Apa yang terjadi kemarin menghancurkan hatiku. Pagi ini, bahkan aku tidak mampu untuk sekedar bangkit dari tempat tidur. Sejak pagi ibu dan adik-adik iparku sudah bolak balik ke kamar lengkap dengan omelan yang menambah sakit kepalaku. Mereka marah karena tidak ada sarapan di meja makan atau mencari baju yang akan mereka pakai.
Arghhh!,
Aku sedang tidak ingin memperdulikan semua itu. Aku ingin sendiri dan merenung. Karena aku juga tidak mungkin menjawab pertanyaan mereka, aku ini kenapa. Lebih baik aku diam dan menenggelamkan diri didala selimut dan
hangatnya kasurku.
Tadi pagi, Ibu bahkan datang dengan membawa sapu. Untung ayah datang tepat waktu dan menegurnya. Ayah
bahkan mengajak ibu masuk kamarku, mengecek suhu tubuhku dan menanyakan keadaanku. Aku bilang aku sedang sedikit tidak enak badan. Namun saat ayah menyuruh ibu untuk membawaku ke dokter, aku berusaha menolak. Ya selain memang aki tidak sakit secara fisik, aku yakin tidak akan menyenangkan pergi bersama ibu yang mukanya sudah dilipat dua belas itu. Ayah akhirnya mengerti lalu menyuruhku istirahat. Dia juga menyuruh istrinya menyiapkan makanan dan tidak menggangguku sehari ini. Ayah berpesan, bahwa hari ini dipun tidak akan pulang, jadi tidak usah menyediakan makan malam untuknya. Namun ibu harus menyiapkan makanan untukku yang sakit. Ibu yang kesal dengan kekalahannya, tidak berhasil membuatku bangun, memandangku kesaldi belakang ayah. Dia akhirnya menyusul kayah eluar setelah berbisik padaku agar tidak manja. Dia dan kedua adikku
akan pergi sampai malam hari ini, jadi aku harus menyediakan makanan untukku sendiri atau tidak usah makan. Pagi kembali tenang setelah Ayah, Ibu dan adik-adik iparku pergi untuk beraktifitas, meninggalkanku sendiri dirumah bersama airmataku sampai tertidur..
Jarum menunjukan pukul Sembilan saat aku terbangun dalam keadaan kelaparan sangat. Aku belum makan dari kemarin. Rencana untuk makan bersama Pradipta gagal hingga aku pulang kerumah dalam keadaan hancur dan tidak makan. Pagi ini aku juga tidak sarapan sama sekali. Jadi tidak heran kalau aku kelaparan. Meskipun keinginan untuk menangis dan menenggelamkan diri di balik selimut kuat, namun kekuatan naga dalam perutku jauh lebih kuat. Aku menyerah. Lagi pula, kalau aku mati karena kelapan, apakah Pradipta akan menangisiku? Bukankah itu juga berarti Pradipta akan menjadi duda dan Juli bebas menikah dengannya? OH, Tidak!! Aku tidak boleh begini. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus bertahan dari serangan pelakor. Untuk itu, aku harus kuat. Untuk kuat aku harus makan. Makanan adalah sahabat terbaikku.
Aku kemudian bangkit menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Tak kulihat satu makananpun dimeja makan. Hanya piring gelas kotor bekas sarapan pagi yang berserakan di meja dan penggorengan kotor di tempat cucian yang sangat berantakan. Baiklah, aku akan membuat makanan enak untukku sendiri, batinku. Setelah membersihkan meja makan, aku langsung membuat Spagheti carbonara dengan banyak daging giling dan keju, kesukaanku. Segelas susu hangat dan sepotong cheese cake berhasil mengembalikan kekuatanku.
