Usai bertemu dengan klien yang ternyata terburu buru, datang hanya untuk tanda tangan tanpa banyak bertanya, aku memutuskan sejenak menikmati kopi yang terhidang didepanku. Sejak kejadian di bus waktu itu, Sandra memaksaku untuk memiliki rekening rahasia yang secara berkala diisinya agar aku bisa menggunakan untuk keperluan pribadiku. Termasuk membeli kopi di café seperti saat ini. Kuedarkan pandanganku keseluruh restoran. Pandanganku berakir pada seorang wanita yang sedang sibuk memeriksa tumpukan kertas di tangannya.
“Juli,” kataku pelan menyebutkan nama wanita itu. Aku mengamatinya dari jauh. Perasaanku saat itu tidak menentu. Dia cantik sekali. Badannya sangat indah dan bajunya sangat serasi di tubuhnya. Kulihat disriku sendiri yang sangat besar, tak berbentuk dan berkeringat. Aku tidak sebanding dengan dia. Tapi dia wanita. Aku merasa dia wanita terhormat. Mungkin dia tidak tahu kalau Pradipta sudah menikah. Aku harus bisa mempertahankan pernikahanku dengan memberitahu siapa Pradipta, dan siapa aku. Aku yakin semua wanita berhati lembut dan baik, tidak akan menyakiti wanita lain. Aku meyakinkan diri untuk berbicara dengannya dan mendekatinya.
“Hai, selamat siang. Mbak Juli kan?” kataku dengan ramah, menahan segala emosi yang bergejolak didadaku. Dia mendongakan kepalanya sambil tersenyum. Namun hanya sekejap. Senyum itu langsung menghilang saat menatap wajahku. Dia mengganti tatapan ramahnya dengan tatapan tajam, memandangku dari atas kebawah. Setelah itu dia dia tertawa kecil. Mungkin aku terlalu perasa, tapi aku merasa dia menertawakanku. Lebih tepatnya menertawakan bentuk tubuh dan penampilanku.
“Ya, betul saya Juli. Ada apa?” katanya dingin tanpa membalas uluran tanganku yang ingin menyalaminya. Aku menarik tanganku perlahan dan duduk didepannya. Baiklah, sepertinya aku harus segera menyelesaikan ini, karena aku lihat dia tidak nyaman dengan kehadiranku.
“Aku Nada. Aku rasa kamu mengenal Pradipta. Aku istri dari Pradipta yang kaamu kenal,” kataku perlahan
dengan ragu.
“Ha.. ha... ha… pede juga ya kamu. Tadinya aku kasihan padamu, tapi sekarang, aku kasihan sama tunanganku yang terjebak denganmu delapan tahun ini,” katanya mengejekku. Loh, dia tahu aku? Dia tahu kalau Pradipta sudah menikah 8 tahun denganku?
“Aku tahu siapa kamu.,” kata Juli sambil mengamati cincin berlian ditangannya.
“Oh ya, perlu kamu tahu, kami sudah bertunangan. Dia memberikan cincin berlian ini untukku. Sedangkan kamu? Oh iya aku lipa, kamu yang membeli cincin pernikahannya ya, kasihan sekali. istri yang tidak pernah dianggap dan disentuh. Atau jangan jangan kamu juga masih perawan dan yidak pernah disentuh suamimu?” ejek wanita itu. Mukaku entah sudah berwarna apa. Aku merasa terhina dan hancur mendengar semua yang dikatakannya. Aku
terdiam dan tak mampu berkata-kata membalas perkataannya. Tidak aku tidak boleh menyerah, tekatku.
“Juli, kamu wanita hebat dan cantik. Kamu masih bisa mendapatkan laki laki manapun yang lebih hebat dari Pradipta. Dan aku hanya memiliki Pradipta. Tolong tinggalkan suamiku,” kataku memohon dengan derai air mata di pipiku.
“Aku tahu kalau kamu tergila gila dengan tunanganku itu. Tapi aku sarankan padamu, belilah sebuah cermin besar, lalu mengaca siapa dirimu. Agar kamu sadar bahwa kamu tidak pantas mendampingi seorang CEO seperti Pradipta. Kamu itu hanya buntelan kentut besar yang memalukan Pradipta. Ah sudahlah. Lebih baik kamu pulang dan jangan pernah menggangguku atau Pradipta. Sadar diri lah sedikit agar kamu tidak dipermalukan. Dia tidak akan pernah mengakui kamu sebagai istrinya,” katanya lagi sambil berdiri, bersiap meninggalkanku.
“Juli, Pradipta itu suamiku, kami sudah menikah 8 tahun. Apa kamu tidak malu menjadi pelakor,” teriakku yang menarik perhatian para pengunjung. Juli terlihat panik. Dia segera memandang keseliling dan sepertinya menyadari semua mata memandang kami.
