Kini statusku bukanlah sebagai teman biasa. Ia bukan lagi wanita dengan segala kejutan yang aku temukan ketika malam festival seni. Ucapanku mengandung janji dari sebait ikrar yang diucapkan. Tidak boleh dilanggar, harus dipegang teguh untuk selalu bersama untuk menggapai imajinasinya yang tidak terbatas. Ia kaptenku sekarang. Aku merupakan salah satu orang yang mau ikut dalam alur cerita bodohnya.
Malam menunggu untuk diperhatikan. Ingin sekali aku keluar untuk menikmati harmoninya, tetapi ada sesuatu yang tidak beres dari tubuhku. Semenjak berbasah-basahan di tepi danau bersama Reira, tubuhku seakan kehilangan tenaganya. Hidungku tidak berhenti mengeluarkan isi.
"Dika, gue kayanya demam," ucapku dari kamar.
"Cuma demam aja malah ngeluh. Istirahat aja yang cukup," balasnya.
"Lo ada obat enggak?" tanyaku.
Ia menatapku sesaat. "Minum yang cukup dan tidur yang cepat. Itu cukup. Jangan jadi anak manja yang sedikit-sedikit minum obat."
Dika tetap menikmati acara di televisi sembari mengisap tembakau malamnya. Gaya santainya tidak bisa dihindarkan. Padahal Ibu dulu paling marah jika menaikkan kaki ke atas meja, apalagi ditambah dengan menikmati tembakau. Aku tahu ia tidak akan peduli dengan hal ini. Baginya, demam hanyalah hal kecil yang tidak perlu dikhawatirkan.
Sudah lama sekali aku tidak merasakan kehangatan dari keluarga. Aku rindu belaian tangan Ibu ketika aku merintih sakit. Ingin sekali aku kembali mendengarkan ocehan ketika ketahuan sedang menderita demam. Ia pasti menyalahkan diriku yang tidak pernah khawatir dengan kesehatan tubuh. Ibu akan menyalahkanku karena meminum minuman dingin yang di beli di depan sekolah, bermain futsal saat malam, serta begadang terlalu larut. Di saat aku dimarahi oleh Ibu, Rio selalu ada untuk menghiburku dengan cerita gilanya mengenai teman-temannya.
Tidak dengan Dika, ia tipe orang yang cuek. Perhatian orangtua kami kepadanya, tidaklah sebesar yang didapatkan olehku dan Rio. Perhatian selalu ditujukan kepadaku sebagai anak bungsu yang manja dan kepada Rio sebagai anak sulung yang nakal. Hal yang sama kini ia perlakukan padaku. Aku hanya melihat keteguhan hati dan kerja keras yang tercerminkan dari hidupnya yang keras.
"David ...." Seseorang mengetuk pintu kamarku tiga kali. "Boleh gue masuk?"
Aku ingat suara ini. Suara yang sama dengan kegirangan ketika ia mendapatkan ikan besar di laut kemarin. Hanya saja, suara ini terdengar sedikit lembut.
"Reira? Masuk aja," balasku.
Pintu berdecit ketika dirinya masuk. Wangi tubuhnya yang khas menyeruak ke penciumanku. Ia **** senyum di balik gelapnya kamar. Aku bisa melihatnya dengan jelas ketika Reira menghidupkan cahaya lampu. Matanya sipit tak berkelopak dengan alis mata lentik yang menaunginya. Rambut Reira tetap sama, terikat oleh ikatan berwarna merah itu. Langkahnya mengarah ke tepi ranjang untuk menyentuh dahiku.
"Lo lagi sakit?" tanya Reira lalu menyingkirkan tangannya. "Gue denger dari Candra kalau lo enggak masuk tadi."
"Ya, begitulah. Udah makan obat tadi, kok."
"Lo sakit gara-gara handphone lo yang rusak, atau gara-gara nyebur konyol ke danau waktu hujan?" Reira tertawa kecil. Ia membuka jendela kamarku. Udara malam jelas sekali terasa dengan sedikit aroma asap bakaran tadi sore.
Aku membalas tawanya. "Hahaha ... bisa kedua-duanya."
Sebuah kotak ia keluarkan dari plastik yang ia tenteng sedari tadi. Gambar sebuah handphone yang sama denganku tertera di bagian depannya. Ia sedikit menggoncangnya saat menunjukannya padaku.
"Ini obat untuk alasan yang pertama." Reira membuka kotak itu. "Gue baru beliin handphone baru buat lo. Handphone yang sama dengan yang lama, kan?"
Seketika aku bangkit dari posisku yang tengah berbaring. Ia mengatakan hal itu seakan seperti membeli baju yang ada di tepi jalan. Handphone yang ia tunjukkan persis sama dengan yang kupunya. Harganya bukanlah murah, cukup untuk membuat pusing seorang mahasiswa ketika mengumpulkan uang.
"Lo kira ini barang murahan, apa? Gue bisa perbaiki, kok. Lo enggak perlu repot-repot begini," protesku. Sebenarnya aku tidak sampai hati menerima hadiahnya.
"Gue kan cuma mau mengganti handphone lo yang rusak. Enggak boleh, ya? Lagian itu gara-gara gue yang mengajak lo buat main ke danau."
"Lo dapet uang dari mana?" Aku menyambut handphone itu saat ia menyerahkannya.
"Uang bisa dicari, tapi kalau utang enggak boleh dibawa mati," balasnya. Ia menyingkirkan selimutku dan menarikku untuk berdiri.
"Oke, terima kasih karena lo udah berbaik hati. Tapi, besok-besok lo enggak boleh repot-repot begini," balasku.
"Bukannya gue itu kaptennya elo? Seluruh kebutuhan awak kapal, wajib dipenuhi oleh kapten. Dan lo enggak boleh ngatur-ngatur si kapten." Ia tertawa sinis. "Sekarang saatnya lo melihat kapal kita. Cepetan siap-siap."
Ia membawaku bersama angin malam yang menambah parah demamku kali ini. Dika bahkan tidak melarangku untuk pergi, padahal aku sedang sakit. Kami tiba di sebuah rumah putih tingkat dua dengan pagar tinggi hingga setengah dari tinggi pohon palem yang tumbuh di halaman. Halaman rumah itu penuh dengan tanaman bongsai nan rapi. Tampaknya petugas kebun sangat apik dalam menata taman. Halamannya luas, namun gelap. Hanya sedikit lampu yang menerangi. Suasana tampak lengang, kecuali di bagian gerbang yang terdapat pos security yang sedang ramai menonton TV.
Ia memberhentikan mobil tepat di samping rumah. Matanya melirik-lirik pos satpam yang ada di gerbang utama.
"Ini rumah siapa?" tanyaku.
"Rumah Bapak Arnold Bernardo. Besar rumahnya, kan?" Reira keluar dari mobil. Tangannya sangat perlahan ketika menutup pintu. Tentu saja agar tidak menimbulkan bunyi yang menarik perhatian.
Wanita itu membuka pintu besi yang ada di pagar rumah tersebut. Aku yang demam, semakin panas dingin dengan tingkah Reira yang tidak masuk akal ini. Reira dengan santai menyelinap ke halaman orang di malam hari.
"Itu yang politisi itu, kan?"
Nama itu serasa tidak asing lagi denganku. Sewaktu pemilihan anggota dewan sewaktu itu, baleho-baleho mengenai dirinya tersebar di mana-mana. Kini ia sudah duduk sebagai anggota DPR.
"Benar, dia anggota DPR." Ia berusaha melangkah sesenyap mungkin untuk tidak terlihat dari pos satpam. "Ikut gue, kita bakal masuk lewat pintu belakang."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
UCHI °OFFICIAL°
semangat bang
2020-12-03
0
ayyona
mo ngapain lage kamu capt rei? david nurut aja lagi 😅
2020-11-24
0
Erwien Diandaniy
pnuh kejutatan
2020-04-27
0