“Masih bertanya maunya aku? Aku mau kita mandiri Nada. Hidup dari hasil keringatku sebagai suami kamu. Tinggal dirumah kita sendiri, membiayai rumah tangga kita sendiri. Bukan begini,” kata Mas Pradipta menggenggam jemariku, mengungkapkan keinginannnya.
“Kalian tetap tinggal di rumah ini, tidak boleh kemana-mana. Rumah ini juga atas nama kamu, dan jangan pernah diatas namakan ke siapapun, meski itu suami kamu. Mengerti Nada?” kata Papa.
“Iya Pa, tapi…” kataku ragu.
“Tidak ada tapi…. Bisnis Papa akan papa pindahkan ke Bandung. Papa dan Mama akan pindah ke Bandung. Sandra akan ikut mengurus di Bandung. Kamu dan Pradipta yang akan mengurus disini, bersama Pak Henky. Jadi setelah Papa Mama pindah, semua kebutuhan rumah ini tanggung jawab kalian berdua. Itu sebabnya mulai nanti sampai seminggu kedepan, mama, papa, Sandra dan Pak Henky akan berada di Bandung,” putus Papa
---
Rencana pemindahan bisnis papa ke Bandung dilakukan dengan segera. Tidak sampai setahun, Papa, Mama dan Sandra sudah pindah ke Bandung. Mas Pradipta dan pak Henky mengurus restoran yang ada di Jakarta. Itulah mengapa Mas Pradipta selalu sibuk dan hanya pulang untuk tidur san berganti pakaian. Sedangkan Pak Henky masih harus mondar mandir Jakarta Bandung.
Di ulang tahun pernikahanku yang pertama, Mas Pradipta mengatakan keinginannya untuk mengambil
kuliah S2 di Singapura. Saat kami makan malam berdua, mas Pradipta mengatakan bahwa dengan ilmunya sekarang, dia gagal menjaga usaha papa. Ya ternyata restoran yang dipercayakan ayah kepadanya tidak berkembang seperti yang diinginkan. Itulah mengapa dia ingin menambah ilmu di Singapura. Namun saat ini tabungannya tidak cukup. Aku memang memiliki uang tabungan yang lumayan besar, yang rencananya akan aku gunakan jika aku ingin melanjutkan kuliah. Mas Pradipta mengatakan bahwa dia ingin meminjamnya untuk sekolah dia.
Semua itu dikatakannya sambil terus memandangku dan tersenyum. Tangannya meremas jari jariku. Sesekali dia mengecup tanganku tanpa memperdulilan pandangan heran pengunjung restoran dimana kami makan malam saat itu. Malam itu mas Pradipta tampil sangat tampan. Dia membelikanku bouquet bunga mawar yang sangat indah. Dia juga membelikanku sebuah gelang dari emas putih dengan inisial nama kami PN, indah sekali. Meskipun dia membicarakan tentang hal seserius pendidikannya, namun tangannya tidak berhenti mengusap nakal tangan dan pahaku bahkan ke bagian sensitifku. Mukaku sudah merah padam terbakar gairah. Rasanya aku sudah tidak bisa berpikir banyak. Rasanya aku ingin menghentikan mas Pradipta berbicara dan memilih menikmati rasa yang tak biasa ini. Nafasku menggebu dan keringat dingin muncul ke kepala dan leherku. Sekilas aku melihat mas Pradipta bergidik, entah karena apa. Namun aku tidak memperdulikannya dan memilih menikmati sensasi yang dimunculkan oleh sentuhannya.
“Kita pulang yuk, kita lanjutkan di rumah,” kata mas Pradipta. Aku yang sudah seperti melayang karena sentuhanya, hanya bisa mengangguk malu malu mau. Dan kami pun pulang.