Aku sudah kembali tenang dan berpikir jernih. Kubersihkan dapur dan duduk diruang televidsi dengan gawai ditanganku. Handphone yang tak kusentuh sejak kemarin, setelah aku silent di dalam lemari apartemen Pradipta. Kulihat ada beberapa miscall dan pesan dari Sandra yang menanyakan aku dimana dan bagaimana keadaanku. Dia mengkhawatirkanku. Ada satu pesan dari mama yang juga menanyakan keadaanku. Pertama tama, aku menjawab pesan mama. Aku bilang kalau aku baik-baik saja. Aku katakana kalau handphoneku ku silent dan
lupa menyalakan, sehingga tidak tahu ada pesan dari mama. Setelah itu aku menelpon Sandra. Rasanya lebih baik bicara langsung dengannya dari pada mengetikan jawaban yang panjang dan menyusahkan.
“Halo, Selamat pagi san,”
“Heh, kamu… kenapa menghilang dari semalam? Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja kan?” tanya Sanda beruntun, mengabaikan salamku. Ishhh, menyebalkan!
“Tsk, kebiasaan, bukannya halo dan mengucapkan salam langsung deh nyrocos,” protesku jengkel.
“Oh ya, pagi. Trus gimana? Kamu sudah ketemu Pradipta? Apa katanya? Apa alasannya? Kamu nggak
diapa-apain kan sama dia?”
“Hufttt, harus aku jawab semua ya?” kataku sambil memutar mata.
“Lah anak ini… Udah buruan cerita,” kudengar suara Sandra yang tak sabaran.
“San, jangan cerita apa-apa ya ke Mama,” kataku pelan. Aku tidak bisa menyembunyikan getar kesedihan yang melanda dadaku, berujung ke suaraku.. “Aku nggak mau mama sedih Sand.”
“Hah? Maksudnya? Oh ya … ngerti. Iya aku nggak cerita ke mama. Sekarang kamu ceritakan semua,” kata
Sandra. Tuh kan dia aneh. Hehehe tapi dia hebat, tanpa aku menerangkan panjang lebar, dia selalu mengerti apa yang aku pikirkan. Aku curiga kalau dia semacam cenayang kusus untuk kepalaku. Ah aku jadi haus memikirkan akan menceritakan semua kejadian kemarin pada Sandra. Aku harus bisa menceritakan tanpa histeris kan. Aku harus bisa mengatakan semuanya dengan jelas kan. Baiklah, aku membutuhkan air dingin untuk tenggorokanku.
“Dasar anak aneh. Tunggu aku ambil minum,” kataku sambil menuju dapur. Setelah meneguk habis minumku, kuceritakan semua yang terjadi kemarin dengan tenang. Ralat! Tidak dengan tenang. Tapi penuh jeritan histeris. Bukan! Bukan aku! Tapi jeritan marah dan histeris dari sahabatku tersayang, Sandra. Entah dia sedang dimana, sehingga bisa seheboh itu. Semoga dia tidak sedang ditempat umum yang membuat orang mengira sahabatku gila. Aku tidak mau mama harus repot menjemput Sandra yang digiring ke kantor polisi atau parahnya ke rumah sakit jiwa kan?.
“Sandra… budeg kupingku dengar teriakanmu! Sudah deh!” kataku kesal, menghentikan teriakan histerisnya. Beberapa penghuni kebun binatang bahkan sudah dipanggilnya. Entah datang atau tidak aku tidak tahu.
“Huft ya maaf emosi Nada. Terus gimana? Kapan kamu mau cerai dari Pradipta?” kata Sandra akhirnya setelah
mendengar bentakanku dan terdiam beberapa saat. Kudengan suara dentingan gelas disana. Satu hal yang membuatku terdiam kaget mendengar ucapan Sandra. Mulutnya terbuka lebar dan mataku terbelalak.
“A.. e… apa San? Cerai?” kataku terbata dengan dada berdegup kencang. Cerai dan berpisah dengan satu-satunya pria yang mau melihatku, mau menyentuhku meski dengan kasar, mau menikahiku meski kata Sandra tak wajar? Berpisah dengan cinta pertama ku? .
