Reira membawaku ke sebuah gedung yang terbengkalai. Kedaannya sangat suram dengan semak-semak tinggi yang tumbuh di kiri kanannya. Tidak ada tanda-tanda kapal yang bersender di sini, bahkan tidak akan mungkin kapal berada di daratan. Setetes air pun tidak kulihat. Aku hanya mengikuti langkah Reira yang menuju ke gedung itu, menuruti imajinasinya yang tanpa henti.
Entah mengapa ia memintaku untuk menenteng belasan nasi bungkus ini. Aku sempat menolak, namun ia kembali menekankan bahwa anak buah selalu menuruti perintah kaptennya. Kadang, cukup melelahkan jika bersama Reira. Ia selalu menyeretku ke momen-momen yang tidak terduga. Entah pengalaman apa yang ingin ia tunjukkan padaku hari ini.
"Untuk apa sih nasi bungkus sebanyak ini?" tanyaku sambil terengah menenteng plastik besar yang berisikan belasan nasi bungkus.
"Awak kapal gue selalu lapar. Kalau enggak dikasih makan, dia bakal makan anak baru kaya lo," balasnya dengan datar.
"Lo kira zombie."
Ia mengangguk pelan. "Kira-kira mereka begitu kalau lapar."
Kami memasuki gedung gelap ini. Reira melangkah duluan untuk menuntunku. Ia tanpa takut masuk ke kegelapan tanpa cahaya sedikit pun. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang aku langkahi saat ini. Ia menarik tanganku dan membawaku naik ke sebuah tangga. Mulai kudengar suara langkah dan tawa anak-anak yang tengah bermain riang. Secercah cahaya merambat lurus dalam kegelapan yang sedang kami lalui.
"Pake topi yang udah gue buatin tadi," kata Reira. Ia tampak memakai topi kertas yang baru saja ia buat lagi di rumahnya.
"Oke, kapten," balasku tanpa basa-basi.
Aku dan Reira memasuki ruangan yang tampak terang itu. Penglihatanku mengedar ke seluruh ruangan luas ini. Cahaya yang kami lihat tadi berasal dari lampu petromak baterai serta api yang mereka hidupkan di sebuah tong bekas dari besi. Dinding yang kokoh ini tergambar lukisan air lengkap dengan pepohonan palem khas pantai tropis. Sofa-sofa empuk bahkan disediakan di tepi-tepi dinding untuk bersantai. Bunga-bunga tidak lupus dijadikan hiasan. Barisan pot-pot kecil berisikan bunga menghiasi sekeliling ruangan ini.
Suara anak kegirangan terdengar tatkala kami menampakkan diri. Gelak tawa dalam langkah lari mereka begitu lebar ketika mengelilingi api yang dihidupkan di dalam drum besi. Tubuh mereka hanya terbungkus kaos kumuh serta kaki mereka yang kumal tanpa alas selapis pun. Keringat mereka menyesap pada pakaian lusuh yang bisa jadi sudah dipakai semenjak tiga hari yang lalu. Tidak ada satu pun yang menyadari kehadiran kami. Mereka terlalu sibuk untuk menikmati suasana malam yang hangat, walaupun di dalam kesederhanaan yang hanya mereka saja yang bisa merasakannya.
Aku yakin mereka anak-anak yang menjadi korban kerasnya kehidupan. Letih dan getirnya detak jantung sebuah kota, menyisakan segurat ekspresi wajah-wajah yang terbuang dari gemerlap zaman. Langkahnya berlari berebutan untuk menggapai Reira. Usia mereka beragam, mulai dari yang belia hingga belasan tahun. Senyum kecil dari anak-anak itu membuatku terhentak. Kebahagiaan yang tercipta begitu sempurna. Lengkung senyum yang tercipta begitu bersahaja. Pelukan hangat Reira berada di tahap paling tulus yang pernah kulihat.
Aku seketika merasa orang yang paling hina sedunia. Ada sebuah tempat mungil yang berdiri di tengah-tengah kesombongan dan keputusasaan dunia, sementara itu aku masih saja berkeluh kesah mengenai ketidakberuntunganku. Rasa benci dan rinduku terhadap keberadaan sebuah keluarga menjadi dosa yang telah aku jalani sendiri. Aku benci kehangatan yang tercipta di luar sisiku, sementara aku merindukannya agar bisa menghampiriku.
Reira menangis di tepian matanya. Ia menatapku dengan tatapan berkaca.
"Selamat datang di kapal kecil gue, Dave," ucapnya sembari menyambut pelukan dari anak-anak jalanan itu.
Begitu putihnya hati wanita berparas manis itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
t@Rie
ah Rei, lo bener2 bikin gw speechless.. terharu bgt
2022-03-11
0
ayyona
capt rei ngumpulin anak anak jalanan 😎😍
2020-11-24
0
dyokkkk
Terharuuu 😭
2020-05-11
1