Sudah lima hari Rico menemani Andini di rumah sakit. Dia juga sesekali bergantian dengan Bi Ana kalau siang, karena dia juga harus melihat kondisi Dinda dan juga harus mengantar Dinda Check-up, juga ke kantor untuk mengurus pekerjaannya.
Hari ini, Andini sudah diperbolehkan untuk pulang. Keadaan Andini sudah kembali stabil meski masih terasa sakit di bagian perutnya. Andini dibantu Bi Ana menata baju ke dalam koper. Rico juga membantu mengemasi barang-barang milik Andini.
“Ndin, kamu duduk saja, biar aku sama Bi Ana yang mengemasinya,” ucap Rico.
“Iya, Mas. Ini sudah selesai kok,” jawab Andini.
Sedangkan Dinda, dia yang tahu kalau Andini akan pulang, dia menyiapkan makanan untuk Andin, dan menata keranjang bayi milik Arsyad. Dia sangat bahagia, karena rumahnya sebentar lagi akan terdengar suara tangisan bayi yang ia rindukan selama sepuluh tahun.
Sakitnya sudah tidak terasa lagi setelah mendengar kabar dari suaminya kalau Andini sudah bisa pulang siang ini. Dinda benar-benar melupakan sakitnya karena itu. Setelah selesai membuatkan makanan kesuakaan Andini dan suaminya, juga menata keranjang bayi milik Arsyad, dia duduk di ruang tamu sambil menunggu kedatangan Andini dan Arsyad ke rumah.
^^^
Andini dan Rico sudah sampai di rumah. Kedatangan mereka langsung disambut oleh Dinda yang dari tadi sudah menuggu kedatangan mereka. Dinda langsung menyambut Andini dan memeluknya.
Andini lega sekali sudah pulang ke rumah, dari kemarin dia benar-benar mencemaskan keadaan Dinda yang di rumah sendirian. Meski dengan Bi Ana, tapi kamar Bi Ana sangat jauh dari kamar Dinda. Itu yang membuat Andini khawatir dengan Dinda, karena takut terjadi apa-apa dengan Dinda di rumah, apalagi kata Rico sakit Dinda tambah parah.
“Alhamdulillah, gantengnya mama sudah pulang. Mama kangen kamu, Nak. Sini gendong mama.” Dinda langsung meminta Arsyad dari gendongan Andini.
“Mama gak kangen sama papa?” tanya Rico.
“Kangen juga dong,” jawabnya dengan mencium tangan Rico lalu memeluknya.
“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Rico.
“Alhamdulillah, seperti yang mas lihat, aku baik-baik saja, kan?” jawab Dinda.
"Syukurlah, aku bawa barang-barang Andini ke kamar dulu ya, Sayang." Rico pamit ke kamar Andini untuk menaruh barang-barang milik Andini.
"Iya, papa," ucap Dinda dengan menirukan suara anak kecil
Andini sudah berada di dalam kamarnya untuk menata baju-baju miliki Arsyad ke dalam lemari khusus untuk Arysad. Dia juga menata kamarnya kembali untuk tidur dengan Arsyad, meski sudah ada keranjang bayi yang berada di kamar Dinda dan Rico, dia tetap menata posisi tidurnya kali saja Arsyad akan tidur dengannya.
Andini melihat Dinda yang sedang menggendong Arsyad. Dinda terlihat bahagia dengan adanya Arsyad di rumah ini. Andini mengamati Dinda dengan tatapan sendu, karena melihat lekuk tubuh Dinda yang semula seksi. Sekarang menjadi sangat kurus karena sedang melawan penyakita dalam tubuhnya. Meskipun sedang sakit, Dinda terlihat sangat bahagia dengan kehadiran Arsyad. Andini tahu bagaimana rasanya sakit yang dialami Dinda, sakit yang terus menggerogoti tubuhnya.
"Ndin, kenapa menatap Dinda seperti itu?" tanya Rico yang melihat Andini menatap Dinda dengan tatapan sendu.
"Aku melihat Mba Dinda bahagia sekali, Mas. Walaupun dia sedang sakit tapi masih bisa tersenyum manis seperti itu,” jawab Andini.
"Itulah Dinda, kamu tahu, Ndin? Lima bulan pertama dia divonis kanker rahim, dia tidak bilang padaku, dia menyembunyikannya dariku," ucap Rico dengan mata berkaca-kaca yang juga menatap Dinda dari kamar Andini.
"Kenapa seperti itu, Mas?" tanya Andini.
"Dia tidak mau aku kecewa karena dengan sakit seperti itu dia tidak bisa ngasih aku anak. Saat aku sudah tahu sakitnya, dia terus mendesakku agar aku menikah lagi, mana mungkin aku menikah lagi? Aku sangat menyayanginya dan sangat mencintainya. Tapi, dia terus memaksa dan membujukku, lalu akhirnya aku menikah denganmu," jelas Rico.
"Semoga dengan adanya Arsyad, Mba Dinda akan kuat melawan penyakitnya, Mas," ucap Andini yang masih menatap Dinda dari kejauhan.
"Iya, Ndin, maafkan aku yang sudah melibatkan kamu dalam masalah ini. Terima kasih, Ndin, karena kamu sudah memberikan kebahagiaan untuk kami." Rico berkata sambil memegang kedua bahu Andini.
“Iya, Mas,” jawabnya dengan tersenyum getir melawan gejolak di dalam dadanya.
"Aku ke depan dulu, aku ingin gendong Arsyad." Rico pamit keluar untuk menghampiri Dinda dan menggendong Arsyad.
Andini melihat kebahagiaan pada mereka. Rico begitu mesra sekali memperlakukan Dinda di depannya. Dia memeluk Dinda dan menciumi pipi Dinda lalu meminta Arsyad pada Dinda dan menggendongnya.
"Maafkan aku, Ya Allah. Aku merasa cemburu sekali melihat mereka, apa aku mencintai Mas Rico? Iya, aku mencintainya tapi tidak untuk Mas Rico, dia hanya merasa sangat berterima kasih saja padaku tidak lebih dari itu," ucap Andini dengan lirih.
Rico menggendong Arsyad dengan mengajak ngobrol dengan Dinda. Dinda lagi-lagi menciumi pipi Arsyad yang sedang digendong oleh suaminya.
“Sekarang tidak sepi lagi ya, Mas? Aku bisa mendengar tangis bayi di rumah ini. Ini yang aku rindukan dari dulu, Mas,” ucap Dinda.
“Sama, Sayang. Aku juga merindukan tangis bayi dan celoteh anak kecil di rumah ini. Andini sudah memberikan kebahagian untuk kita, Din,” ucap Rico.
“Iya, Mas. Dia perempuan yang sudah berbesar hati dan rela memberikan kebahagiaan untuk kita. Kita banyak utang budi dengannya. Meski aku sudah memberikan hak yang layak untuk dia, merenov total rumahnya, dan melunasi utang peninggalan orang tua angkatnya, tapi rasanya itu belum cukup untuk berbalas budi padanya,” ucap Dinda.
“Iya, dia memang perempuan yang baik. Memang pilihan kamu tidak pernah salah, Sayang. Tapi, itu juga sudah sesuai perjanjian, apalagi kamu merenov total semua rumahnya. Menurut aku sudah cukup,” ucap Rico.
“Kamu sudah makan, Sayang?” tanya Rico.
“Sudah, Mas. Sana kamu bantu Andini lagi, masih banyak barang-barang yang belum ditata tuh.” Dinda menunjukkan ke arah kamar Andini yang memang masih ada beberapa perlengkapan Arsyad yang belum tertata.
"Sebentar sayang, aku masih kangen kamu. Lima hari jarang bertemu kamu, rasanya rinduku bertumpuk, tadi juga aku sudah bantu Andini menata baju-baju Arsyad,” ucap Rico.
“Mulai gombalnya?” tukas Dinda.
“Aku gak gombal, memang ini yang aku rasakan. Kamu sudah minum obat sayang?”
“Aku sudah minum obat, sudah sana bantu Andin dulu.”
“Oke, aku bantu Andini lagi, ya?”
"Iya, Mas.”
Rico berjalan menuju ke kamar Andini. Dinda hanya tersenyum melihat suaminya masuk ke dalam kamar madunya. Dia memang harus membiasakan Rico supaya dekat dengan Andini, agar Rico juga bisa membukan hatinya untuk Andini.
"Mas, kamu harus terbiasa dengan Andini, karena jika suatu saat aku sudah tidak ada, Andinilah yang akan mengurus kamu dan Arsyad,” gumam Dinda,
^^^
Rico masuk ke kamar Andini. Dia melihat Andini yang sedang berdiri di depan cermin dengan membuka bajunya. Andini melihat perutnya dan mengusap pelan bekas jahitannya yang masih terbungkus oleh perban.
Rico menghampiri Andini dan memeluknya dari belakang, hingga Andini sedikit terjingkat karena kaget tiba-tiba Rico memeluknya.
“Mas Rico kok di sini? Sejak kapan?” tanya Andini.
“Sejak kamu bercermin,” jawabnya. “Masih sakit?” tanya Rico.
“Masih sedikit, Mas,” jawab Andini.
Rico mengusap perut Andini dengan lembut. Dia merasa sangat berdosa sekali, karena Andini sampai melahirkan secara Caesar. Itu semua karena dia habis bertengkar hebat dengan Dinda, dan Andini mengetahuinya.
“Ndin, istirahat, ya? Kamu jangan terlalu lelah dulu, biar cepat sembuh,” ucap Rico dengan terus mengusap perut Andini.
"Iya mas, aku istirahat dulu," jawab Andini.
"Baiklah." Rico masih memeluk erat Andini dan terus mengusap perut Andini dengan lembut.
"Mas Rico?" panggil Andini.
"Iya, ada apa?" jawab Rico.
"Bagaimana aku bisa istirahat, Mas? Mas meluk aku terus seperti ini?” ucap Andini.
"Oh, iya, maaf. Ya sudah istirahatlah." Rico melepaskan pelukannya dan mencium kening Andini.
Rico menuntun Andini ke tempat tidurnya, dan merebahkan tubuh Andini. Dia mengecup kening Andini. Ada sedikit rasa yang berbeda pada hati Rico. Tapi, Rico menepisnya, karena Rico rasa itu bukan cinta, melainkan rasa kasihan dan rasa bersalah pada Andini saja.
“Bukan, ini bukan cinta. Ini hanya rasa iba, kasihan, dan rasa bersalahku saja pada Andini. Iya, aku yakin ini bukan cinta. Aku sangat mencintai Adinda, tidak mungkin karena Andini yang bisa memberikan aku anak, aku jadi jatuh cinta padanya,” gumam Rico.
Rico meninggalkan kamar Andini. Lagi-lagi dadanya berdenyut merdu kala menatap Andini yang sedang terbaring di tempat tidurnya.
“Bukan, ini bukan cinta. Aku tidak mencintai Andini!” Rico menegaskan hatinya sekali lagi, karena hatinya masih terbolak-balik tidak menentu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Febriyantari Dwi
Perasaan itu cinta namanya papah ...
😀👍💗👍💗👍💗
2021-05-17
1
Nur Lizza
semoga papah mau menerima ibu
2021-03-10
1
Lovesekebon
ikut merasakn ada bunga" yang bermekaran di hatiquh🤗🥰🥰🙈
2021-03-07
0