“Iya cerai. Setelah pengkianatan Pradipta, setelah semua perlakuan mertuadan adik adik iparmu, trus kamu masih
mau bertahan?” tanya Sandra. Tapi, bukan itu yang ku mau. Akum au Pradiptaku apapun yang terjadi. Akan aku lakukan apa saja agar dia tetap menjadi suamiku. .
“Ya tapi kan nggak harus cerai San. Aku mau mempertahankan rumah tanggaku. Aku bisa lebih sabar kok. Aku akan jadi istri yang lebih baik dan membanggakan buat Mas Pradipta, san. Mas Pradipta mencari perempuan lain karena salahku. Aku tidak pantas disebelahnya, dia malu karena aku gendut. Aku terlalu buruk buat dia. Aku belum
bisa menjadi istri yang baik buat dia. Bahkan aku terlalu bodoh di ranjang, tidak seperti perempuan itu,” kataku dengan rasa bersalah yang besar didadaku. Ya aku sadar, ibu dan kedua saudara tiriku benar. Aku dengan tubuh besarku ini yang salah, membuat malu mas Pradipta. Aku yang tidak bisa melayani suami seperti Juli menyenangkan Pradipta. Aku yang salah kan kalau mas Pradipta mencari wanita lain untuk memenuhi kebuthannya, karena aku gagal menjadi istri yang baik baginya.
“Kamu nggak salah Nada!Jangan pernah menyalahkan dirimu kalau Pradipta selingkuh. Sudah, sekarang
bicarakan sama Pradipta. Telepon dia dan tanya maunya. Kalau perlu, ceraikan dia. Aku ada m tamu yang menunggu Nad, nanti aku telpon lagi ya,” tutup Sandra.
Aku merenungkan semua yang terjadi. Ya mungkin sebaiknya aku menelpon mas Pradipta. Salahku kan kemarin
datang tanpa menelpon dulu. Aku memandang Gawaiku dan mulai mendial nomor suamiku. Namun meski sudah kucoba berulang kali, tidak ada satu pun yang tersambung. Hasilnya selalu sama, nomor suamiku tidak bisa dihubungi sama sekali.
Ah, bodoh! Aku kenapa bodoh sekali. Bukannya mas Pradipta sudah peindah ke Jakarta. Sedangkan nomor yang kuhubungi ini adalah nomor Singapura. Tentu dia sudah tidak menggunakannya lagi kan. Tapi nomor Jakartanya berapa ya? Argh, aku tidak tahu! Bagaimana aku menghubunginya?
.
Aku membuka kembali file dari detektif teman Sandra.Kemarin karena senang dan ingin segera bertemu mas Pradipta aku tidak membacanya sampai selesai. Ternyata disana sudah dikatakan bahwa sekarang suamiku memiliki hubungan dengan seorang penyanyi terkenal bernama Juli. Oh iya, benar, namanya Juli.
Segera saja aku mencari tahu tentang Juli selingkuhan suamiku. Mataku terbelalak lebar saat muncul begitu banyak informasi dan gambar wanita ini di internet. Ya, itu adalah wanita yang bersama Pradipta kemarin. Seorang artis yang sedang naik daun dan banyak menjadi model produk ternama.
Aku mencoba mencari hubungan Juli dan Pradipta. Tak jauh berbeda dengan Juli, informasi tentang suamiku itu banyak sekali, kita sudah tahu kemarin kan. Meski ada foto kebersamaan Juli dan Pradipta, namun semua adalah foto kebersamaan mereka secara professional, untuk mengiklankan produk yang ditangani oleh LC, baik di Asia maupun Indonesia. Rupanya Juli sudah menjadi artis andalan LC sejak lama.
Aku mulai membaca tentang kehidupan asmara Juli. Tidak ada gosip kedekatan Juli dengan Pradipta bahkan dengan siapapun. Kehidupan pribadi Juli cukup tertutup.Namun ada satu berita yang muncul 6 bulan lalu tentang laki-laki rahasia Juli tertangkap kamera di Bandara Changi Singapore. Meski dalam berita itu tidak disebutkan
nama, dan wajah keduanya tidak terlalu jelas, aku sangat yakin, foto itu adalah foto Pradipta dan Juli.
Aku merasa sesak didada. Kupandangi foto Juli dalam diam. Aku mulai membandingkan diriku dengan wanita yang terlihat anggun, cantik dan pasti bisa membuat laki-laki merasa bangga berjalan dengannya. Bahkan Juli jauh lebih cantik dan elegan dari perempuan yang di bus saat aku nyungsruk waktu itu. Lalu, apakah suamiku juga berpikir
sama? Suara dering handphone ditanganku mengagetkanku dan mengembalikanku pada kesadaran. Kulihat nama Sandra muncul disana.
“Halo Nad, kamu nggak lagi sibuk kan?” suara Sandra diujung sana seperti terburu buru. Aku menghela nafas mencoba tenang. Aku tidak mau lagi membuat siapapu mengkawatirkanku. Aku tidak mau membuat siapapun sedih karenaku. Biarlah aku sendiri yang menahan semua sakit ini.
“Nggak San. Ibu dan adik adik sepertinya tidak pulang hari ini. Ayah juga kan ke Bandung. Kenapa?” tanyaku sedikitheran dengan nadanya. Sepertinya sahabatku ini sedang kebingungan.
“Ini Nad, inget kan kemarin ada klien yang mau pakai tempat kita buat acaranya. Nah Siang ini tuh aku janji sama dia jam 1 an buat tanda tangan kontrak. Sekarang kan sudah jam 11, Nad dan aku belum bisa pergi karena ada masalah disini yang harus aku tangani. Mama juga sedang menangani tamu yang tidak bisa ditinggal. Waktunya
mepet, sementara itu klien kita hanya punya waktu siang ini. Bisa tidak kamu yang menemuinya dan meminta
tanda tangannya? Kamu tanda tangani saja nggak papa kok. Kan kamu juga salah satu direktur meski nggak pernah kerja dan makan gaji buta,” kata Sandra sambil cekikikan, menyebalkan.
“Lah, siapa yang maksa masukin namaku jadi direktur coba. Lagian aku juga nggak pernah terima gaji kan, kadang kadang aja aku minta hehehe. Tapi okelah, e-mail saja kontraknya nanti aku print disini. Aku mandi dan siap-siap sekarang. WA aku lokasi restoran tempat ketemuannya ya,” kataku dengan mantap. Baiklah. Mungkin dengan menyibukan diri aku bisa mengalihkan pikiranku sejenak dari masalah yang mebuatku sesak nafas ini. Aku segera bersiap-siap lalu menyiapkan kontrak yang di email Sandra. Lokasi pertemuan ternyata di Grand Indonesia,
huft, baiklah. Semangat Nada!
***
Usai bertemu dengan klien yang ternyata terburu buru, datang hanya untuk tanda tangan tanpa banyak bertanya, aku memutuskan sejenak menikmati kopi yang terhidang didepanku. Sejak kejadian di bus waktu itu, Sandra memaksaku untuk memiliki rekening rahasia yang secara berkala diisinya agar aku bisa menggunakan untuk keperluan pribadiku. Termasuk membeli kopi di café seperti saat ini. Tadinya aku memang tidak mau menerimanya, karena selain aku merasa tidak membutuhkan, aku merasa tidak berhak menikmati kerja keras mama dan Sandra. Kuedarkan pandanganku keseluruh restoran. Pandanganku berakir pada seorang wanita yang sedang sibuk memeriksa tumpukan kertas di tangannya.
“Juli,” kataku pelan menyebutkan nama wanita itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments