Sesampainya di Rumah Sakit, Rico langsung mengikuti Pak Agus untuk ke ruangan Andini. Rico langsung masuk ke dalam, dan melihat Andini yang sedang terbaring lemah di atas pembaringan. Rico mendekatinya dengan langkah yang sedikit gontai, karena melihat Andini yang keadaannya sangat lemah sekali. Andini menatap Rico dengan tatapan sayu. Matanya sembab, mungkin karena dia terlalu banyak menangis untuk menahan rasa sakitnya.
“Ndin, yang kuat, ya?” Rico langsung mencium kening Andini. Dan, Andini hanya menganggukkan kepalanya saja.
“Pak, Pak Rico sudah ditunggu Dokter di ruangannya,” ucap Bi Ana.
“Iya, Bi,” jawab Rico.
“Kamu pasti baik-baik saja, jangan takut, ada aku, meski aku tidak bisa menemani kamu di ruang operasi nanti,” ucap Rico dengan mengusap kepala Andini.
“Iya, Mas, doakan aku,” ucap Andini.
“Aku selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu, Ndin. Berjuanglah demi Dinda.” Rico kembali mencium kening Andini, lalu dia langsung keluar menuju ke ruangan dokter.
Setelah menandatangani surat persetujuan untuk melakukan tindak operasi caesar, Andini langsung di bawa ke ruang operasi. Rico dan Dinda menunggu di depan ruang operasi. Rico terlihat tidak bisa tenang. Dia mondar-mandir dari tadi, duduk, lalu berdiri lagi, dan berjalan mondar-mandir seperti orang yang panik dan takut. Memang itu yang sedang Rico rasakan sekarang.
"Apa begini rasanya seorang suami ketika istrinya mau bertaruh nyawa untuk buah hatinya? Selamatkan Andini dan Anaku, Ya Allah. Lancarkanlah operasinya,” gumam Rico dengan mengusap kasar wajahnya.
Rico masih saja modar-mandir di depan ruang operasi. Dia sangat takut akan terjadi apa-apa dengan Andini dan anaknya. Bibir Rico tak henti merapalkan doa untuk Andini, agar operasi Andini berjalan dengan lancar.
"Mas Rico duduklah, semua akan baik-baik saja, Mas," ucap Dinda.
Rico duduk di samping Dinda. Dia menggenggam tangan Dinda karena sangat panik dan takut. Rico baru ingat, padahal dari tadi dia ingin bertanya pada Pak Agus dan Bi Ana, apa yang sebenarnya terjadi pada Andini.
"Pak Agus, Bi Ana, kenapa sampai begini? Bagaimana ceritanya? Kenapa Andini tidak memberitahuku kalau dia akan melahirkan, malah ke Bibi dan Pak Agus? Tolong jelaskan!" Rico meminta penjelasan dari Bi Ana dan Pak Agus, apa yang sebenarnya terjadi.
"Saya tidak tahu Bu Andin tiba-tiba menggedor pintu kamar saya dengan keras. Saya lihat, Bu Andin mereingis kesakitan, dan air ketubannya sudah pecah. Waktu Bu Andini kesakitan, saya mau memanggil bapak, tapi tidak diperbolehkan Bu Andin, Pak. Kata Bu Andini, Pak Rico dan Bu Dinda baru saja bertengakar, jadi Bu Andini hanya menyuruhku memanggil Pak Agus untuk mengantarkan ke Rumah Sakit." Bi Ana mencoba menjelaskan pada Rico.
Rico hanya diam saja mendengar penjelasan dari Bi Ana. Dia tidak menyangka kalau Andini sampai mendengar dia sedang berdebat dengan Dinda di kamar.
"Maafkan aku, Mas, ini semua salahku," ucap Dinda dengan mata berkaca-kaca.
"Sudah sayang, jangan menyalahkan dirimu, kamu tidak salah, lebih baik kita berdoa untuk Andini dan anak kita,” ucap Rico dengan menenangkan Dinda.
Dinda merasa sangat bersalah, karena keegoisannya yang tidak pada tempat dan waktu yang tepat membuat Andini seperti ini.
"Maafkan aku, Ya Allah, aku salah, aku egois, harusnya saat-saat seperti ini aku tidak terlalu iri dan cemburu dengan Andini, apalagi ini adalah saat-saat mendekati kelahiran putra kami. Maafkan Mbak Dinda, Ndin. Kamu yang kuat, kamu pasti bisa melalui ini. Maafkan Mbak," gumam Dinda dengan menyeka air matanya yang sudah keluar di sudut matanya.
Setelah menunggu cukup lama dan menegangkan, Rico di panggil salah satu suster yang keluar dari ruang operasi, dan memberitahukan operasinya berjalan dengan lancar. Suster itu menyuruh Rico ke ruang bayi untuk melihat putranya. Ya, Andini melahirkan bayi laki-laki.
Rico dan Dinda berjalan mengikuti suster tersebut, sesampainya di Ruang Bayi, Rico melihat dari depan kaca, melihat putranya yang dipakaikan bedong oleh suster. Seorang suster memanggil Rico untuk masuk ke dalam ruang bayi. Dinda pun ikut masuk bersama Rico. Kata susternya, Bayinya dan ibunya sehat. Andini juga akan segera di pindaahkan ke ruangan perawatan setelah selesai dari ruang operasi.
Rico menggendong bayinya, lalu mengadzani dengan suara lirih di telinga kanan nya, dan membacakan iqomah dengan lirih di telinga kirinya serta membacakan surah Al-Qadar satu kali dan Al-Ikhlas sebanyak tiga kali.
"Alhamdulillah, anak papa sudah lahir dengan selamat dan sehat. Kamu tampan sekali, Sayang.” Rico menciumi pipi bayinya itu yang masih memerah.
“Lihat sayang, dia tampan sekali,” ucap Rico pada Dinda.
“Iya, Mas, seperti kamu,” jawab Dinda.
“Arsyad Alfarizi, bagaimana, Sayang? Bagus tidak namanya?” tanya Rico.
“Bagus, Mas, bagus sekali. Aku suka namanya. Jadi anak sholeh ya, Syad. Mama sayang Arsyad,” ucap Dinda dengan mencium pipinya.
“Iya, Mama ...,” jawab Rico dengan suara seperti anak kecil.
Rico memberikan Arsyad pada suster, karena akan ke ruangan Andini. Katanya Andini sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Suster manaruh Arsyad di box bayi, dan membawanya ke ruangan Andini.
Andini sudah sadarkan diri. Andini melihat Rico dan Dinda masuk ke dalam ruanganya bersama dengan suster yang membawa bayi Andini. Dinda mengambil Arsyad dari box bayi, dan membawanya mendekati Andini.
"Andini selamat, ya? Andini lihat anak kamu, tampan sekali, Mas Rico memberi nama Arsyad. Arsyad Alfarizi, apa kamu setuju?" ucap Dinda.
"Iya nama yang bagus, boleh aku menggendongnya?” pinta Andini.
“Kamu belum bisa duduk, Ndin. Aku rebahkan saja Arsyad di sampingmu, ya?” ucap Dinda.
“Iya, Mbak,” jawab Andini. Memang Andini belum bisa duduk, karena baru saja sadar.
“Sini sama ibu, Sayang.” Andini mengusap pipi Arsyad dan menciumnya.
Andini menetap lekat putranya yang ada di sebelahnya. Dia tidak menyangka sudah melahirkan bayi mungil yang sangat tampan, dan sangat mirip dengan papanya.
"Bagaimana bisa ibu meninggalkan kamu, Nak? Kontrak perjanjian ibu sebentar lagi, setelah tiga bulan yang tertulis di perjanjian, ibu harus rela memberikan kamu pada papamu. Maafkan ibu, Sayang,” gumam Andini.
Rico mendekati Dinda dan Andini. Dia mengusap kepala Andini dan mengecup keningnya di depan Dinda.
“Terima kasih, kamu sudah memberikan aku seorang anak yang sangat tampan, Ndin. Kamu sudah memberikan aku kesempatan untuk dipanggil papa oleh anakku sendiri.” Rico menggenggam tangan Andini dan menciumnya.
“Iya, Mas,” ucap Andini.
“Dan, kamu, Sayang. Terima kasih atas semua pengorbanan kamu selama ini, yang rela berbagi suami dengan Andini, demi aku, agar aku bisa mendapatkan keturunan. Terima kasih, Sayang. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain kata terima kasih untuk kelian berdua, dua istriku yang berhati mulia,” ucap Rico dengan mencium tangan Dinda.
“Iya, Mas. Allah telah mengabulkan doaku, aku ingin kamu memiliki anak, meski bukan dari rahimku. Aku merelakan semua ini demi kamu, Mas. Andini, aku sangat berteterima kasih padamu. Kamu sudah mau berkorban, bertaruh nyawa, demi keinginanku ini, agar suamiku bisa memiliki keturunan. Aku berutang budi padamu, Ndin. Terima kasih sekali lagi, dan maaf, jika aku selama ini egois dengan kamu, aku selalu menyakiti kamu, dan kadang iri dengan kamu yang diperhatikan Mas Rico, maafkan aku.” Dinda menangis dengan memeluk Andini.
“Mbak, aku tidak apa-apa, jangan minta maaf, wajar mbak cemburu. Aku percaya di hati Mas Rico hanya ada Mbak. Mas Rico perhatian denganku semata karena ada Arsyad, ada putranya dalam perutku. Mbak jangan cemburu, semuanya akan berakhir bahagia setelah ini. Terima kasih, Mbak. Mbak orang yang sangat baik yang selama ini aku kenal. Mbak Dinda perempuan yang hebat, aku sayang, Mbak Dinda.” Andini memeluk erat Dinda, dan menangis di pelukan Dinda.
“Aku juga sayang kamu, Ndin. Kamu sudah mbak anggap seperti adik mbak sendiri,” ucap Dinda.
“Kalian berdua adalah wanita hebat yang pernah hadir dalam hidupku. Meski hadirmu singkat dalam kehidupan kami. Tapi, jasa dan kebaikan kamu selamanya tidak akan kami lupakan, Ndin. Terima kasih, Ndin,” ucap Rico.
“Aku titip Arsyad ya, Mbak. Sayangi Arsyad seperti anak mbak sendiri. Jaga Arsyad, setelah aku tidak ada di sampingnya,” ucap Andini.
“Aku akan menyayanginya seperti anakku sendiri, Ndin. Aku janji itu. Aku pun janji, kamu boleh menemui Arsyad kapan pun kamu mau, aku juga tidak mau memisahkan Arsyad jauh darimu, Ndin,” ucap Dinda.
“Benar kata Dinda, kalau kamu ingin bertemu dengan Arsyad, datanglah ke rumah kami. Pintu rumah kami akan selalu terbuka lebar untuk kamu, karena kamu ibunya Arsyad,” ucap Rico.
“Terima kasih, Mbak Dinda, Mas Rico. Aku sangat beruntung, bisa mengenal kalian, dan memberikan kalian buah hati. Aku yakin, Arsyad akan tumbuh menjadi orang hebat, seperti kedua orang tuanya yang mengasuhnya,” ucap Andini.
“Andini, kamu jangan bicara seperti itu. Sudah, ya? Jangan memikirkan yang belum terjadi. Lagian kamu masih lama di rumahku, dan kamu masih bisa bersama Arsyad selama tiga bulan,” ucap Dinda.
“Benar kata Dinda, sudah kamu istirahat, Ndin,” ucap Rico. “Kamu juga, Sayang. Kamu istirahat gih, biar Arsyad aku yang jaga,” ucap Rico pada Dinda.
Rico menggendong Arsyad, dan membiarkan Andini dan Dinda istirahat. Dinda merebahkan dirinya di sofa. Padahal Rico menyuruhanya pulang untuk istirahat di rumah saja. Tapi, Dinda tidak mau, karena ingin menemani Andini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Febriyantari Dwi
Kasihan Andini......kebayang sedihnya ,kala harus pergi meninggalkan Arsyad
😭👍💗👍💗👍💗
2021-05-17
0
Nur Lizza
selamat ya andini
2021-03-10
0
Lovesekebon
😢
2021-03-07
0