Kejadian malam itu membentangkan jarak di antara kami. Beberapa hari aku tidak sanggup untuk menatap matanya. Sudah kubilang sebelumnya, aku siap menerima resiko walaupun masuk ke dalam tempat untuk orang-orang yang terlupakan. Aku salah, aku salah mencintai orang. Ia seharusnya tetap menjadi sahabatku meskipun inti jiwa ini tidak terima realita yang terjadi. Cinta yang bersemi itu tetap membelenggu masa laluku yang tidak ingin pergi.
Tugas menghadang tiada henti. Candra duduk mengangkang di bawah pohon pinus dekat markas anak Mapala kampus. Di hadapannya berserakan kertas-kertas yang berisikan laporan pratikum. Ia tidak peduli dengan rumput gatal yang ia tiduri. Ia tetap mengetik dengan gerakan yang kencang untuk mengejar deadline yang diberikan oleh dosennya.
Aku berbeda dengannya. Waktu luang yang kumiliki lebih banyak daripada Candra, sehingga tugas yang menumpuk bisa diselesaikan perlahan. Ia terkadang sibuk mengurusi pet shop milik keluarganya. Terkadang ia juga sibuk dengan segala organisasi yang ia ikuti.
"Jadi, lo enggak ada sapa-sapaan sama Fasha?" tanya Candra.
"Benar, semenjak malam itu, gue enggak mau ketemu dia. Malu, takut, sedih, ah ... gue enggak tahu lagi!" Kuhempaskan tubuhku ke rerumputan yang menyambut.
Tangan Candra masih bergerak di atas laptopnya tanpa melihatku. "Kayanya kalian butuh jarak buat mikirin hidup masing-masing. Lo enggak perlu mikirin dia lagi. Soalnya dia udah ada yang punya. Jangan jadi penikung."
"Gue udah merelakan semuanya," balasku.
Ia menutup laptonya. Aku tahu tugasnya itu belum rampung. Mungkin saja pikirannya sudah buntu dengan segala perintah dosen yang kadang tidak mengenal ampun.
"Gue pernah lihat Reira sebelumnya," kata Candra sembari membakar tembakau. Ia menyodorkannya padaku. Namun, aku tidak mengambilnya.
"Di mana?" tanyaku.
Matanya bergerak ke sudut. Asap tetap keluar dari kedua hidungnya. Tidak lama kemudian ia mengangguk. "Gue ketemu dia di café. Kayanya dia ngambil kerja part time di sana."
Handphone-ku bergetar di dalam saku. Kutatap layar terang yang menunjukkan sepenggal nama lengkap dengan fotonya yang setengah tersenyum. Reira tiba-tiba menelponku.
"Ke danau kampus sekarang!" Reira langsung menutup sampungan panggilan.
Candra heran melihatku yang hanya menangkat panggilan hanya beberapa detik.
"Siapa?" tanya Candra.
Dahiku mengernyit. Wanita itu selalu saja bertingkah aneh. Entah kejutan apa lagi yang akan ia tunjukkan padaku. Momen-momen yang tidak bisa aku perkirakan, selalu terjadi ketika aku bersamanya.
"Reira." Aku mematikan layar handphone. "By the way, beneran Reira jadi waiter di café?"
Candra mengangkat bahu. "Dia yang ngelayanin gue waktu itu."
Aku berdiri untuk melangkah ke danau kampus.
"Gue cabut dulu, ya," ucapku pada Candra yang tengah menghisap isapan terkahirnya pada tembakau.
"Oke," balas Candra. "Oh iya, gue lupa. Happy birthday."
Aku lemparkan senyum padanya. Ia orang kedua yang mengucapkanku selamat ulang tahun. "Iya, terima kasih."
Air beriak di tengah danau yang tampak sedikit kehijauan. Reira berkata padaku bahwa itu pertanda ada kumpulan ikan yang tengah bermain ke permukaan. Danau ini cukup luas. Tempat-tempat duduk disediakan di sekitaran danau. Jalan setapak selalu bersih dari daun kering. Padahal pohon tumbuh rimbun di sini. Terasa segar oleh aroma dedaunan yang khas.
Seseorang tengah bersampan di tengah danau. Gerakan tangannya yang harmonis membawa sampan untuk bergerak lambat. Senyumnya tidak luntur oleh resiko yang akan ia tanggung. Reira, hanya dia manusia yang mau bersampan di sini sendirian. Oh tidak, dia tidak manusa. Reira hanya alien yang tidak sengaja kutemukan.
"David!!!" teriaknya di tengah danau.
Aku jemput dirinya ke sebuah jalur kayu yang menjorok ke danau. Penyangga-penyangga kokoh tidak pernah rapuh semenjak belasan tahun yang lalu dibangun. Permukaannya licin karena sedikit berlumut. Langkahku sedikit berhati-hati agar tidak jatuh terpeleset.
"Lo enggak takut tenggalam?" tanyaku saat sampanya tiba mendatangiku.
Ikatan berwarna merah menyatukan rambutnya yang sedari tadi ia biarkan tergerai. Tanganya menggapai sesuatu di belakanganya, lalu memakaikannya ke kepala. Itu merupakan topi dari kertas yang sangat mirip seperti topi-topi kapten bajak laut. Di depannya terdapat lambang yang tertuliskan huruf awal dari namanya.
"Gue juara satu lomba sampan di kampus. Jadi, lo jangan khawatir." Ekspresinya tampak sombong ketika menunjuk dirinya.
Aku melipat tangan di dada. Aku tahu dia mendapatkan banyak prestasi di kampus ini. Namun, tidak ada satu pun prestasinya yang cocok dengan wanita kampus pada umumnya. Ia pernah bercerita bahwa ia pernah juara lomba panjat tebing, lomba lari marathon antar fakultas, pernah jadi orang garis pertama di demo penurunan harga BBM, menjadi pencetus demo di rektorat karena ada pejabat yang korupsi, dan ini yang terakhir, lomba sampan.
"Jadi, gue ngapain ke sini?" tanyaku.
Tangannya terjulur padaku. "Ayo, naik. Bakal gue ajarin lo berdayung."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
ayyona
reira yg ga bisa diem
2020-11-23
0
UCHI °OFFICIAL°
Semangat terussss
FK
2020-10-23
1
❣Lily laly^😎Rh's
tolong tjor....akupun ingin keluar dr zona nyaman yg tak nyaman ini😟😊
2020-07-11
1