Kecupan bibir Rico di kening Andini membangunkan tidurnya. Andini mengeliatkan tubuhnya yang masih berada dalam dekapan hangan Rico. Andini mengerjapkan matanya, baru kali ini dia bangun dengan posisi tubuhnya masih berada di pelukan suaminya.
“Ini seperti mimpi, tapi ini sebuah kenyataan yang manis dan indah. Berbulan-bulan aku menantikan saat-saat seperti ini, dan sekarang aku merasakannya. Ah ... sadar, Andini! Jangan terbawa perasaan seperti ini! Ingat dengan perjanjian itu, kamu hanya sebatas rahim pengganti saja!” Andini bergumam dalam hatinya. Rasa bahagianya kini kembali melebur menjadi kedukaan dalam hatinya setelah mengingat perjanjian yang ia tanda tangani sebelum menikah dengan Rico.
“Pagi, Ndin ....” Rico kembali mendaratkan bibirnya di kening dan di bibir Andini dengan lembut.
“Ehm ... Pa—pagi juga, Mas,” jawabnya dengan gugup dan diiringi detak jantung yang semakin berpacu, bak genderang yang mau perang.
“Pagi, anak papa ....” Rico mencium perut Andini yang sudah mulai membucit. “Sehat-sehat di perut ibu, ya?” pungkasnya dengan mencium lagi perut Andini dan mengusapnya dengan lembut.
Andini tersenyum dengan mengusap kepala Rico yang sedang menciumi perutnya. Tidak tahu kenapa, tangannya reflek mengusap lembut kepala suaminya yang masih berada di perutnya dan sedang berinteraksi dengan anaknya yang masih berada di dalam perutnya.
“Ambil air wudhu, kita salat berjamaah seperti biasanya, ya? Biar aku bangunkan Dinda,” ucap Rico.
“Iya, Mas.”
Andini bangun dari tempat tidurnya. Dia akan beranjak ke kamar mandi. Rico memapah Andini ke kamar mandi, karena Andini mengeluh sendinya sedikit sakit.
“Mas bangunkan Mbak Dinda saja, aku bisa sendiri kok, nanti aku tunggu mas di musholah saja,” ucap Andini.
“Tapi, kaki kamu sakit, kan?”
“Ini sudah biasa, Mas. Kalau pagi pasti seperti ini, nanti kalau sudah siangan, dan sudah berjemur juga sudah hilang sakitnya. Buruan, bangunkan Mbak Dinda, ini sudah jam lima lho, Mas.”
“Ya sudah, aku ke kamar Dinda, kamu hati-hati jalannya.”
Andini hanya menganggukkan kepalanya saja. Entah Rico sedang kerasukan apa, sampai dia memperlakukan Andini dengan manis sekali.
“Kalau Mas Rico seperti ini terus, aku bisa-bisa diabetes. Ah ... Andini, kamu jangan seperti ini. Jangan menjatuhkan hatimu pada milik orang. Milik orang? Dia milik kamu juga, Andin! Tapi, kamu tidak boleh seperti itu. Ingat perjanjian itu!” Andini bergumam dengan merutuki dirinya sendiri.
Andini keluar dari kamarnya. Dia menuju ke musholah. Andini mendapati Rico yang baru saja selesai mengerjakan salat sunnah.
“Sudah siap, Ndin?” tanya Rico.
“Sudah, mana Mbak Dinda?”
“Dinda sedang datang bulan, Ndin. Jadi, kita salat berdua,” jawab Rico.
Mereka hanya berdua saja melaksanakan salat subuh. Selesai salat, Andini langsung kembali ke kamarnya, menata kembali pakaian salatnya, dan seperti biasa, dia ke dapur untuk membantu Bi Ana yang sedang memasak.
^^^
Dinda masih duduk di depan meja riasnya. Kali ini dia baru merasakan kesal sekali dengan suaminya, hingga semalaman dia mengunci pintu kamarnya, dan membiarkan suaminya tidur di kamar madunya. Padahal semalam seharusnya jatahnya Rico tidur di kamarnya. Saking kecewanya dengan Rico yang cuek dan sama sekali tidak mau mengantar Andini untuk chaeck-up, dia marah sekali dengan suaminya.
“Apa aku harus marah seperti semalam, Mas? Biar kamu bisa tidur di kamar Andini dan bisa mengerti apa yang Andini butuhkan darimu?” gumam Dinda.
Rico masuk ke dalam kamar Dinda, dia melihat istrinya sedang duduk di depan meja riasnya. Rico mendekatinya dan memeluknya dari belakang.