Sesampainya dirumah, Mas Pradipta menyuruku berganti pakaian dan menunggunya dikamar. Aku yang sudah merasa terbakar, segera melakukan apa yang diminta suami. Setelah selesai, aku duduk diatas ranjang dengan jantung yang berdegup kencang. Mas Pradipta tak kunjung datang. Karena haus, aku memutuskan untuk ke dapur, mengisi jar minuman di atas nakas kamar yang kosong. Kulihat suamiku sedang meminum Wine koleksi Papa hampir satu botol penuh. Setelah itu kulihat kulihat dia menuangkan semacam puyer kemulutnya sambil menggeleng gelengkan kepala.
“Arggghhh, bangsat!” katanya mengagetkanku. Kenapa dia? Sudahklah, sepertinya lebih baik aku kembali ke kamar dan menunggunya, seperti yang dia inginkan. Sekitar 20 menit kemudian, kulihat dia masuk kamar dengan terhuyung dan berkeringat. Sepertinya dia kepanasan saat di dapur tadi. Bajunya sudah dilepas hanya tersisa celana bokser ditubuhnya. Dia segera menuju kearahku yang sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur. Dia menyerang bibir dan tubuhku dengan kasar, seperti saat malam pertama dulu. Dia kembali memberikan rasa melayang dan kesakitanyang sama untuk kedua kalinya, kepadaku. Namun aku berusaha menikmati setiap gerakannya yang membuatku melayang. Bagaimanapun, katanya, ini adalah kewajiban istri saat suami meminta. Jika aku menolak, maka dosa yang aku dapatkan. Setelah beberapa saat, Ada rasa seperti hampir meledak dari dalam tubuhku. Aku mulai mendesah gelisah dan meracau. Hal ini rupanya disadari oleh Mas Pradipta. Dia berhenti bergerak dan menatapku tajam. Tangannya mengelus wajah dan leherku yang berkeringat sangat banyak. Setelah itu mas Pradipta menggeleng sambil memejamkan matanya.
“Nada, kamu harus membiayai kuliahku di Singapura. Atau kita hentikan saja sekarang?” kata mas Pradipta masih berhenti bergerak dalam penyatuan kami. Ada sebuah rasa yang membuatku tak rela dia berhenti. Kugerakkan pinggulku untuk memuaskan rasa yang hilang di pusat tubuhku. Namun mas Pradipta malah melepaskan penyatuan kami.
“Jawab Nada, kamu mau kan membiayai kuliah dan biaya hidupku selama di Singapura? “ kata Mas Pradipta lagi sambil tersenyum aneh. Ah sudahlan, aku hanya ingin semua ini belanjut, toh tidak masalah aku mebiayai suamiku sendiri untuk mesa depan kami.
“I..iya.. jangan kuatir.. ayo mas..” kataku lagi. Ouchh, kenapa aku merasa ****** dan murahan.
“Hahaha, dasar jablay, asal kamu tahu. Hanya aku yang mau menjamahmu ******. Jadi kamu harus menurut apa yang aku katakana atau kamu akan kutinggalkan, mengerti?” kata mas Pradipta sambil mengelus wajahku dengan
lembut.
"Oh ya satu lagi, tanda tangani ini," kata mas Pradipta sambil memberikan selembar kertas bermaterai dan bolpoin.
"Apa ini mas?" tanyaku heran sambil sedikit mendesah saat tangannya meremas bagian sensitifku.
"Tidak usah banyak tanya, mau diteruskan tidak? " katanya sambil menyeringai, tampan. Entahlah, aku seperti tidak mampu berpikir jernih. Meskipun begitu, aku masih bisa membaca sekilas surat yang harus kutanda tangani, disana ada namaku dan mas Pradipta. Sebuah surat yang menunjuk mas Pradipta sebagai ahli warisku. Ah, ini kan memang wajar. Jika aku meninggal, pastilah semua hal dariku menjadi milik dan tanggung jawab suamiku. Apalagi yang harus dipusingkan. Toh tanpa ini, semua memang otomatis begitu. Setelah aku tanda tangani, surat itu disimpan mas Pradipta kedalam nakas. Diapun kembali padaku dengan tubuh telanjangnya yang begitu menggoda, seperti martabak manis dikala aku lapar.
“Kamu mau dipuaskan kan! Ini, biar kamu puas!” katanya sambil kembali meng hujamkan miliknya ke pusatku dengan kasar.
“Arghh, sakit mas, pelan-pelan!” teriakku.
“Apa? Kamu berani memerintahku ha?” kata mas Pradipta bergerak liar diataskudan memandangku dengan pandangan tajam. Entahlah, apakah setiap suami yang melakukan hal ini kepada istrinya akan sekasar ini? Kulihat sekilas ada pancaran marah sebelum dia menutup matanya dan melanjutkan gerakannya dengan kasar sampai pada penyampaian yang memberikan rasa hangat di rahimku. Setelah itu, seperti saat dihotel, Mas Pradipta melepaskan diri dengan kasar dan tertidur di sebelahku, membuat aku harus terhuyung kekamar mandi membersihkan diriku sendiri.
***
Tahun ajaran dimulai. Sesuai janjiku, aku memberikan tabunganku untuk sekolah S2 mas Pradipta di Singapura. Tentu saja, seperti pesan suamiku, Papa dan Mama serta ayah tidak boleh tahu tentang hal ini. Mas Pradipta selalu bilang, kalau kami sudah berkeluarga dan mandiri. Apapun yang terjadi di keluarga kami, adalah milik kami dan rahasia kami.
Mas Pradipta diterima di sebuah universitas di Singapura dan mengambil jurusan Communication
business. Sebenarnya jurusan ini adalah jurusan yang ingin kuambil. Itulah mengapa mas Pradipta bilang kalau aku harus membantunya mengerjakan tugas. Saat Papa dan Mama mengatakan bahwa aku sebaiknya ikut ke Singapura, suamiku itu melarangku dengan alasan, tidak mau aku jauh dari Papa dan Mama. Toh Singapura Jakarta juga dekat, aku bisa bolak balik jika ingin ketemu.
Awalnya Papa memaksaku untuk tinggal menyusul mas Pradipta. Namun dengan alasan Ibu mertua yang lebih
membutuhkanku, Mas Pradipta yang tidak akan lama dan beberapa alasan lain yang sering membuat wajah Papa berkerut, aku tetap tinggal di Jakarta. Sampai akhirnya Papa meninggal, dan option itu dilupakan.
Selain memastikan bisnis Jakarta akan ditangani Pak Henky, suamiku juga memastikan agar aku tidak kesepian. Dia memboyong seluruh keluarganya untuk tinggal bersama kami. Karena alasan sudah banyak orang dirumah dan keuangan kami yang belum stabil dengan kuliahnya suamiku, pembantu yang bekerja dirumah ini dikirimkan ke Bandung untuk membantu Mama. Aku tidak masalah. Toh aku juga sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah seperti Mama.
Di awal kepindahan keluarga mertuaku, Ibu, Prita dan Pipit mau berbagi pekerjaan rumah denganku. Namun dengan alasan aku lebih jago masak dan mengurus rumah, maka akhirnya lama kelamaan aku yang mengerjakan semuanya. Apalagi setelah Mas Pradipta berangkat ke Singapura dan ayah mertua menjadi sangat sibuk direstoran dan harus bolak balik ke Bandung. Nada menjadi satu-satunya yang mengurus rumah dari memasak, mencuci dan membersihkan rumah.
Selain itu, seluruh uang pemasukan restoran, diserahkan kepada Ibu. Nada hanya diberikan uang untuk kebutuhan belanja rumah dan dapur. Sisanya akan disimpan oleh ibu. Bahkan jika terlihat Nada memiliki uang lebih, Ibu, Prita dan Pipit akan mengambilnya. Namun bagi Nada, seperti yang selalu dikatakan suaminya, itu adalah bentuk kasih dan perhatian keluarga untuknya.
