Senja **** kelamnya di sela-sela langit timur yang bersih. Kemuning harmoni senja tidak akan pernah tertinggal untuk tercipta. Ia akan selalu ada ketika orang-orang merindukan malamnya. Titik pergantian siang dan malam, pembatas rindu antara mentari dan rembulan, hingga senyum para orangtua yang menjemput anaknya untuk pulang, aku selalu merindukan itu. Senja selalu mempunyai harmoni dan misterinya yang ia tunjukkan dengan cara yang tidak biasa.
Aku panik sewaktu itu, itulah yang membuat aku diejek oleh Reira di mobil. Benar, aku meneriakkan namanya dengan keras saat ia menyelam untuk menombak kakap merah besar yang tersangkut di kail pancingannya. Laut nan biru menimbulkan warna kemerahan darah. Seketika itu kepala Reira timbul sembari menyibakkan air yang membasahi rambut. Ia gila, aku akui itu. Wanita kota mana yang mau menyelam di laut tak bertuan untuk bergelut dengan ikan sepanjang setengah meter, kecuali dirinya.
"Hei, Dave. Gue itu udah berenang di laut sejak umur lima tahun," ucapnya saat memutar stir mobil. Ia masih membawa air laut yang menyesap di celananya. Sementara itu, bajunya tergantung di kursi belakang karena basah. Kini ia hanya berlapiskan jaket yang kupinjamkan.
"Tapi, itu kan bahaya. Kalau lo tenggelam, bagaimana?" tanyaku.
Ia tertawa. "Haha ... gue punya darah perompak yang pernah membuat takut tentara Inggris di Malaka."
"Iya, gue percaya itu." Aku melihat lampu bengkel Dika masih menyala. Pertanda ia masih beraktivitas di sana. "Cuma gue khawatir aja karena lo enggak timbul-timbul.
Mobil Reira menepi di depan gerbang rumahku. Kami melangkah menuju rumah untuk menikmati roti canai buatan Kakek Syarif. Pria tua dengan harmonika itu dengan senang hati membungkuskan kami makan malam. Ia memang bukan orang Aceh, tapi ia tahu cara membuat roti canai.
Mataku menatap lurus seseroang yang tengah berdiri di kegelapan malam. Dari wanginya saja, aku sudah tahu siapa dia. Ia mengingatkanku akan hujan di halte bertahun-tahun yang lalu. Rasa patah hati dan cinta seakan bersatu tatkala aku menatapnya. Fasha berlari menuju aku dan Reira.
Aku selalu suka saat rambut sebahunya tergerai tatkala dirinya bergerak. Namun, aku tidak suka saat ia lebih memilih orang lain untuk menyentuh sebegitu lembut helaiannya. Tangannya melingkar di pundakku dengan erat. Aku tidak mengerti, aku hanya membalas pelukan hangat itu.
"Kamu enggak kenapa-kenapa, kan?" tanya Fasha.
"Iya, aku baik-baik aja." Aku mengelus rambutnya dengan lembut. "Kamu enggak perlu khawatir.
"Candra, tadi nelpon aku kalau kamu kelahi sama preman."
Reire berdehem. Ia merasa tidak nyaman karena melihat aku dan Fasha berpelukan di depannya.
"Gue punya roti canai yang marah kalau dimakan dingin. Dia galak kaya preman yang tadi." Ia melangkah duluan dan membuka pintu rumah seakan dirinyalah pemiliknya. "Dika, gue punya makanan untuk lo!"
***
Akan kuceritakan kembali kenapa aku membenci hujan. Sebuah kisah yang tak akan kuceritakan pada siapa pun, kecuali kalian.
Fasha, wanita bermata seindah batuan zamrud yang kukenal bertahun-tahun yang lalu. Tepat ketika seragam putih abu-abu masih bersarang dalam jiwa remajaku. Berpupil hitam pekat yang acap kali menarikku untuk masuk ke dalam pikirannya. Aku hilang dalam tatapan. Pikiran bawah sadarku kacau oleh sinyal yang ia berikan. Untaian kata yang ia katakan bagai hembusan angin laut lembut yang membawa terbang layang-layang anak nelayan, menitipkan secercah senyum yang akan kupertahankan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
anocha
suka bahasamu thor... mendayu - dayu, lanjuut ☺
2020-12-03
1
ayyona
hmmm emang susah menghilangkan rasa
2020-11-23
0
Lei Elf
wow Aceh🤗🤗
2020-09-13
2