“Sudah tidak sakit lagi perutnya?” tanya Rico.
“Masih, tapi sedikit,” jawab Dinda.
“Nanti aku antar Andini ke Dokter, dan Andini minta kamu ikut juga,” ucap Rico.
“Benar kamu mau mengantarnya? Kasihan Andini, dia selalu sama Pak Agus kalau check-up. Terima kasih, mas sudah mau mengantar Andini untuk check-up,” ucap Dinda.
“Iya, Sayang.”
Dinda meringis kesakitan merasakan perutnya yang sakit. Akhir-akhir ini, Dinda memang sering kambuh sakitnya. Dinda juga sudah hampir satu bulan ini sering datang bulan. Mungkin itu bukan datang bulan, tapi karena tanda sakitnya yang semakin parah.
“Kenapa, sakit?” tanya Rico dengan menggenggam tangan Dinda.
“Iya, sakit sekali, Mas,” jawabnya.
Rico menggendong tubuhnya Dinda, dan merebahkannya di tempat tidur. Rico merasakan tubuh Dinda semakin kurus, dan semakin ringan dari sebelumnya. Dada Rico sesak melihat Dinda yang merintih kesakitan. Rico memeluknya, dia menangis, tapi hanya bisa menyembunyikan wajahnya di belakang Dinda, agar Dinda tidak tahu kalau dirinya menangis.
“Berilah keajaiban untuk istriku, supaya dia bisa sembuh dari sakitnya. Angkatlah penyakitnya, Ya Allah ....” Rico semakin mengeratkan pelukannya pada Dinda.
Saat Dinda sudah sedikit mereda sakitnya, Rico keluar dari kamarnya. Seperti biasa setiap pagi Rico selalu menyempatkan olahraga. Dinda merasa jenuh hanya rebahan saja di kamarnya, biasanya dia sudah menyiapkan baju kerja Rico, dan setelah itu ke dapur menyusul Andini yang sedang membantu menyiapkan sarapan. Dinda mencoba bangun, dia mencoba bergerak dan melupakan sakitnya. Dinda menyiapkan baju kerja Rico, dan setelah itu dia keluar menemui Andini.
Andini sedang menata sarapannya. Dia sepertinya baru selesai memasaka. Dinda mendekatinya dan membantu Andini yang sedang menyiapkan makanan. Dinda mengangsurkan air putih dari eskan ke dalam gelas.
"Pagi, Sayang ....” Rico tiba-tiba memeluk Dinda dari belakang dan mencium pipinya.
“Pagi, Mas ...,” jawab Dinda.
“Selamat pagi, Ndin?” sapa Rico pada Andini.
"Pagi, Mas,” jawab Andini dengan mengurai senyum manisnya.
“Sudah tidak sakit perut kamu?” tanya Rico pada Dinda.
“Sudah tidak, aku lapar, ayo sarapan dulu, Mas,” ucap Dinda.
Rico duduk di sebelah antara istrinya. Dinda berada di sebelah kanan Rico, dan Andini di sebelah kirinya. Pagi ini Rico terlihat moodnya baik sekali, dia juga ramah dengan Andini, yang biasanya sangat cuek dengan Andini.
"Mas aku ambilkan nasi, ya?" Seperti biasanya, kedua istri Rico mengambilkan nasi bersamaan.
Rico bingung menatap Dinda dan Andini secara bergantian. Andini merasa tidak enak dengan Dinda, karena biasanya Dinda yang mengambilkan nasi dan dia yang mengambilkan lauknya.
"Maaf." Ucap Andini sambil menundukan kepala.
"Kamu saja Andin yang mengambilkan," ucap Dinda.
"Mba Dinda saja."
"Ya sudah aku ambil sendiri." Rico mengambil nasi sendiri, tapi Dinda mencegahnya.
"Sini aku saja yang mengambilkan, Mas.” Dinda mengambil piring Rico dan mengambilkan nasi utuk Rico.
"Mas Rico mau pakai lauk apa?" Andini menawarkan mengambilkan lauk.
"Tumis jamurnya saja Ndin."
"Oke."
"Dua wanitaku sangat kompak sekali, ini yang kesekian kalianya mereka seperti ini. Aku mencintaimu Dinda. Tapi, maaf Andini, aku belum bisa menerimamu dalam hatiku,” gumam Rico.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Nur Lizza
lanjut
2021-03-10
0
Lovesekebon
author..semangatt🥰🥰💪👍
2021-03-07
0
Lilik Juhariah
di duta ada , Deket sekali dgn kehidupanku, dan akur,
2021-02-04
0