Namanya terlalu aneh untuk seorang wanita. Tunggu, lebih tepatnya julukannya itu yang aneh. Wanita yang selalu mengikat rambutnya ketika bertemu denganku itu, menyebut dirinya dengan sebutan Captain Reira. Aku tidak percaya jika ia punya kapal dan sedang butuh awak kapal. Dia wanita yang aneh. Ditambah lagi dengan segala informasi yang ia ketahui mengenaiku.
Namun, ia ada betulnya. Aku memang sering menempelkan karya-karyaku ke mading fakultasnya. Tidak hanya itu, majalah kampus dan event sastra universitas selalu dihiasi dengan namaku.
Langkahku berderap di tepi jalanan kampus menuju ke sebuah lapangan bola. Pertandingan liga antar fakultas tengah berlangsung di sana. Para suporter riuh dengan menabuh bass drumband untuk membakar semangat tim dukungannya. Beberapa orang fanatik menghiasi wajahnya menggunakan warna-warna yang selaras dengan jersey tim kesebelasan mereka. Para pemain yang sedang memacu napas di lapangan seakan tidak peduli dengan suara dukungan, ia terlalu fokus menghadapi pertandingan.
Tanganku belum ada menyentuh handphone-ku yang sedang berada bersama orang yang sama sekali tak kukenal. Bisa jadi ia sudah menjualnya. Namun, jika itu sungguh terjadi, akan kuobrak-abrik rumahnya. Jika benar ia mempunyai kapal, akan kubolongkan agar kapal itu tenggelam. Aku tidak mengetahui ia kuliah di fakultas mana sehingga aku tidak bisa mencarinya di kampus. Satu-satunya jalan ialah langsung menuju rumahnya.
Sebuah mobil sedan warna putih menepi di depanku. Aku tahu itu merupakan mobil Fasha.
"Masuk," ucap Fasha di dalam mobil. "Ada hal yang mau aku bicarakan."
Aku membuka pintu mobil, namun tidak masuk.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kamu marah sama aku? Semalaman aku telpon, kamu enggak ngangkat sama sekali," jawabnya tanpa menoleh padaku.
"Handphone lagi enggak sama aku," balasku.
"Sama pacar kamu, kan?" ucapnya. Ia memandang ke depan seakan tidak ingin menatapku. "Kenapa kamu enggak pernah bilang kalau punya pacar?"
"Fasha, seumur hidup aku, sampai detik ini, aku enggak pernah kenal sama makhluk yang bernama pacar." Kalimat itu begitu aku tegaskan ketika menyebut kata terakhir. Andai saja ia tahu jika aku hanya menyukainya, pasti ia akan berhenti berpikir jika aku mempunyai seorang kekasih.
"Terus, siapa yang ngangkat panggilan dari aku? Dia bilang kalau dia itu pacar kamu. Cewek yang kemarin itu, kan?" jawab Fasha dengan nada sedikit meninggi.
Cewek sialan itu!!! Tanganku mengepal saat mendengar pernyataan dari Fasha.
Tidak kupedulikan Fasha yang tengah melipat tangan di dalam mobil, aku pergi meninggalkannya. Aku hidupkan skuterku─jujur, ia sangat susah sekali untuk hidup─untuk sesegera mungkin menuju rumah Reira. Gadis berikat rambut merah itu tampaknya semakin menjadi-jadi. Sebenarnya aku hanya ingin mengambil handphone-ku dengan damai, tetapi ia telah membuatku berurusan serius dengannya lagi.
Sepuluh menit kemudian aku tiba di rumah tua khas zaman Belanda. Berhiaskan bebungaan mekar di halaman, serangga-serangga tak kenal segan untuk bermain di sana. Aku heran, ini rumah atau miniatur hutan. Terlalu banyak tumbuhan yang berdempetan dalam satu daerah. Bagus, tapi aku tidak terlalu suka. Tidak seperti rumahku yang telah menjadi gersang semenjak Ibu telah tiada.
Tanganku mengetuk pintu berkali-kali hingga seseorang menyahut dari dalam. Gagang pintu bergerak, aku mundur selangkah. Seorang wanita yang sedang memakai celemek masak menampakkan senyumnya saat pintu terbuka. Bibirnya yang tipis menampakkan gigi kelincinya. Rambut setelinganya itu bergoyang saat ia mengangguk saat sadar aku yang mengetuk pintu. Aku tebak, ia mungkin sudah berumur lima puluhan dan sudah pasti bahwa itu adalah ibunya.
"Cari Reira?" tanya wanita itu. "Saya Ibunya."
"Oh, benar, Bu. Ini David. Saya lagi nyari Reira," balasku dengan nada merendah. Suara ibunya begitu lembut, tidak seperti anaknya yang terkesan barbar.
Ia memerhatikanku dengan seksama dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ia memang hanya setinggi dadaku, sehingga kepalanya harus naik sedikit untuk bisa melihat wajahku dengan jelas.
"Pacar Reira, ya?" Ia memerengkan wajah.
Aku menggeleng dengan pipi yang memanas. Tatapan ibunya Reira seakan memaksaku untuk berkata iya. Aku ke sini hanya untuk mengambil handphone-ku dan bukan untuk bersalah tingkah seperti ini.
"Beneran?" tanya ibunya Reira lagi.
"Iya, Bu. Saya temannya Reira. Baru kenal sama Reira," balasku.
"Baru kenal, ya? Pantes aja. Yaudah, masuk. Reira lagi keluar." Ia membukakan pintu dengan lebar. "Panggil aja Bu Fany. Teman-teman Reira manggil begitu semua ke saya."
Wangi sesuatu yang digoreng tercium hingga ke ruang tamu. Dapur seketika riuh oleh bunyi pecah belah saat Bu Fany kembali mengambil alih. Sementara itu, aku sibuk memerhatikan seisi rumah yang terlihat menarik. Telingaku tertuju ke dentingan jarum jam kikuk dengan harapan dapat melihat burungnya yang akan terjulur di jam-jam tertentu. Arsitektur kuno begitu kental terlihat di seisi rumah. Mataku terbelai oleh televisi lama yang terpajang di samping akuarium. Tidak hanya satu, ada lima buah televisi lama yang terpajang dengan sedikit berjarak. Sebuah alat pemutar piringan hitam kutemukan di samping sofa tempat aku duduk. Di bagian corongnya terdapat tulisan tahun permbuatan. Tahun 1900, ini sudah sangat tua. Saat kusentuh, sungguh tak ada setitik debu pun di atasnya.
Bu Fany berdehem, kujauhkan jemariku dari alat pemutar piringan itu.
"Reira pasti ngerjain kamu, ya? Semua orang yang baru dikenalnya pasti datang ke sini buat marahin Reira. Maaf, kalau dia ngerepotin kamu." Secangkir teh ia sodorkan padaku.
"Enggak, Bu," kataku dengan berbohong. Anaknya memang sudah mengerjaiku. "Maksud saya ke sini mau menjemput handphone saya yang ketinggalan di tas Reira waktu itu."
"Oh, gitu, ya? Ibu kira kamu mau marahin Reira. Tapi, kalau dia bandel, marahin aja, ya? Dia anaknya memang begitu." Ia meletakkan secangkir teh di hadapanku.
Seseorang yang kutunggu tiba dengan keringat yang mengguyur dahinya. Tangannya memegang sebuah jaring dengan pegangan berupa tongkat sepanjang se-meter. Wajahnya lusuh oleh letih yang terlihat. Sedikit kotoran hitam terlihat pada kenignya. Kaos yang menjadi dalaman kemeja kotak-kotak telah basah. Entah apa yang dilakukan olehnya hingga bisa sekumal itu. Ia menatapku dengan tatapan lurus, tidak berhiaskan senyumnya yang lebar, seperti saat ia tersenyum kepada hujan.
"Mama, jangan gosipin Rei dengan dia," katanya sambil menuju ke tangga Kepalanya menoleh ke belakang. "Tunggu di situ. Gue mandi dulu."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
ayyona
captain Rei dari mana? hmm jangan bilang habis maen di empang
2020-11-23
0
Nabila Kim
baca lagiiii
2020-11-13
0
HotBaby
seruu
2020-10-20
1