Keringat dingin membasahi tubuh Andini. Andini berteriak, terjaga dari tidurnya. Napasnya tersengal-sengal setelah bangun dari tidurnya.
“Ya Allah, aku barusan mimpi Mbak Dinda. Mbak Dinda, kamu baik-baik saja, kan?” Andini melihat jam dinding di kamarnya yang masih menunjukkan pukul satu dini hari. Andini langsung mengambil ikat rambutnya, dan menuju ke kamar mandi untuk berwudu.
Andini salat malam, dan berdoa untuk Dinda. Sudah lama dia tidak tahu kabar Dinda, dan sekarang dia mimpi bertemu dengan Dinda. Dalam mimpinya Dinda terlihat sangat cantik dengan menggunakan gaun berwarna putih.
Selesai salat dan mengaji, Andini keluar dari kamarnya. Dia menuju ke dapur, mengambil air putih. Andini duduk sendiri di kursi yang berada di dapur. Tidak seperti biasanya, Andini mencium bau harum di sekitar dapur, tapi wangi itu semakin memudar. Andini mengusap tengkuknya yang mulai merinding. Padahal di dapurnya tidak ada pewangi seperti yang ia letakkan di ruang tengah atau di ruang tamu juga di kamarnya. Andini masih setia duduk di kursi kayu. Dia meneguk lagi air putihnya. Sejenak Andini mengingat mimpinya tadi. Mimpi bertemu dengan Dinda.
*"Andini, kemarilah,"*panggil wanita cantik dengan memakai gaun putih.
"Si--siapa kamu!" Seru Andini.
"Andini, aku membutuhkanmu," ucap perempuan itu.
"Mba Dinda? Benarkah ini Mba Dinda? Mba ada apa menemuiku? Mba cantik sekali." Andini kaget dan terkagum melihat Dinda yang sangat cantik sekali memakai gaun berwarna putih.
"Andini, jangan pergi lagi, mereka membutuhkanmu. Aku sudah selesai, aku sudah bahagia," ucap Dinda.
"Maksud Mba?" Andini bertanya pada Dinda. Namun, Dinda pergi dengan tersenyum ke arah cahaya putih
"Mba, Mba Dinda! Mba, tunggu mba! jangan pergi! Mba Dinda, tunggu!!" Andini terbangun dari mimpinya dengan napas yang terengah-engah.
Andini mengingat mimpinya semalam. Dia tidak mengerti kenapa harus mimpi seperti itu. Tengah malam dia memimpikan Dinda seperti itu, dan Dinda bilang, Dinda sangat membutuhka dirinya.
"Astaghfirullah, Mba Dinda. Mbak Dinda baik-baik saja, kan? Besok aku harus menemui Mbak Dinda, besok aku akan ke rumahnya. Iya, aku harus menemui Mbak Dinda, memastikan keadaan Mbak Dinda," lirih Andini dengan penuh cemas.
^^^
Andini bersiap untuk ke rumah Dinda. Dia benar-benar tidak bisa tidur sampai pagi setelah mimpi bertemu dengan Dinda. Bayangan wajah Kakak Madunya selalu terlihat saat dia hendak memejamkan matanya lagi. Andin hanya bisa mengirim doa untuk Kakak Madunya karena dia tidak bisa apa-apa selain itu, setelah dia memutuskan mengganti nomor ponselnya, dan menuruti apa kata Rico agar tidak menemui Dinda dan Arsyad lagi mulai sekarang.
Ya, Rico mendatangi rumah Andini satu minggu yang lalu. Dia meminta Andini untuk tidak usah menemui Arsyad dan Dinda lagi. Tapi, Andini menolaknya, walau bagaimana pun, Arsyad adalah putranya. Tapi. Rico yang keras kepala tetap kekeuh dengan keinginannya. Melarang Andini menemui Dinda dan Arsyad.
“Aku tahu kamu tidak mencintaiku, bahkan mungkin kamu benci denganku, tapi aku mohon, jangan pernah jauhkan aku dengan orang yang kusayang, Mbak Dinda dan Arsyad. Mereka adalah orang-orang yang kusayangi!” gumam Andini dengan mengemudikan mobilnya menuju ke rumah Dinda.
Andini sampai di depan rumah Dinda. Dia langsung menuju ke teras rumahnya. Diketuknya pintu rumah Dinda. Kelihatannya sangat sepi sekali. Sepagi ini rumah Dinda terlihat sangat sepi. Biasanya Rico sudah di luar sedang olahraga, Pak Agus memanasi mobilnya. Tapi, suasana pagi ini terasa beda sekali di mata Andini. Kelam, sunyi, senyap, seperti sedang berduka.
“Mungkin hanya perasaanku saja, karena aku sudah lama tidak di sini, mungkin kebiasaan mereka sudah berubah,” gumam Andini.
"Assalamualaikum," Andini mengetuk kembali pintu rumah Dinda.
"Wa'alaikumsalam," sahut Bi Ana dan membukakan pintu.
"Bu Andini." Bi Ana langsung memeluk Andini dan menangis.
