Semua sudah aku serahkan pada mas Pradipta, suamiku. Laki laki yang menjadi pertama dalam segalanya. Setelah melewati malam pertama yang meskipun menyakitkan dan bau alkohol, aku resmi mnenjadi istri dalam arti sesungguhnya bagi cinta pertama dan terakhirku. Ternyata ini namanya malam pertama yang meskipun menyakitkan sangat, mampu membawaku melayang. Rupanya seperti ini laki-laki yang melakukan malam pertama, bau kasar dan seperti tidak sadar akan dirinya sendiri. Kalau memang seperti ini, baiklah aku akan jalani. Toh rasa sakit yang aku dapatkan sepadan dengan rasa dimiliki oleh cinta pertamaku. Rasa sakit ini mampu menghapus rasa sedih dan pandangan jijik setiap laki-laki yang memandangku.
Pagi harinya, mas Pradipta membangunkanku dengan tepukan mesra dipipi. Dia sudah rapi dan bersiap-siap untuk sarapan.Dia memintaku untuk mandi dan sarapan bersamanya di bawah. Tentu saja aku sambut dengan bahagi. Inikah rasanya diperhatikan suami? sungguh luar biasa. Inikah yang namanya romantis? Setelah itu, kami bersiap-siap checkout dan kembali kerumah. Sebuah kenangan singkat namun sangat berkesan bagiku. Bahkan mungkin membuatku tenggelam dalam kegembiraan pengalaman pertama.
Banyak hal yang terjadi beberapa hali ini bisa aku labeli sebagai "yang pertama". Pertama di lihat oleh laki-laki selain papa tanppa dihina dan pandangan kasihan atau muak. Pertama disentuh tanpa jijik ataupun penghinaan.
Pertama dilimpahi kasih sayang dari seorang laki-laki. Pertama dicium oleh laki-laki. Pertama memperlihatkan seluruh tubuhku pada laki laki. Pertama disentuh secara dewasa oleh laki laki. Pertama diberikan rasa oleh laki laki. Pertama menyerahkan kesucian yang kujaga puluhan tahun, pada laki laki yang aku cintai dan halal. Pertama kalinya dibuat melayang tanpa bisa dijabarkan dengan kata-kata. Pokonya banyak pertama lain yang bahkan membuatku pusing memikirkannya. Bukan--- bukan pusing karena sakit... tapi pusing karena kewalahan dengan drasa yang membuncah didada. Kebahagiaan yang diberikan oleh seorang laki-laki bernama Pradipta. Kebahagiaan yang membuatku rela menyerahkan diri dan hidupku padanya. Membuatku rela melakukan apapun untuk membuatnya selalu tersenyum. Kalau kau sebut aku bucinnya suamiku, maka itulah aku.
***
Kami menjalani kehidupan rumah tangga kami dengan bahagia. Sepertinya tidak berbeda dengan rumah tangga yang lain. Entahlah, aku tidak punya refrensi tentang ini selain Papa dan Mama. Aku tidak punya teman kalau kamu lupa. Aku juga tidak akan membandingkan dengan novel ataupun sinetron. Karena itu semua adalah khayalan halu para penulisnya, yang tidak ada didunia nyata kan. Seperti permintaan Papa dan Mama, Kami tinggal di rumahku. Ya, kami tinggal dirumah keluarga Hermawan, bersama Papa dan Mama. Mas Pradipta sekarang membantu Papa
mengurus usaha Papa. Setiap hari, suamiku akan berangkat pagi-pagi dan pulang tengah malam. Bahkan seringkali, Papa sudah sampai rumahpun, Mas Pradipta masih di kantor. Beberapa kali aku juga tahu, mas Pradipta pulang ke rumah Ibunya sepulang kantor dengan alasan harus membantu Ibunya dan menjaga adik-adiknya. Mas Pradipta memintaku untuk maklum karena dia satu-satunya laki laki dirumah itu dan dia adalah anak tertua yang bertanggung jawab pada kehidupan ibu dan adik adiknya. Sedangkan aku dirumah ini sudah banyak yang menjaga dan tak kekurangan suatu apapun. Aku sendiri, memilih untuk membantu Mama mengurus restoran, keuangan, promosi dan lain-lain. Dan aku? ya aku menerima apapun keputusan suamiku, meski kadangan kebingungan menjawab pertanyaan Papa dan Mama tentang ketidak hadiran suamiku.
Meski kami jarang bersama-sama, namun Mas Pradipta selalu memperlakukanku dengan baik. Dia selalu mencium keningku saat akan berangkat kerja dan menyodorkan tangannya untuk kucium. Dia sering membelikanku martabak atau ayam goreng gerai terkenal kesukaanku. Dia sering mengingatkanku untuk makan siang dan mengirimkan perhatian melalui pesan singkat. Memang kami jarang bertelepon, tapi dalam sehari, mas Pradipta selalu mengirimkan beberapa pesan singkat untuk istrinya ini. Sentuhan seperti mengelus pipiku, memegang tanganku saat kami menghabiskan waktu bersama Papa dan Mama di ruang keluarga atau ditaman, selalu dilakukan suamiku, membuat aku terbuai dan bahagia. Ya walaupun aku kadang ingin lebih dan mengulang apa yang kami lakukan di hotel waktu itu. Jika kukatakan pada mas Pradipta, dia sering tertawa sambil menyentil jidatku, mengatakan aku mesum. Setelah malam pertama kami, mas Pradipta tak lagi pernah menyentuhku
seperti itu. Ish, kenapa aku jadi mesum sih. Tapi aku bahagia kok dengan rumah tanggaku.
Sampai suatu pagi,Mas Pradipta mengajakku bicara. Seperti Biasa setelah mandi dan bersiap siap, kami akan bersama-sama turun kebawah untuk sarapan. Namun pagi ini, Mas Pradipta menahanku.
“Nada, boleh bicara denganmu sebentar?” katanya lembut.
“Ya? Ada apa mas?” kataku heran. Dia mengajakku duduk di sofa panjang di kamar kami. Sofa yang tidak pernah kami gunakan sebenarnya.
“Nada, menurut kamu, aku ini suami yang bertanggung jawab tidak?” katanya dengan muka sedih.
“Kok gitu mas? “ tanyaku semakin heran.
“Kamu bahagia menikah denganku?” tanya mas Pradipta. Matanya tajam menatapku, membuatku salah
tingkah. Kupu-kupu di perutku selalu ikut bertingkah saat aku menerima tatapan seperti ini dari suamiku.
“Aku bahagia mas. Sangat bahagia malah. Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanyaku.
“Entahlah Nada, aku merasa gagal sebagai suami. Kita sudah menikah, tapi semua biaya hidup kita masih ditanggung Papa. Kita masih hidup dibawah tanggungan Papa,” katanya sambil menunduk. Ah, ego laki-laki rupanya, kataku dalam hati.
“Wajar kan mas, aku ini anak satu satunya pak Hermawan. Semua milik Papa dan Mama ya buat aku, dan
pastinya juga buat kamu. Toh kamu juga ikut bekerja membantu Papa kan,” kataku mencoba menenangkannya. Aku sedikit mengerti bahwa ego dia sebagai laki-laki yang dia bicarakan. Namun sebagai anak satu-satunya, aku juga tidak mungkin meninggalkan papa dan mama.
“Tapi, aku merasa bukan laki-laki yang baik disini. Kalau begini, tidak ada gunanya kamu menikah denganku. Laki-laki yang tak berguna ini,” kata mas Pradipta dengan keras. Aku sedikit merasa bersalah. Kini aku bingung harus bagaimana.
“Lalu, maunya mas bagaimana?” kataku dengan lembut. Kudekati dia dan kuusap tangannya. Namun dia berdiri sambil mengibaskan tanganku dengan kasar. Dia sangat gusar. Mungkin memang aku yang salah, jadi lebih baik aku yang bersabar.
“Masih bertanya maunya aku? Aku mau kita mandiri Nada. Hidup dari hasil keringatku sebagai suami kamu.
Tinggal dirumah kita sendiri, membiayai rumah tangga kita sendiri. Bukan begini,” kata Mas Pradipta menggenggap jemariku. “Apa kamu takut miskin dan akan susah hidup denganku?” kata mas Pradipta.
“Tentu saja tidak mas, aku siap mendampingimu apapun keadaannya,” kataku.
“Kalau begitu apa kamu tidak keberatan untuk pindah rumah? Mungkin kita bisa menyatukan tabungan kita
dan membeli rumah. Kalau memang kita tidak mampu membeli rumah, kita mengontrak,” katanya menatapku penuh harap. Aku tersenyum lebar memandang suamiku yang terlihat bersemangat. Aku mengangguk
tanda setuju.
“Kalau begitu nant malam kita bicara. Aku usahakan akan pulang cepat nanti malam. Kebetulan Mama
dan Papa akan keluar kota kan,” kata mas Pradipta tersenyum lebar. Aku kembali mengangguk dan tersenyum.
“Jeng, ngapain disini? Pradipta dan Nada belum bangun ya?” terdengar suara Mama di depan pintu kamarku. Aku segera menengok kearah pintu yang ternyata sedikit terbuka. Sementara Mas Pradipta berdecak kesal memandang kearah pintu.
“Tsk, ibu nggak sabaran amat sih. Awas aja rencana kacau,” kudengar mas Pradipta bergumam. Ibu? Rencana?
“Apa mas? Kamu bilang apa? Rencana?” tanyaku memastikan.
“Ah nggak kok Nada, nggak apa-apa. Itu ibu, katanya punya rencana untuk mengajak kamu jalan jalan hari ini. Tapi ya nggak perlu pagi-pagi kesini kan,” kata mas Pradipta gugup.
“Loh ada ibu to?” kataku.
“Iya, tadi pas kamu mandi ibu datang. Mas tadi yang membukakan pintu. Yuk kita sarapan,” kata mas Pradipta menggandengku mesra. Hatiku berbunga-bunga, dan kupu-kupu meliar diperutku. Ah perduli apa dengan semua rencana ibu. Aku menikmati setiap sentuhan dan kemesraan mas Pradipta. Aku bahagia karena sekarang ada laki-laki yang aku panggil suami, yang menemaniku tidur saat malam dan memegang tanganku seperti sekarang ini. Ada laki-laki yang kusiapkan bajunya, yang kusiapkan sarapannya dan mendengarkan ceritaku setiap hari. Ah, indahnya dunia pernikahan. Apakah pernikahan kalian sebahagia pernikahanku?
Setelah mas Pradipta berangkat dengan Ibunya, aku membereskan bekas sarapan kami. Lho tapi, katanya
tadi Ibu datang ingin mengajakku jalan-jalan, kok malah ikut mas Pradipta? Bahkan saat tadi aku tanya Ibu mau mengajakku kemana, dia malah kebingungan memandang mas Pradipta yang tersedak dan heboh. Ah sudahlah, toh tadi ibu bilang ingin mencoba naik mobil Mercy keluaran terbaru milikku yang dipakai mas Pradipta, hadiah dari Papa. Tadinya aku ingin mobil itu atas nama suamiku, tapi Papa kekeh untuk mengatasnamakan semuanya ke namaku. Begitu juga pak Henky, ayah mas Pradipta juga tidak setuju saat aku ingin semua harta kami atas nama
mas Pradipta. Bahkan ayah sempat memukul pundak Ibu saat mengusulkan hal itu. Muka mas Pradipta datar saat membicarakan masalah nama kepemilikan. Dia hanya diam tanpa berkomentar apapun.
Setelah semua beres, aku menyusul Mama di taman samping. Papa dan Mama sedang berbincang sambil
menikmati teh disana. Aku memandang mereka sambil tersenyum. Aku membayangkan nanti saat aku dan mas Pradipta tua, kami akan seperti mereka, tapi dengan anak banyak. Karena aku tidak mau, anak-anakku nanti akan kesepian sepertiku. Oh ya, jika nanti aku punya anak, akan kupastikan anak-anakku memiliki tubuh ideal, makan yang bergizi dan bisa menjaga diri.
“Ma, Pa,” sapaku perlahan mendekati kedua orang tuaku.
“Eh Nada, sini nak. Pradipta ke kantor ya?” kata Mama.
“Iya ma, ehm… Nada boleh berbicara ma?” tanyaku perlahan.
“Tentu saja boleh nak. Sini. Ada apa?” tanya Mama. Sedangkan Papa melirikku dengan muka sebal.
“Kamu ya Nada, nggak lihat apa Papa sedang pacaran sama Mama,” kata papa sambil melirik. Mama memberikan pukulan kecil ke pundak papa sambil tertawa. Aku hanya tersenyum bahagia melihat mereka seperti itu. Aku segera dudu di depan papa dan mama sambil meletakan kepalaku dipangkuan mama.
“Kamu bahagia menikah dengan Pradipta? “ tanya Papa tiba-tiba. Aku heran dengan nada dan pandangan
Papa yang tiba-tiba berubah. Aku tersenyum lebar, meyakinkan kedua orangtuaku bahwa aku sekarang sedang bahagia. Karena aku memang benar-benar bahagi. Setelah puluhan tahun orang memandangku sebagai gajah menjijikan, sekarang ada seseorang yang sangat aku cintai, menganggapku ada, dengan tulus.
“Ish Papa, namanya pengantin baru ya pasti bahagia lah. Oke, ada apa Nada?” timpal Mama.
Aku menceritakan semua pembicaraankau dengna suamiku tadi pagi. Papa mengerutkan dahinya sambil
memandangku serius. Mama juga terdiam dan menatapku tajam. Namun kemudian Mama
tersenyum dan mengelus lengan Papa.
“Nada, bilang sama suamimu, tidak ada ya membeli rumah dengan menggunakan tabungan bersama.
Memangnya dia punya uang berapa? Kalau membeli dengan menggunakan uang bersama itu berarti ya membeli dengan uangmu kan?” kata Papa dengan nada yang kurasa sinis. Ah, kenapa Papa mendadak sinis
begini?
“Nggak lah pa, mas Pradipta bilang begitu, pasti sudah punya uang pa,” kataku membela suamiku.
“Halah, aku kan tahu apa yang dia punya,” kata Papa. "Wong duitnya saja dari papa, dan itu habis dikasih ibunya. Kamu memangnya pernah dapat apa dari suamimu?"
“Wis, sudah pa..” kata Mama. “Nada, kan kata kamu nanti malam suamimu akan bicara toh? Bicarakan baik-baik ya nak. Lebih baik tidak usah membeli rumah lagi. Rumah ini rumah kalian. Mama bisa mengerti kalau kamu bilang bahwa Pradipta ingin menjalankan tanggung jawabnya sebagai suami, menafkahi kamu sepenuhnya,” kata Mama
“Halah!” sela papa yang langsung dipotong dengan pelototan Mama.
“Trus gimana ma?” tanyaku ragu. Aku tidak mengerti sikap Papa. Mas Pradipta kan memang baik dan
ingin bertanggung jawab. Perkara memberikan sesuatu padaku, toh tidak perlu karena aku sudah memiliki semua yang aku butuhkan. Memberikan uang? untuk apa? toh uang belanja dan kebutuhanku selalu dicukupi oleh mama dan papa. Wajar saja kan kalau Mas Pradipta memilih memberikan uangnya pada Ibu yang lebih membutuhkan.
“Kalian tetap tinggal di rumah ini, tidak boleh kemana-mana. Rumah ini juga atas nama kamu dan jangan pernah diatas namakan ke siapapun, meski itu suami kamu. Mengerti Nada?” kata Papa.
“Iya Pa, tapi…” kataku ragu.
“Tidak ada tapi…. Bisnis Papa akan papa pindahkan ke Bandung. Papa dan Mama akan pindah ke Bandung.
Sandra akan ikut mengurus di Bandung. Kamu dan Pradipta yang akan mengurus disini, bersama Pak Henky. Jadi setelah Papa Mama pindah, semua kebutuhan rumah ini tanggung jawab kalian berdua. Itu sebabnya mulai nanti sampai seminggu kedepan, mama, papa, Sandra dan Pak Henky akan berada di Bandung,” putus Papa sambil berdiri mengakiri pembicaraan kami.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
bunga cinta
kayak nya ayahnya Nada ada udang di balik baru, atas kelakuannya Pradipta
2022-10-06
0