Pov Nada
Sepulang dari rumah sakit, aku melihat rumah sepi. Aku tidak mendapati seorang pun dirumah. Keadaan rumah pun masih sama seperti saat aku tianggalkan. Kesal? Tidak. Bagiku justru hal ini menguntungkan. Aku butuh sendiri memikirkan semuanya tanpa direcoki oleh ibu dan adik-adik tiriku. Dia tidak mau meratapi semuanya. Aku sudah
menyadari kebodohanku dimanfaatkan oleh orang yang kupanggil suami, dan keluarganya. Aku mulai memikirkan semua kejadian selama delapan tahun ini dan mulai mencurigai ada hal lain dari ibu mertuaku.
Aku harus kuat dan mempertahankan semuanya. Aku tidak ingin kehilangan suamiku dan juga ada peninggalan papa yang harus kujaga. Meski aku tahu ada perjanjian pranikah, namun pasti mereka punya cara untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Mereka sudah mengorbankan aku dan mas Pradipta, pasti mereka juga bisa melakukan yang lainnya.
Untuk itu aku tidak boleh gagabah. Aku harus memikirkan langkahku selanjutnya. Dan aku harus mengalihkan pikiran kusutku akibat kejadian dengan Juli siang ini, ke hal lain, sampai hatiku tenang. Aku mulai membersihkan rumah, masak makanan kesukaanku lalu menghabiskannya. Aku tidak menghubungi Mama dan Sandra lebih dulu. Aku tidak mau membuat mereka sedih . Aku tidak mau menyusahkan siapapun. Aku harus menyelesaikan ini sendiri terlebih dahulu, semampuku. Dan aku bisa.
Tadi suamiku mengirimkan nomor barunya sekaligus mengabarkan kalau urusan polisi dan rumahsakit sudah dia bereskan. Namun Pradipta berpesan agar aku tidak lagi membuat masalah, mempermalukan diri dan merusak nama keluarga kami. Dengan tegas dia mengatakan padaku untuk tidak mendatangi Juli. Dia melarangku mendekati kekasihnya. Pradipta, menutup pesannya dengan sebuah janji bertemu besok malam, disebuah kafe di kuningan. Aku hanya mengiyakan dan melihat apa yang terjadi besok. Setelah semua beres, aku beranjak ke kamar dan beristirahat.
Malamnya, aku mendengar seseorang mengetuk kamarku. Ayah menanyakan keadaanku apa kah masih sakit. Ayah juga mengajakku untuk makan malam bersama. Dia membawakan makanan kesukaanku, titipan dari Mama di Bandung. Aku pun segera turun dan melihat Ibu serta kedua adikku sudah duduk dimeja makan sambil berbisik bisik. Aku tidak perduli. Aku tidak lagi ingin bermanis-manis dengan mereka yang menusukku dari belakang. Aku sama sekali tidak menyapa mereka dan menuju dapur untuk membuat teh. Ibu mengikutiku ke dapur tanpa aku sadari. Dia mengagetkanku dengan mencekal lenganku keras dari belakang.
“Awas ya kamu, kalau sampai mengadu pada Ayah dan Mamamu. Akan kupastikan, kamu tidak akan pernah bertemu dengan Pradipta sama sekali. Dan akan aku buat kamu menderita, Nada,” bisiknya sambil menancapkan kukunya di lenganku. Perih kurasakan disana. Namun hatiku jauh lebih perih. Meski begitu, kurasa Mertuaku benar. Jika Ayah atau Mama tahu, mereka akan hancur dan keadaan akan runyam. Aku akan dipisahkan dengan suamiku. Aku tidak menginginkan itu. Bagaimanapun juga aku masih mencoba mempertahankan janji suci pernikahan kami. Apapun anggapan Mas Pradipta tentang pernikahan ini, bagiku, pernikahan ini suci dan harus kami jaga dengan baik.
“Ya,” kataku dingin sambil melepaskan tanganku dari cengkeramannya. Aku segera berbalik mebawa tehku dan teh ayah kemeja makan dan duduk ditempatku biasa.
“Kok Cuma dua, punya kami mana?” kata Prita setengah berteriak. Sebelum aku menjawab, Ayah langsung
menegur Prita.
“Prita, sopan sedikit. Dia kakakmu dan tuan rumah disini. Seharusnya kamu yang menyediakan the buat
dia dan ayah,” kata Ayah dingin. Setelah itu dia beralih memandangku.
“Terimakasih Nada, makanlah,” Kata Ayah tersenyum. “Pipit, letakkan, biarkan Nada ambil dulu yang dia mau,
baru kita mengambiln makanan,” kata Ayah. Dia melarang anak-anak dan istrinya mengambil makanan sebelum aku selesai mengambil. Itulah ayah mertuaku. Selalu mendahulukan aku, selalu membelaku, sangat baik. Namun jika dia sudah marah, maka tidak ada yang berani mendekatinya. Suaranya yang menggelegar, amukannya menghancurkan barang disekitarnya, bahkan tendangannya mampu mematahkan pagar besi di depan rumah. Setelah selesai makan, ayah menawariku untuk menonton televisi sambil berbincang bincang.
“Nada, biarkan Prita dan Pipit yang membersihkan meja makan. Kemarilah, temani ayah dan ibu nonton televisi. Sepertinya ayah sudah lama tidak berbincang bincang denganmu. Dan sepertinya keadaanmu belakangan ini kurang baik. Kenapa? Apa karena Pradipta?” tanya Ayah setelah selesai makan. Aku yang berdiri hendak membereskan meja seperti biasa, tertegun dengan ajakan ayah, bingung mau menjawab apa. Kulirik ibu, Prita dan Pipit berdiri di belakang ayah sambil menggelengkan kepala dan mengacungkan kepalan mereka, mengancamku. Kulihat kilat ketakutan di mata ketiganya. Aku takjub dengan situasi ini. Aku mengingat hal seperti ini bukan terjadi sekali dua kali. Ancaman, perintah, perlakuan tidak adil, tak kusadari kudaparkan dari mereka selama ini. Betapa aku tidak pernah menyadari hal seperti ini, selama 8 tahun hidup bersama mereka. Betapa aku dibodohi oleh mereka selama ini. Ada rasa ingin membalas mereka dengan menuruti kemauan ayah. Duduk berbincang dengan ayah di ruang televise sambil melihat ketiga perempuan itu ketakutan bukan pemandangan buruk kan? Mungkin akan sedikit mengobati hatiku yang terluka sangat dalam hari ini.
Namun badan dan hatiku terlalu lelah untuk berbasa basi. Aku takut semuanya akan keluar dan tak terkendali, tanpa aku sadari. Aku belum siap juga kalau Ayah marah dan Mama tahu nantinya. Lebih baik aku menahan diri dan istirahat, untuk menentukan langkahku selanjutnya. Lebih baik aku masuk kamar dan tidur, mempersiapkan diri
menghadapi suamiku besok.
Sesampainya dikamar, aku mebuka gadgetku untuk melihat sejauh mana kisahku menjadi viral. Ternyata sudah mereda sejak managemen Juli mengumumkan bahwa Juli baik baik saja dan pihak penyerang sudah mengakui kesalahannya, meminta maaf. Aku terbelalak. Sejak kapan aku mengaku salah dan minta maaf? Memang sih, identitasku sama sekali tidak disebut. Namun dibeberapa video, wajahku terlihat lumayan jelas. Saat wartawan menanyakan identitasku, Juli hanya tersenyum dan meminta mereka melupakan kejadian itu, dia sudah memaafkan.
“Sudah ya, tidak perlu diperpanjang. Saya pribadi sangan prihatin dan kasihan padanya. Kita tidak boleh menekan dia lagi. Saya takut gangguan jiwa yang dideritanya akan semakin parah. Saya dengar dari orang terdekatnya, Dia mengalami gangguan kejiwaan akibat minder dan stress. Akibat terlalu gemuk dan wajahnya ya… aduh, gimana ya
bilangnya… maaf ya… buruk rupa gitu. Kita harus kasihan dengan gadis-gadis seperti dia, ya meskipun pada akhirnya merugikan saya karena saya sampai terluka,” kata Juli sambil memasang muka sedih seorang korban teraniaya. Dia menarik nafas panjang. Managernya segera mendekat memberikan minum dan tisu. Beberapa wartawan yang mengangkat tangan mendapat pelototan dari sang manager yang mengangkat tangan, mengisyaratkan untuk menunggu.
“Maaf ya, seharusnya saya tidak seperti ini. Saya wanita yang kuat. Terimakasih Joy,” kata Juli tersenyum palsu. “Karena kemurahan hati saya, semua kejadian ini akan saya lupakan dan tidak usah diperpanjang. Selain itu, saya tergerak untuk menyisihkan sebagian dari pendapatan saya untuk membantu orang-orang minder karena terlalu gemuk dan buruk rupa seperti pelaku.
Hati dan kepalaku yang sudah mendingin kembali bergolak marah. Aku segera mencari berita veris tertulis dan mengcapture nya. Aku segera mengirimkan link berita video dan captur an kepada suamiku.
- Mas, tolong bilang ke Juli , aku tidak bersalah sama sekali. Dan aku tidak akan minta maaf untuk perbuatan yang tidak aku lakukan. Untuk apa dia mengatakan seperti ini ke media. Jangan pernah menghinaku dan mengatakan kebohongan di media seperti itu- Aku
- Apa maksudmu? Jangan macam-macam Nada. Sudah untung Juli tidak menuntutmu. Presconference itu hanya cara untuk meredam berita tentangmu. Ini menguntungkanmu- Pradipta
- Menguntungkanku? Dari sisi mana ini menguntungkanku?- Aku
- Kamu mau semua menyerangmu? Kamu mau masuk penjara dengan tuduhan penyerangan? – Pradipta
- Bilang sama Juli, Silahkan lapor saya tidak takut. Saya sudah mengumpulkan semua video dan disana terbukti bahwa saya tidak bersalah – aku
Lama pesanku tidak dijawabnya. Aku mencoba menelponnyapun tidak dia ngakat. Suamiku tidak ingin melanjutkan rupanya. Baiklah, aku yang akan bicara.
- Baiklah, tolong katakana padanya untuk menjauhi suamiku. Aku adalah istri sah Pradipta dan sampai kapanpun tidak akan kulepaskan atau kuhancurkan dia. - Aku
- Jangan macam macam Nada. Pradipta milikku, dan dia kini sedang trertidur dipelukanku setelah mendapatkan apa yang pantas baginya, tubuh indah yang membuatnya bergairah tanpa tersiksa, tanpa harus minum obat perangsang - Pradipta
Membaca pesan ini, kupastikan bahwa Juli yang menjawabnya. Hatiku sangat sakit. Aku kembaliteringat pada kejadian di apartemen saat mereka bersama. Kembali airmataku tak terbendung dan malam terus berlalu menemaniku menangis hingga dadaku terasa sangat sesak dan mataku perih.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments