"Lo yakin?" tanyaku sekali lagi.
"Gue enggak tahu kerjaannya di kantor ngapain. Di dalam sana ada uang yang menjadi hak kita," balas Reira tanpa ragu.
Kegelapan malam menenggelamkan bayang-bayang Reira. Ia menghilang menuju ke belakang rumah yang gelap. Langkahnya pelan dalam senyap malam. Tidak ada ragu dalam dirinya ketika melewati beberapa CCTV yang terdapat di setiap sudut. Aku hanya mengikuti suara langkahnya sembari menutup wajahku dengan penutup kepala yang ada pada sweater. Sungguh, di sini gelap sekali. Aku tidak bisa melihat batang hidungnya, kecual melalui cahaya handphone yang ia beri padaku tadi.
Tangan Reira mengutak-atik pintu belakang. Tanpa usaha yang berat, pintu belakang dengan mudah ia buka. Ia melenggang masuk tanpa beban. Aku berhenti di depan pintu. Hatiku tidak sepertinya yang mempunyai keberanian dalam hal apa pun.
"Agak susah buka pintunya. Tapi, kita beruntung karena punya kunci. Cuma orang bodoh yang ngeletak kunci di bawah karpet."
"Reira, gue enggak mau masuk. Ini tindak kriminal karena masuk ke rumah orang tanpa izin," ucapku di depan pintu.
Ia menoleh ke belakang sambil tersenyum. "Lo tahu akhir nama gue?"
"Gue enggak peduli, Reira. Lo mau kapten gue, atau lo siapa, ini tetap kriminal." Tanpa basa-basi, kulangkahkan kakiku untuk meninggalkannya.
Reira menahan tanganku. Terasa sekali keringat dingin yang tengah membahasi telapak tangannya. Genggamannya yang keras untuk berusaha membendung sikap pengecutku.
"Untuk sekali saja, jangan menjadi pecundang, Dave. Lo itu pengecut, pantas Fasha tidak pernah tahu kalau lo suka sama dia," paksa Reira.
Aku menggeleng. "Gue enggak pengecut. Setidaknya gue waras daripada lo. Kita bisa aja tidur di kantor polisi malam ini."
"Lihat wajah gue, Dave! Apa gue gentar sedikit pun. Ayolah, lo bukan pengecut, kan?" tanya Reira dengan paksa.
Benar aku pengecut. Aku akui satu titik pengecualian di dalam diriku itu. Permasalahanku selama ini selalu ada yang membentengi. Orang-orang akan ada di barisan depan ketika aku tertatih menanggung beban. Ibu selalu membelaku ketika berkelahi bersama Dika. Ayah selalu membelikan apa saja untukku agar aku senang. Rio tidak pernah meninggalkanku, walau di titik terburuk sekali pun. Namun, itu semua mengajarkanku untuk menjadi lemah. Tidak pernah kurasakan bahaya yang berarti ketika berada di sekitar mereka. Hingga pada akhirnya, benteng-benteng itu runtuh satu per satu. Aku dibiarkan menghadapi dunia sendiri tanpa jati diri.
"Benar gue pengecut." Langkah kakiku mendahului Reira menuju ke pintu.
Mataku tidak sempat memerhatikan seisi rumah. Langkah Reira terlihat cepat, tetapi senyap tanpa bunyi sedikit pun. Gentar yang kurasakan semakin menjadi-jadi ketika melihat banyak CCTV dari tangga yang kulalui. Wanita di depanku itu seakan tidak peduli. Ia tetap berlari di atas tangga seperti seorang ninja yang sedang menyelinap.
Decit pintu berbunyi tatkala Reira menekan gagang pintu kamar. Reira menyempatkan diri untuk menunjukkan senyum liciknya padaku, menyengir seperti hantu yang menampakkan diri di kegelapan. Beberapa detik kemudian, ia tidak tampak lagi ketika sudah masuk ke dalam kamar yang dalam keadaan gelap. Ia kudapati sudah berbaring di ranjang lebar ketika lampu dihidupkan dengan sebuah alat di tangannya.
"Lo tahu? Kadang enak menjadi orang kaya, namun gue benci ketika ikut di dalamnya," katanya ketika menggerakkan kaki untuk menikmati lembutnya ranjang itu.
"Reira, ini cukup! Kita haru pulang," paksaku.
Gadis gila itu tidak peduli. Ia membalasku dengan senyum khasnya.
"Gue Reira Bernardo, anak dari Arnold Bernardo. Enggak ada orang yang dipenjara gara-gara masuk rumah sendiri."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
t@Rie
haiiisshh... bantal mana bantal? Pengen nimpuk Reira
udah deg deg ternyata rumah dewek🤣
2022-03-11
0
UCHI °OFFICIAL°
Hadir
2020-12-11
0
ayyona
set dah!!!! sini gue timpuk dulu 😅😅😅
2020-11-24
0