"Bi, ada apa? Mba Dinda di mana? Arsyad di mana?" Andini ikut panik karena Bi Ana semakin terisak di dalam pelukan Andini, saat dirnya bertanya di mana Dinda dan Arsyad.
"Bu, Arsyad di dalam, dia sedang tidur. Ta—tapi, Bu Dinda ... emm ... Bu Dinda ...." Ucapan Bi Ana terbata-bata ketika menyebut nama Dinda, tangis Bi Ana semakin pecah, karena mengingat Dinda yang kini sedang menunggu keajaiban untuk sembuh dari sakitnya.
"Kenapa Mba Dinda, Bi? Jangan menangis, Bi, tolong jelaskan!" ucap Andini dengan panik dan cemas.
"Bu Dinda sudah tiga hari di rumah sakit. Penyakit Bu Dinda makin parah, kita semua hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Bu Dinda, semoga ada keajaiban." Bi Ana menjelaskan semua pada Andini.
Tubuh Andini seketika lemah, dia duduk di kursi teras. Menenangkan dirinya. Degub jantungnya semakin berpacu, ketika mengingat mimpinya semalam. Air matanya meleleh, dia menangis menyebut nama Dinda berkali-kali. Andini tahu, kenapa Rico melarang dirinya menemui Dinda, semua karena ini.
“Kamu tega sekali melakukan ini, Mas. Aku tahu, kamu tidak butuh aku, tapi Mbak Dinda? Mbak Dinda ingin bertemu aku, aku yakin itu. Jahat sekali kamu, Mas!” Andini tidak sadar mengucapkan itu di sela-sela tangisannya.
"Mbak Dinda dirawat di Rumah Sakit mana, Bi?” tanya Andini.
"Di rumah sakit ...," jawab Bi Ana.
"Baik Bi, aku akan segera kesana. Titip Arsyad, Bi." Anidi pamit pergi ke Rumah Sakit yang diberitahukan Bi Ana.
Andini mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah sakit yang tadi di beri tahu Bi Ana. Sesampainya di rumah sakit, Andini langsung memarkirkan mobilnya dan berlari menuju lobi rumah sakit. Andini bertanya pada bagian front office di depan. Di mana ruang ICU, karena dia sudah tahu, kalau Dinda sekarang ada di ruang ICU. Bi Ana sudah memberithukan padanya. Andini langsung berlari, saat tahu di mana ruang ICU berada.
Sesampainya di sana, Andini melihat sosok pria yang sangat ia kenal. Iya, Rico. Siapa lagi kalau bukan Rico? Rico sedang duduk di bangku yang berada di depan ruang ICU. Tangannya masih setia memegang tasbihnya, dan mulutnya terus merapalkan doa untuk kesembuhan istri tercintanya.
"Mas Rico," panggil Andini.
"Andini? kenapa kamu di sini? siapa yang memberitahukan kamu kalau Dinda di sini?" tanya Rico dengan nada sedikit sarkas.
"Bi Ana yang memberitahuku. Maafkan aku, aku sudah berani hadir di sini," ucap Andini dengan menundukkan kepala.
"Iya, tidak apa-apa, duduklah." Rico menyuruh Andini duduk di sebelahnya.
“Jadi ini, mas menyuruh aku untuk tidak menemui Mbak Dinda?”
“Bukan itu, Ndin. Aku sudah bilang sama kamu, kalau Dinda mau kita sama-sama lagi. Itu tidak akan mungkin bisa. Aku tidak bisa, karena aku mencintainya, sangat mencintainya. Dan, selamanya kamu hanyalah rahim pengganti saja. Bukan istri pengganti!” ucap Rico.
“Iya aku tahu, sudah jangan bahas ini. Sekarang bagaimana keadaan Mbak Dinda? Apa aku boleh masuk melihatnya?” tanya Andini.
“Iya, boleh. Ayo masuk saja, lihat sendiri keadaan Dinda saat ini,” ajak Rico.
Andini masuk ke dalam. Dia melihat Dinda yang terbaring lemah di ranjang rawatnya. Tubuhnya semakin kurus, hingga tulang rahangnya semakin terlihat. Andini tidak tega melihat Kakak Madunya yang terbaring lemah seperti saat ini.
“Dokter bilang apa, dengan keadaan Mbak Dinda yang sekarang seperti ini, Mas?” tanya Andini.
“Dokter bilang, sudah tidak ada harapan lagi, kecuali memang ada keajaiban untuk sembuh. Dokter memvonis hanya beberapa hari saja Dinda bertahan. Ini hari ketiga dia dirawat di sini,” jawab Rico.
“Mas tega, ya? Kenapa Mas gak bilang sama aku, kalau keadaan Mbak Dinda seperti ini? Apa mas takut kalau aku akan kembali pada mas? Memenuhi permintaan Mbak Dinda? Jangan takut, Mas! Karena itu tidak akan pernah! Aku selalu ingat apa yang kamu katakan kemarin, Mas!” Andini sedikit terbawa emosi karena Rico sangat keterlaluan dengan dirinya, yang sama sekali tidak memberitahukan pada dirinya kalau Dinda keadaannya seperti ini.
"Aku tidak mau berdebat disini, Andini! Aku mohon sama kamu, apa pun nanti keinginan Dinda, aku akan menurutinya, aku akan mengabulkannya, aku janji itu. Walaupun aku terpaksa menurutinya, dan mungkin tidak pernah bisa," ucap Rico.
Andini hanya diam mendengar ucapan Rico. Iya, dirinya pun akan menuruti apa yang Dinda mau. Apalagi dia masih sangat ingat tentang mimpinya semalam, saat Dinda menemuinya lewat mimpi.
"Mas Rico, aku tahu kamu saat ini sangat lemah dan rapuh sekali. Maafkan aku, Mas, karena aku sudah lancang mencintaimu," gumam Andini.
Andini mendengar Dinda memanggil namanya dengan lirih. Memang setiap hari Dinda selalu memanggil nama Andini. Hanya Andini dan Rico yang ia panggil setiap hari. Tapi, Dinda tidak pernag membuka matanya selama tiga hari itu. Hanya mengigau, memanggil nama Andini dan Rico.
"Andini, kamu di mana, Andini?" Dinda mengigau memanggil nama Andini.
"Mba Dinda, ini aku Andini," ucap Andini lirih di samping telinga Dinda.
"Andini, jangan pergi lagi, kembalilah ke rumah, jaga Arsyad dan Mas Rico," ucapnya dengan terbata-bata karena menahan sakitnya, dan mengerjapkan matanya. Baru kali ini Dinda membuka matanya kembali saat mengetahui Andini ada di dekatnya.
"Mba, aku tidak bisa," ucap Andini dengan berlinang air mata dan menahan sesak di dadanya melihat kondisi Dinda saat ini.
"Andin, aku mohon berjanjilah untuk kembali ke rumah, jadilah istri Mas Rico lagi, jaga Arsyad dan Mas Rico," pinta Dinda.
"Mba, aku tidak bisa.”
"Berjanjilah, Andini," pinta Dinda lagi.
Andini melihat ke arah Rico yang dari tadi menangis melihat Dinda memohon pada Andini untuk tetap tinggal di rumahnya. Rico mengisyaratkan pada Andini untuk memenuhi permintaan Dinda, istri tercintanya.
"Mas Rico," panggil Dinda.
"Iya, Sayang," sahut Rico dengan suara serak da mengusap air matanya.
"Mas, bawa Andini kerumah lagi, ya? Mas harus berjanji, untuk jadi suami Andini lagi. Aku mohon, Mas," pinta Dinda
"Sayang, aku janji apa yang kamu mau akan aku turuti," ucap Rico dengan suara serak, dan lagi-lagi dia mengusap air matanya yang semakin deras mengalir.
"Andini, berjanjilah jangan pergi dari rumah lagi," pinta Dinda.
"Iya mba, aku janji," ucap Andini.
Dinda menarik tangan Andini dan Rico. Dia menyatukan tangan mereka. Rico menatap Andini, dengan tatapan yang menyiratkan keterpakasaan.
"Mas Rico, aku mohon sayangi Andini dan Arsyad," ucap Dinda.
"Iya, sayang, kamu jangan banyak bicara lagi, kamu pasti sembuh, kamu istirahat ya, Sayang," ucap Rico sambil menangis.
"Mas, jangan menangis. Mas, tuntun aku, tuntun aku untuk pergi dengan tenang," pinta Dinda.
Suara isak tangis Rico semakin terdengar saat Dinda memintanya menuntunnya untuk kembali pulang. Rico mengusap air matanya, dia duduk di samping Dinda dan menuntun Dinda mengucapkan Dua Kalimat Syahadat. Andini juga tidak bisa membendung air matanya. Dia mencium kening Dinda, dia pun ikut mengucapkan dua kalimat syahadat. Menuntun Kakak Madunya untuk kembali pulang.
Andini terus menuntun Dinda bersama Rico. Dia melihat detik-detik Dinda mengembuskan napas terakhirnya. Andini memejamkan matanya. Dadanya sakit harus melihat orang yang ia sayangi sedang sakaratul maut.
"Innalillahi Wainnailaihi Rojiun. Tenanglah di surga, Sayang. Kamu sudah tak sakit lagi, aku janji untuk memenuhi semua permintaanmu walau hati ini sangat sakit, walau aku sangat terpakasa melakukan ini, ini semua demi kamu, Sayang," ucap Rico dengan lirih dan mengecup kening Dinda.
Andini melihat kakak madunya yang sudah memejamkan matanya. Dia mendengar semua yang Rico katakan. Akan menuruti apa semua permintaan terakhir Dinda, meski itu terpaksa.
"Innalillahi wainnailaihi Rojiun. Maafkan aku, Mbak Dinda. Maafakan aku, aku janji, akan memenuhi semua permintaan terakhir mbak," ucap Andini dengan lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
kalea rizuky
riko sok bgt siapa yg mau ma loe
2024-11-09
0
Masitah Masitah
itu namay laki laki kurang ajar
2023-02-18
0
Sustiani
😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2022-07-07
1