Seperti yang diminta Pradipta, setiap hari selain menyelesaikan pekerjaan dirumah, Nada harus juga mengerjakan tugas-tugas kuliah Pradipta. Nada tidak keberatan sama sekali. Menurut Pradipta, Nada lebih pintar darinya. Menurut Nada, dengan uang Nada yang hanya sedikit, Pradipta harus menderita di Singapura hingga tidak sempat
mengerjakan tugas-tugasnya. Dan lagi Nada memang menyukai ilmu Communications Bussiness yang menjadi cita-citanya. Mudah baginya menyelesaikan semua tugas dan presentasi Pradipta. Hanya dalam waktu dua tahun, Pradipta berhasil menyelesaikan kuliahnya.
Saat Papa Nada meminta Pradipta pulang, suamiku mengatakan bahwa dia sudah mendapat pekerjaan untuk
melatih kemampuan bisnisnya di Singapura. Mas Pradipta memintaku membujuk Papa agar dia bisa tetap di Singapura. Dia diterima di sebuah perusahaan komunikasi dan rumah produksi ternama di negeri singa itu. Desakan Papa berakir dengan perginya Papa untuk selamanya. Bahkan desakan ayah yang awalnya muncul selalu dipatahkan oleh Ibu.
“Nada ngapain ke Singapura. Kan Pradipta kesana buat kerja nyari nafkah.Dia nggak butuh Nada disana. Toh setiap hari mereka ngobrol,” begitu kata Ibu. Ah iya juga.
“Dan lagi, mana bisa aku pisah dari mantu kesayangan kita ini ayah,” kata Ibu saat itu. Nah benarkan, ibu mertuaku sayang banget sama aku sampai tidak ingin berjauhan denganku.
Pekerjaan mas Pradipta cukup menarik. Bagaimana aku tahu? Ya karena dia sering merekam meeting dan membaginya denganku. Dia banyak mendiskusikan pekerjaannya denganku untuk meminta masukan dariku. Akupun sering mengerjakan riset, laporan pekerjaan dan presentasinya. Jadi aku tahu persis apa yang dia kerjakan. Mas Pradipta bilang ke Ibu bahwa di jam makan siang, aku dan Mas Pradipta akan berkomunikasi belalui Skype membahas pekerjaannya, jadi tidak boleh diganggu.
Sampai karir Mas Pradipta melesat menjadi seorang Creative Director termuda di Lion Communication Singapore. Aku tahu bahwa dia banyak mendapat perhargaan dari hasil pekerjaan kami. Ide-ide yang kukembangkan berhasil menuai pujian dan prestasi bagi mas Pradipta. Bahkan ada beberapa karya kami yang digunakan perusahaan besar, membuat nama Mas Pradipta dikenal luas. Namanya bisa kulihat di banyak media bussines di Singapura bahkan di media Asia Tenggara. Aku sangat bangga padanya. Sungguh. Meski aku tahu kalau sebagian besar keberhasilan dan karya yang dipamerkannya itu adalah ide dan karyaku. Aku rela bekerja keras meski semua pujian itu tidak membawa namaku sedikitpun. Aku iklas dan bahagia.
Aku akan melakukan segalanya bahkan mengorbankan hidupku untuk melihat suamiku tersenyum bahagia dan sukses. Meskipun aku tidak terlalu tahu apa dan bagaimanakehidupannya disana. Yang aku tahu, sejak karirnya meningkat, Ibu, Prita dan Pipit tidak pernah lagi mengambil uangku. Aku juga tidak lagi harus mengirimkan uang pada mas Pradipta. Yang aku tahu, sekarang mas Pradipta tinggal di sebuah apartemen yang cukup mewah di negeri Singa. Aku sering kok mengunjunginya disana, bersama ibu mertua dan adik-adik iparku. Yang aku tahu, Sebagian gaji mas Pradipta dikirimkan ke Ibu untuk kebutuhan rumah tangga kami di sini. Setidaknya itulah yang dikatakan mas Pradipta dan Ibu kepada Papa dan Ayah. Bagiku semua itu tidak penting. Karena seperti janjiku, semua akan kulakukan untuk laki-lakiku, cinta pertama dan satu-satunya yang aku miliki.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
bunga cinta
cinta itu buta ya
2022-10-06
0