Pov Pradipta
Aku Pradipta, laki laki dengan tinggi 183, berbadan atletis, muka blasteran jawa China dengan usia 30 an. Sejak SMP, ketampananku sudah diakui oleh para gadis. Sebagai kaapten basket yang tak tergantikan, popularitasku cukup diakui. Banyak cewek yang dengan sukarela akan menyerahkan tubuhnya padaku, hanya agar bisa memamerkanku sebagai kekasihnya. Jangan menghakimiku dulu, aku bukan laki-laki buaya ataupenjahat kelamin. Tidak, sama sekali tidak. Bagaimanapun aku sadar kalau ibu dan kedua adikku adalah perempuan. Aku tidak mau karma perbuatanku menimpa mereka. Bisa aku bunuh laki-laki manapun yang berani menyakiti mereka. Lagi pula, berapa banyak cewek yang mau pacaran sama laki-laki miskin sepertiku, di sekolahan elit papan atas ini.
Ha..ha..ha.. jangan heran. Aku memang sekolah di sekolah elit bersama kedua adikku. Namun itu semua berkat kebaikan keluarga Hermawan, majikan ayahku. Ayahku bekerja sebagai sopir disana, sedangkan ibuku membuat kue kecil-kecilan yang dia titipkan ke warung-warung. Kedua adik perempuanku, Prita dan Pipit juga disekolahkan di sekolah yang sama dengan putri satu-satunya keluarga Hermawan yang bernama Nada. Dua adikku ini sangat senang saat diberitahu akan disekolahkan di sekolah elit, namu setelah itu, mereka selalu mengeluh malu karena keadaan kami yang miskin. Mereka bilang mereka malu mengakui ayah dan ibu hingga melarang ayah dan ibu ke sekolah untuk ambil raport. Sebagai gantinya, rapor kami selalu diambil oleh Ibu Hermawan.
Aku sendiri tidak peduli dengan semua itu. Bagiku, belajar dan bersenang senang lebih penting dari pada memikirkan kemiskinan keluargaku. Aku memang lebih sering di kediaman Hermawan untuk membantu pak Hermawan demi uang. Karena itu juga aku cukup dekat dengan Nada. Dari kecil aku sering bersamanya dan menjaganya. Untuk itu, pak Hermawan sering memberikan uang lebih. Apalagi, ayahku juga memintaku melakukan itu, untuk membayar hhutang budi dan hutang nyawa ayah kepada pak Hermawan.
Nada sebenarnya gadis yang baik. Jujur, aku senang menjadi temannya. Dia sangat polos dana pa adanya. Meskipun kaya, namun dia seorang pekerja keras, cerdas, kreatif dan lembut. Bahkan sekasar apapun dan sejahat apapun orang padanya, dia akan selalu tersenyum dan memaafkan. Inilah yang sering sekali membuat kesal. Kalau
dipikir-pikir, kemampuan kickboxing Nada luar biasa dan teruji. Kalau dia mau, dia bisa membuat mereka babak belur. Tapi Nada tetaplah nada yang positif thinking, polos dan pemaaf. Bagiku Nada adalah teman terbaik. Semua kebaikan murni Nada inilah yang bisa membuatku sayang dengan dia. Persahabatan kami terus berjalan meski Hanya satu kelemahan Nada. Tubuh bulat besar yang selalu berkeringat. Aku sayang pada Nada. Menjadi temannya adalah hal paling baik tapi membayangkan menyentuh tubuhnya membuatku mual.
Bayangan ini muncul saat ayah Nada memintaku menikahi Nada, saat makan siang merayakan wisudaku dan
Nada. “Bapak dan ibu Henky dan terutama kamu Pradipta. Tentu kalian tahu kalau kami memiliki putri satu satunya, Nada. Kami juga tidak punya saudara dekat. Itulah mengapa kami ingin memastikan masa depannya pada tangan yang tepat. Untuk itu, kami ingin bertanya pada Pradipta terutama, apakah bersedia menerima Nada sebagai pendamping. Saya ingin menitipkan Nada padamu, agar kami tenang,” kata Pak Hermawan yang aku panggil Papa sambil tersenyum. Kalimat yang diucapkan dengan tenang ini sangat mengejutkan dan membuat aku dan keluarrgaku terdiam kaku tak bergerak. Apalagi saat itu, mata {ak Hermawan tertuju padaku dan aku hanya bisa tersenyum kecut dan menundu.
Permintaan ini langsung disetujui ayah tanpa bertanya apa-apa padaku. Ayah memintaku untuk menikah dengan Nada sebagai balas budi karena ayah Nada yang pernah menyelamatkan ayah dari kematian akibat serangan jantung dengan membiayainya berobat sampai sembuh, serta menjamin keluarga kami termasuk menyekolahkan kami.
“Tapi pak…” kataku berusaha protes dengan keputusan sepihak ayah.
Untunglah ibu bisa mengalihkan pertanyaan itu dariku. Sepertinya ibu memahami apa yang bergejolak di dadaku. Setelah berbasa basi degan ibu Hermawan, ibu pamit pulang untuk membicarakan permintaan pak Hermawan,
karena keluarga kami belum membicarakan masalah perjodohan aku dengan Nada.
Sesampainya dirumah, Aku ayah dan ibu duduk bersama. Ayah tetap pada pendiriannya, Aku Harus menikah dengan Nada. Tentu saja aku tidak mau. Aku seorang Pradipta yang banyak dikejar cewek cantik, harus menikahi cewek dengan tubuh gentong, hidung pesek dan selalu berkeringat itu. Bahkan membayangkan meni kah dengannya dan tidur seranjang dengan Nada, membuat perutku bergejolak. Aku tidak mau!
Aku memang selalu berusaha membahagiakan Ibu. Hampir tidak pernah membentak dan membangkang Ibu.
Apapun permintaan ibu, aku selalu menurutinya. Namun kali ini, aku tidak bisa iya begitu saja. Ibu paham betul kalau aku kesulitan untuk memposisikan diri menjadi suami Nada. Ibu bicara dengan lembut padaku dan memintaku mendengarkannya. Sebelum melanjutkannya, ibu meminta ayah untuk berbelanja barang-barang persiapan lamaran. OK, aku tidak bisa menghindar lagi.
Dia mengulangi permintaannya agar aku bersedia menjadi suami Nada. Untuk masalah aku dan Nada, Ibuku ternyata memiliki pemikiran yang berbeda denganku. Ibu membujukku untuk menikahi Nada, demi kebahagiaan dan masa depan keluarga Henky, keluargaku. Menurut ibu, menikahi Nada adalah kunci pintu perubahan hidup keluarga Henky. Menurut ibu, menikahi Nada adalah sebuah kesempatan untuk hidup enak Kami akan meninggalkan rumah kontrakan sempit ini dan tinggal dirumah besar. Jika aku menikahi Nada, sekolahku dan adik adik yang ditanggung pak Hermawan akan aman.
Ibu bicara padaklu tentang rencana pernikahan menurut versinya. Pernikahanku dengan Nada akan menjadi pernikahan mencari harta karun. Aku menikahi Nada yang menurut ibu sudah mencintaiku sejak dulu. Nada yang polos itu pasti akan sangat menurut padaku dan itu akan membuat semuanya mudah. Setelah menikah aku harus
meminta rumah terpisah dari bapak ibu Hermawan. Sehingga jika aku tidak tidur dengan Nada, tidak ada yang tahu. Selain itu, keluargaku akan langsung pindah ke rumah baruku bersama Nada.
Ketika aku ungkapkan bahwa aku tidak mencintai Nada bahkan jijik dengan badannya yang seperti gajah, ibu tertawa. Ibu mengatakan kalau Itu mudah, setelah menikah, kami akan mencari cara agar aku tidak pernah menyentuh Nada sama sekali.. Toh Nada bodoh dan bucin, kata ibu. Sanjung dan puji lalu rayu dia seperti biasanya, begitu kata ibu. Pada akhirnya aku harus menyerah pada keinginan ayah ibuku, menikahi Nada.
Tak lebih dari sebulan setelah kami wisuda, kami pergi kekediaman Hermawan untuk melamar Nada. Aku mencoba untuk bersikap lembut pada Nada yang taampak sangat gembira. Hemm, tidak terlalu sulit. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dan menganggapnya seperti kami sebelumn ya yang memang sudah akrab Satu bulan setelah lamaran, kamipun sah menjadi suami istri. Pesta pernikahan kamipun digelar besar-besaran di sebuah hotel berbintang lima.
Setelah acara resepsi, Papa dan Mama menghadiahkan sebuah kamar mewah di hotel yang sama dengan tempat
resepsi kami. Hadiah yang tampak hebat dimata semua orang tapi kurasakan sebagai bencana bagiku. Aku tidak siap untuk meniduri Nada. Aku gelisah tidak mennentu mencari cara menghindari malam petaka itu. Setelah semua
tamu pulang, Papa dan Mama tampak masih asyik berbincang dengan ayah dan ibu sambil makan malam. Kupandangi Nada yang tampak juga gelisah. Entah apa yang ada dipikirannya. Mungkin dia lelah. Baiklah sebaiknya dia pergi ke kamar lebih dulu. Aku akan masuk ke kamar saat dia sudah tertidur.
“Kamu pasti sangat lelah. Kembalilah ke kamar. Aku akan menemani papa, mama dan bapak ibu disini sampai mereka selesai makan malam,” kataku pada Nada.
“Nggak apa-apa kok mas. Aku tunggu saja,” kata Nada yang membuatku jengkel.
“Nada, kamu kembalilah ke kamar dulu. Kasihan itu mbak MUA yang dari tadi menunggu kamu untuk berganti baju dan membersihkan make up mu. Ayo, tunggu mas di kamar ya,” kata ku dengan lembut sambil menahan kejengkelanku agar tidak terlihat. Tapi Nada hanya memandangku dengan matanya yang polos. Kulihat ibuku menghampiri Nada, membantuku membujuknya. Ibu rupanya mengerti apa yang aku pikirkan.
“Nada, kembalilah ke kamar. Sebentar lagi ibu dan bapak juga akan istirahat,” kata Ibu dengan lembut, mengelus bahunya “Ayo, nurut ya sama suamimu. Kan suamimu yang meminta kamu menunggu di kamar.” Dan berhasil Nada pun kembali kekamar tanpaku.
Malam terasa sangat lambat. Namun aku tetap harus kembali ke kamarku kan. Ibu mengantarku ke kamar. Dia mencoba menghiburku dan mengalihkan pikiranku. Badanku terasa lelah dan kepalaku sangat berat, saat aku masuk ke kamar suite dan duduk di ruang tamu bersama ibu. Nada tak terlihat disana, semoga dia memang sudah tidur. Namun harapanku tak terwujud. Belum lama aku terduduk, kudengar suara Nada menyapa dan mengagetkan kami.
“Mas…”
“Lho, Nada, kenapa belum tidur? Sudah malam sayang. Kamu tidak lelah?” kata Ibu, yang menghampiri Nada, sementara aku hanya terdiam.
“Lumayan bu. Tapi Nada menunggu mas Pradipta,” jawab Nada.
“Oh … kenapa memangnya? Takut tidur sendiri?” kata ibu dengan lembut.
“Bukan, tapi kan Nada sekarang istri mas Pradipta. Harus menunggu suami datang bu,” kata Nada dengan yakin.
Ya aku tahu, Nada akan menjadi istri yang baik dan penurut. Dia wanita baik. Tapi bukan wanita yang aku inginkan.
“Ya nggak apa-apa. Kalau kamu lelah, tidurlah dulu. Pradipta itu biasa tidur malam. Kana da ibu yang menemani suamimu. Ibu yang biasanya jaga dia. Sudah sana tidur dulu. Ibu pinjam suamimu malam ini ya, kan besok besok
kalian bisa berdua terus,” kata Ibu lagi.
“Memang ada apa ya bu?” tanya Nada heran. Ah, siapa yang tidak heran kalau suaminya menghilang di malam pertamanya.
“Tidak ada apa-apa. Biasa, Pradipta kan kalau kecapean memang selalu manja sama ibu. Dan lagi, Ibu ada yang perlu dibicarakan sama mas mu ya. Sudah Nada tidur dulu nak,” kata ibu mendorong Nada masuk kamar. Aku pura pura tak melihat saat Nada melirikku. Kupejamkan mataku dan kusandarkan kepala dan badanku kesandaran sofa.
“Tidurlah dulu Nada, nanti aku menyusul. Kamu pasti lelah,” kataku. Aku tahu, keadaanku saat itu sudah benar benar berantakan. Namun bukannya masuk kamar, Nada malahan membuat dua cangkir teh manis untukku dan ibu. Ibu kembali mencoba menguasai keadaan.
“Sini ibu bawakan. Buat suamimu kan?” kata ibu.
“Tidak apa-apa bu biar Nada yang membawa,” katanya. Diletakannya kedua cangkir itu di meja depanku, aku tahu dia ingin disini bersamaku. Tapi aku benar-benar lelah dan tidak ingin bersamanya.
“Nada, nurut ya sama mas. Tidur!” kataku lelah. Kubuat suara sedikit memaksa disana dan kutatap tajam dia. Syukurlah, akirnya dia masuk kamar bersama ibu dan aku menghembuskan nafas lega. Kusesap the manis buatan Nada. Sedikit menenangkan namun sekaligus membuatku merasa bersalah. Malam itu, ibu langsung kembali ke
kamar setelah Nada tidur. Dan aku mencoba tidur di sofa ruang tamu.
Namun karena tidak nyaman pagi aku terbangun sebelum Nada bangun. Kuputuskan untukpergi ke Gym hotel, menyegarkan badanku. Aku kembali ke kamar tepat saat Nada sudah selesai mandi. Senyum cerianya selalu bisa membuatku ikut tersenyum. Ya semenyenangkan itulah Nada.
“Hai, sudah bangun? “ kataku menyapanya.
“Ehm, iya. Maaf kesiangan,” katanya. Entak kenapa dia gugup menghadapiku. Padahal kami sudah tumbuh bersama dari kecil.
“Hahaha, nggak apa apa, kamu keliatannya lelah sekali. Oke aku mandi dulu, setelah itu kita sarapan di bawah. Ibu, Bapak dan ayah bunda sudah menunggu,” kataku sambil mengacak rambutnya seperti biasa. Aku tertawa melihat dia cemberut dengan lucunya, sambil menuju kamar mandi. Selesai mandi, Nada sudah menyiapkanbajuku. Aku melihat dia sedang memainkan gawainya diatas tempat tidur, memandangku nanar saat aku keluar kamar mandi. Ah lucu sekali mukanya. Aku teringat pada Nada kecil yang polos dan selalu menatapku seperti itu. Setelah selesai berpakaian aku menghampirinya dan mengacak rambutnya. “Ehm… sudah memandangi dan mengagumi ketampanan suamimu, Nada?”
“Apa sih maaas,“ katanya lucu membuatku kembali tertawa.
Setelah sarapan,. Aku yang pagi ini lupa dengan masalah malam pertama, kembali diingatkan oleh becandaan Prita
dan Pipit. Hari ini ibu pulang bersama ayah, mama dan papa. Jadi ibu tidak lagi bisa menyelamatkanku. Hanya Prita dan Pipit yang bisa kuandalkan. Aku berpikir keras bagaimana membuat Nada tidak meminta aku melakukan kewajiban suami malam nanti. Ah, iya, aku buat dia lelah dengan jalan-jalan. Tadi pagi papa memberiku uang cukup banyak. Untuk melupakan resah, aku belanja sambil menguras tenaganya. Dengan begitu nanti dia akan kelelahan dan langsung tidur.
Malam sepulang jalan jalan, Nada sudah ditempat tidur saat Prita dan Pipit datang. Mereka mengemban misi dari ibu utnuk menyelamatkanku. Dan tugas Prita untuk berbicara dengan Nada.
“Kak, Prita minta ijin menculik kak Pradipta sebentar ya. Kami ingin mencoba club dibawah, namun Ibu melarang
kami pergi jika tidak ada yang menjaga. Please…” terdengar suara Prita memohon. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Nada saat itu. Namun tak lama Prita keluar sambil mengacungkan jempolnya. Kamipun segera pergi ke club yang ada di hotel ini juga. Aku tahu, Nada memang tidak suka kehidupan malam, jadi tidka mungkin dia ikut. Dan aku tahu Nada tidak mungkin menolak permintaan adikku. Dia sangat baik dan tidak tegaan. Prita dan Pipit membuatku mabuk. Kata ibu, aku tetap harus menunaikan kewajibanku sebagai suami meski hanya sekali. Dan untuk itulah Prita dan pipit ada disini membuatku mabuk. Pipit menceritakan tentang sahabatnya Juli yang cantik dan sexy. Aku menyukainya. Dikepalaku terbayang wajah dan badan Juli dengan jelas karena Pipit membicarakan dia terus menerus.
Lepas tengah malam, aku yang setengah mabuk kembali ke kamar. Sesampainta di kamar, Prita memberiku
serbuk obat perangsang dosis tinggi untuk kuminum. Badanku menjadi panas dan juniorku menjadi tegang minta dipuaskan. Libido dan tubuhku menuntut untuk dipuaskan. Saat itulah Prita mendorongku masuk ke kamar dimana kulihat Nada sedang tidur. Bahkan karena tidak tahan aku sempat mencium Prita, dan dibalasnya sambil cekikikan. Dia meraba tubuhku dan junior semakin membuatku kelabakan. Akirnya aku menyerah walau marah. Kulampiaskan semua pada Nada sambil membayangkan dia adalah Juli. Namunaku tidak bisa benar benar menganggap dia juli dan itu membuatku marah. Semua ini karena Nda, ya entah kenapa aku sangat marah namun tubuhku menuntut dipuaskan dan dilepaskan. Akhirnya kulakukan semua dengan kasar, walau aku tahu ini pasti akan menyakitkan bagi dia, karena ini yang pertama. Aku tidak perduli yang penting aku puas dan lepas dari semua ini lalu tertidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments