dari itu."
"Tidak apa-apa," sahut Bu Nyai. "Malah bagus, kamu terbuka dan bisa jujur dari awal. Iya, kan, Leh?"
Ustadz Ilham mengangguk. "Iya. Saya tidak keberatan kalau Bila ingin saling mengenal lebih jauh dulu sebelum menerima perjodohan ini. Maaf, maksud saya sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak perjodohan ini."
Aku menangkap tatapan Ustadz Ilham, dan menyadari -- Mas Imam memang tak sesempurna Ustadz Ilham dalam bersikap. Tutur katanya tak selembut itu. Dan penampilannya, ia tak senecis penampilan Ustadz Ilham.
Namanya juga tukang bengkel, Bil!
Juga satu hal lagi, aku tahu Mas Imam rajin salat, sesuai pengakuannya yang entah jujur atau tidak, tapi ia bukan ahli masjid. Pastilah sangat jauh berbeda dengan Ustadz Ilham. Maka cintaku padanya akan bertambah jauh dari restu orang tuaku.
Satu pertanyaan baru sekarang, apa aku siap melajang sampai usiaku lebih dari kepala tiga hanya demi menunggu restu? Aku jelas tak akan sanggup kawin lari. Itu sama saja aku melemparkan kotoran ke wajah kedua orang tuaku, atau seperti menelanjangi diri mereka.
Tak akan mungkin aku sanggup melakukan itu.
Kehadiran Ustadz Ilham jelas akan lebih mempersulit penyatuan cintaku dan Mas Imam.
Aku menatap kepada Umi. Wajahnya penuh harap, membuat perasaanku sakit tatkala mengingat bahwa: surgaku ada di bawah telapak kakinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
💗vanilla💗🎶
mampir thor
2023-02-14
1
momnaz
realistis mencoba memandang poligami dari sudut pandang lain
2022-07-04
1
Cheny Mustika Sari
bacanya stop sampe sini..gemes sama karakter perempuannya,dan juga cara pandang tentang poligami,seakan apa yg di contohkan oleh nabi itu perbuatan tercela..sedangkan poligami di perbolehkan dengan syarat dan ketentuan yg syar'i
2022-05-30
2