“Hai, kamu wanita gemuk yang tidak tahu diri. Sadar siapa kamu, jangan membuat fitnah padaku, katanya sambil menyentuk tanganku, dan menariknya. Dia lalu menjatuhkan diri sehingga aku tertarik dan jatuh menimpanya. Sementara itu kepala Juli terantuk kursi di sampingnya. Juli menjerit dengan keras.
“Apa yang kau lakukan. Kenapa kamu menyerangku? AUCHHH, tolong! Wanita ini sudah gila!” jeritnya histeris membuatku kebingungan. Aku tidak melakukan apa apa, mengapa dia menjerit-jerit?
Lalu datang seorang laki-laki dengan gaya kemayu dan seorang laki-laki berbadan besar. Badanku segera ditarik
kasar. Sedangkan yang satunya memeluk Juli yang histeris kesakitan.
“Kamu apakan Juli? Kamu harus bertanggung jawab. Kamu harus membawa Juli ke rumah sakit dan kemudian
kamu akan kami laporkan ke polisi karena penyerangan pada selebriti. Aku manajer Juli ya. Bawa dia !” kata laki-laki kemayu itu dengan kasar. Dia lalu meminta satu orang bodyguard lagi untuk menggendong Juli. Kamipun segera ke Rumah sakit MMC di kuningan.
Di rumah sakit, Juli segera mendapat perawatan. Entah apa aku tidak tahu. Sementara itu laki-laki yang mengaku manajer Juli terus mengoceh tentang melaporkanku dan penjara. Badanku menggigil karena membayangkan aku akan dipenjara karena tuduhan penyerangan pada Juli. Menurut manajernya, Juli cukup parah sehingga aku bisa dikenai pasal berlapis. Lalu, aku juga harus membayar semua biaya pengobatan Juli termasuk operasi plastik yang harus dilakukan akibat luka gores didahinya. Menurut manajernya, operasi itu perlu dilakukan mengingat Juli harus menjaga mukanya sebagai seorang artis. Benarkah?
“Nada...” Tak berapa lama, kudengan suara yang sangat kukenal memanggilku yang sedang terdiam ketakutan.
“Mas Pradipta,” kataku terbelalak. Aku langsung bangun dan menubruknya. Kupeluk dia dengan erat tidak peduli apa kata orang. Suamiku hanya berdiri kaku setelah berhasil menyeimbangkan dirinya yang hampir terjatuh gara gara ulahku tadi. Kusesap harum tubuhnya yang sangat kurindukan ini. Harum yang selalu mampu menenangkanku.
“Kamu kena Nada? Kenapa harus menyerang Juli? Bukannya bisa bicara baik baik?” katanya dengan bentakan keras. Aku menatapnya heran. Saking herannya aku tidak sadar dia sudah menjauh dariku.
“Aku tidak…” kataku terbata-bata setengah berbisik namun segera dipotongnya.
“Ahh sudahlah. Diam kamu disini,” katanya sambil mendekati manager Juli. “Joy, Gimana Juli?”
“Ada didalam mas. Tadi Juli minta aku mengurus wanita ini dan menyeretnya ke kantor polisi dengan pasal penyerangan dari haters,” kata laki-laki yang dipanggil Joy.
“Sudahlah, jangan diperpanjang. Nanti malah jadi boomerang. Dia istriku. Serahkan dia padaku, dan temani Juli. Nanti aku kesana,ok!” kata Pradipta dengan tegas. Pradipta sudah berubah. Dia bukan Pradiptaku yang lembut dan penuh perhatian. Dia sudah sangat hebat. Dan apa katanya tadi? Aku istrinya? Ah senangnya. Tuh, kan, betul. Dia
masih sayang padaku. Buktinya dia mengakui aku istrinya di depan orang lain kan. Jantungku berdegup kencang penuh kebahagiaan. Perutku terasa geli bagaikan digelitik oleh ribuan kupu-kupu yang beterbangan. Aku tersenyum bahagi menatap Pradipta dengan penuh pemujaan.
“Nada,” kudengan suara Pradipta yang melembut menatapku. Ah, suamiku. Aku merindukanmu. Kuraih tangan
Pradipta yang kemudian dilepaskannya. “Jangan disini. Tidak enak. Ini rumah sakit. Kita bicara di taman sana.”Aku yang sangat bahagia, hanya bisa mengekorinya dari belakang.
“Nada, kita harus bicara. Aku harap kamu mau mendengarkan dan mengerti. Jangan bertingkah yang akan membuatku dan kamu malu, mengerti?” katanya lembut setelah kami sampai disebuah bangku taman. Situasi disana sangat lengang. Hanya ada kami berdua. Pradipta mendudukanku di bangku tadi dan dia duduk disampingku. Dipegangnya tanganku, dan ditatapnya mataku. Ya ampun, aku seperti kehilangan nafasku
diperlakukan seperti ini. Akal sehatku melayang entah kemana. Senyum lebar telah menghiasi wahahku. Kulihat suamiku menarik nafas dan bergidik. Mungkin dia tidak tahan dengan angina yang ada ditaman ini. Tidak mungkin kan dia bergidik karenaku. Ah sudahlah, tidak penting. Aku harus tahu mengapa dia disini tanpa memberi tahuku.
“Mas, kamu pulang? Kenapa tidak pulang kerumah dan malah tinggal di apartemen?” tanyaku.
“Oh jadi kamu yang membawa makanan waktu itu?” Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah membahas
rantang makananku yang tertinggal diapartemennya.
“Iya, aku mendapat kabar kamu disana, jadi aku ingin memberi kejutan,” kataku pelan.
“Lalu?” tanyanya. Suaranya tak lagi lembut. Tapi malah dingin dan datar. Kulirik mukanya juga berubah dingin menatapku. ”Kamu melihatku dengan Juli?” Tanyanya. Aku mengangguk. Bayangan mereka berdua diapartemen itu kembali menyergapku, membuat sesak didada kembali menyerang. Airmataku kembali berderai tanpa bisa kutahan.
“CK, jangan menangis. Jangan mempermalukan dirimu sendiri. Wajahmu yang biasa saja sudah memalukan, apalagi dengan airmata dan mascara yang berlepotan itu. Menjijikan,” kata suamiku dingin. Jantungku terasa tertusuk dan pedih. Tapi aku harus memperjuangkannya kan. Aku tidak boleh menyerah, sesakit apapun itu kan?
“Mas, kenapa? Kita sudah menikah 8 tahun. Kenapa harus seperti ini. Pulanglah dan aku akan melupakan semua yang aku lihat. Kamu sekarang sudah bekerja di Jakarta. Pulanglah. Aku janji, aku akan berusaha berubah. Aku akan menjadi istri yang baik bagimu. Aku akan mendukungmu dan merawat keluargamu, keluarga kita. Pulanglah, aku memaafkanmu dan menganggap semua tak terjadi,” kataku mengiba. Kulihat suamiku menarik nafas panjang dan berdiri. Dia sedikit menjauh dariku dan memandangku dengan tatapan iba. Ah entahlah, mungkin aku salah mengartikan tatapanya. Tapi aku benci dikasihani.
“Nada, sudah cukup aku menurutimu dan orang tuamu delapan tahun ini. Aku laki-laki biasa yang normal Nada. Aku butuh dipuaskan dengan normal tanpa obat perangsang dan alcohol saat menyentuh istriku. Aku butuh melakukan hubungan *** tanpa merasa jijik dan mau muntah. Aku butuh mencintai dan dicintai tanpa jijik dan terpaksa,” kata
laki-laki yang sudah menyandang gelar suamiku selama delapan tahun. Sebentar, apa katanya tadi? Apa aku salah dengar?
“Maksudmu? Aky salah dengar kan?” kataku.
“Aku rasa tidak. Kamu dengar apa yang aku katakana. Aku hanya dua kali menyentuhmu karena kewajiban suami.
Itupun dengan rasa ketakutan sebelumnya, dengan rasa mual dan jijik sebelum dan sesudahnya. Aku harus menggunakan obat perangsang agar juniorku bisa berdiri dan memuaskanmu, setengah sadar. Itupun dengan harus membayangkan orang lain. Aku tidak bisa lagi,” kata Pradipta bagaikan sebuah bom besar menimpaku.
“Jadi Nada, sebaiknya kita akhiri semuanya. Aku ceraikan kamu mulai sekarang. Pulanglah. Nanti kita urus semuanya di rumah. Aku bereskan dulu urusan disini,” kata Pradipta sambil meletakkan cincin kawinnya di tanganku. Dinginnya cincin itu menyadarkanku.
“Tidak Pradipta. Kamu tidak akan pernah bisa menceraikanku. Ingat kan perjanjianmu dengan papa. Jika kamu menceraikanku, maka kamu harus mengembalikan semuanya dan keluar dari rumah tanpa membawa apapun bahkan baju di tubuhmu dan keluargamu,” kataku mengancam. Entahlah, ini adalah usaha terakirku untuk mempertahankannya. Pradipta terdiam dan menatapku tak percaya. Sebelum dia mengatakan sesuatu handphone di celananya berbunyi. Dia segera menjawab sambil mebelakangiku.
“Halo bu,” katanya. Oh telpon dari ibu rupanya. Jadi ibu tahu mas Pradipta di Jakarta. Ibu tahu nomor baru mas Pradipta? Kenapa dia tidak mengatakan apapun?
“Apa? Viral kalau Juli diserang wanita gendut? Bilang sama Pipit dan Prita, Juli tidak apa apa. Aku dirumah sakit sekarang bersama Nada. Iya itu dia. Juli baik baik saja kok. Nanti aku akan bersamanya setelah ini,” kata mas Pradipta. Ibu dan dua adik iparku tahu tentang Juli?
“Tidak usah lebay. Iya nanti kalian ke apartemen. Aku akan menjaga Juli sampai kalian datang. Aku selesaikan
urusan Nada dulu. Oke, aku tutup dulu ya agar bisa segera melihat keadaan Juli,” kata Pradipta menenagkan ibu dan kedua adiknya yang sepertinya mengkhawitarkan keadaan Juli. Mereka lebih mengkhawatirkan Juli dari pada aku? Bahkan sepertinya mereka tidak menanyakan keadaanku.
“Kamu memang tidak tahu diri Nada. Kamu paling jago mempermalukan diri sendiri. Lihatm, video penyeranganmu kepada Juli sudah sangat viral. Apa kamu tidak malu?” kata pradipta jengkel, setelah menyimpan handphonenya disaku.
“Tapi aku tidak melakukan apa apa,” kataku berusaha membela diri.
“Sudahlah, lihat sendiri videonya. disosmed yang mengatakan artis ternama, Juli, mendapat serangan dari wanita gendut yang iri padanya. Disitu kelihatan kamu mendorong, menyerang dan menindih Juli. Kamu dijuluki Hater ekstrim seorang artis karena iri pada kecantikannya. Sudah aku tidak punya waktu meladenimu. Aku harus
menenangkan dan merawat Juli. Kamu pulang sekarang. Nanti kita bicara lagi, “kata Pradipta sambil berlalu meninggalkanku. Bahkan dia tidak memberikan kesampatan padaku untuk bicara. Sesaat aku tersadar, dia sudah menghilang dari pandanganku. Akupun pulang dengan hati hancur.
***
Sesampainya dirumah, aku memutuskan untuk mandi lalu menyiapkan makan malam. Mungkin nanti suamiku akan pulang seperti kataya. Jadi sebaiknya aku menyiapkan makan malam kesukaannya. Tepat setelah semua
selesai, kulihat Ibu dan kedua adik iparku muncul di ruang makan.
“Nada, kenapa masak banyak sekali. Ayah tidak akan pulang mala mini. Prita dan Pipit sedang diet kan. Ini pemborosan. Kamu mau menghabiskan semua ini? Kamu gila ya, badan sudah sebesar itu masih saja rakus seperti babi,” kata ibu sambil melotot kepadaku. Sakit? Iya! Tapi sudahlah, masih ada yang lebih penting untuk dibahas.
“Mas Pradipta sudah di Jakarta. Siapa tahu dia akan pulang mala mini,” kataku pelan. Tiga pasang mata itu menatapku terbelalak.
“Kenapa? Kalian sudah tahu kan kalau mas Pradipta sudah di Jakarta?” kataku menatap mereka. Ibu terdiam kebingungan. Pipit dan Prita saling memandang dan diam.
“Kenapa diam? Kenapa tidak bilang padaku. Bahkan kalian tahu nomor telpon barunya dan tidak memberitahuku?
Kalian tahu mas Pradipta sudah pulang dan tinggal di apartemen. Kalian tahu kalau mas Pradipta sudah bertunangan dengan Juli kan?” Tanyaku sambil menahan air mata.
“Sudah lah kalau kamu sudah tahu,” kata ibu akhirnya.
“Sudahlah? Maksud ibu apa? Aku masih istrinya bu. Aku ini menantu ibu,” kataku.
“Iya, istri yang tidak diinginkan,” desah ibu pelan seolah berharap tidak kudengar.
“Ah sudahlah Nada, tidak usah lebay. Iklaskan saja kakak menikah dengan Juli. Masih bagus kalau nanti kakak tidak menceraikanmu dan kamu tetap bisa tinggal dengan kami disini. Mana ada laki laki yang mau menjadikanmu istri selain kakakku. Jadi ya terima aja. Yang penting kamu bukan janda gendut kan. Kalau kamu mau terima dan diam saja, membiarkan Juli jadi istri sah yang mendapingi Kakak di luar sana, kamu masih bisa disini kok,” kata Prita sambil tersenyum sinis. Sungguh, ini sangat menyakitkan. Saking menyakitkannya sampai semua badanku kaku tak dapat kugerakkan untuk waktu yang sangat lama. Aku hanya terduduk diam sampai aku tidak sadar kalau tiga orang yang sudah menghinaku itu selesai makan dan menghilang dikamar mereka. Aku? Diam disini meratapi nasibku sendiri. Karena malam itupun Pradipta tidak pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments