Jika aku menatap hujan yang turun, aku selalu teringat ketika kami sepayung berdua menantang hujan di perempatan jalan menuju halte bus. Momen itu selalu tercipta di akhir tahun 2012, lebih tepatnya ketika musim hujan mengguyur ibu kota. Fasha selalu naik bus untuk pulang, hanya sesekali dijemput oleh papanya yangs sibuk bekerja. Acap kali aku meminta untuk mengantarnya, namun ia lebih sering menolak dengan alasan bahwa rumahnya tidak searah denganku. Padahal, aku ingin sekali menghabiskan waktu bersamanya sehabis jam sekolah.
Ia tertawa melihatku menggerutu karena cipratan air dari kendaraan yang lewat. Separuh dari seragamku basah dan kecoklatan. Bau genangan jalan menyeruak dari tubuhku. Dingin mulai meresapi serat-serat seragam, membuat sekujur tubuhku menggigil. Ketika kami sampai di halte, ia selalu meminjamkanku jaket selutut yang tebal khas masyarakat eropa. Bahannya tebal dengan bulu lembut di bagian leher. Ia bilang kakaknya telah membeli itu di Jepang sewaktu pertukaran pelajar.
Jarak kami hanyalah sejengkal, hingga ia bergeser lebih dekat karena angin yang bertiup kencang. Ia tahu aku mengigil karena seragamku basah. Tangannya menjulurkan sweater tebal itu. Garis-garis bibirnya membentuk senyuman hangat. Matanya memicing, namun malah aku yang tertegun kaku. Aku terkesima betapa putihnya hati wanita satu ini. Aku menyambut sweater-nya dan melekatkannya ke tubuhku. Wangi sekali sweater-nya, kau harus mencobanya jika kau tak percaya.
Semenjak itu sepayung berdua menjadi hobiku yang baru. Itu telah kumasukkan ke dalam Fasha's best moment yang kucatat dalam catatan harianku. Satu momen indah memang sangat sulit untuk dilupakan. Namun kau harus tahu, kawanku. Aku hanya butuh satu momen untuk melupakan segalanya. Satu kejadian yang akan menjadi titik balik kebencianku terhadap hujan.
Hujan tak berhenti menguyur dengan rintikan gerimis lembut. Gemuruh petir semakin menjadi-jadi hingga menggetarkan akuarium ikan hiasku. Langit masih saja abu-abu pekat dengan gumpalan awan hitam yang besar. Berkali-kali aku melihat jam di dinding. Jadwal kuliah akan dimulai tiga puluh menit lagi. Tidak ada kata terlambat bagi dosen yang akan kuhadapi nanti. Semua sudah dipersiapkan untuk berangkat, hanya saja hujan masih menahan langkah. Skuter yang kuhidupkan sedari tadi, mungkin saja sudah menjadi dingin karena suhu udara yang rendah ini.
"Pake mantel aja, Dave," pinta Dika padaku. Ia tiba-tiba muncul di pintu kamar.
"Kayanya hujan udah mulai reda. Gue pergi dulu." Kugapai tangannya untuk disalami. Memang sikapku terhadapnya seakan sama besar, tapi aku tetap menganggapnya sebagai kakakku.
Hujan mengguyur sepanjang hari. Awan tetap dengan kesuramannya yang gelap. Kilat-kilatan cahaya yang berakar bagaikan menyambuk bumi yang serakah akan nikmat. Tanganku mengadah ke bulir kecil air yang turun. Tidak ada celah yang diberi untuk orang-orang yang lewat. Betapa dinginnya air dari langit ini, basah menyesap ke kulitku yang menggigil.
Kulangkahkan kakiku ke belakang fakultas untuk membakar sebatang tembakau. Rasanya nikmat jika melakukan itu ketika cuaca hujan begini. Rasa hangat yang kurasakan di tenggorokan, seakan menjalar ke seluruh tubuhku. Pengaruh nikotin memberikan rasa tenang, tak seperti hujan yang mengamuk di luar sana.
Suatu hal yang tak ingin aku lihat akhirnya terjadi. Sebisa mungkin aku berdoa untuk terhindar dari ini, namun Tuhan selalu mempertemukanku dengannya. Fasha sedang berdua dengan seseorang yang diisukan sedang dekat denganya. Acap kali aku melihatnya berdua dengan pria yang bernama Bagas itu. Ia adalah kakak tingkat kami. Pria yang terkenal dengan tampang keren dan mobil mengkilapnya yang ia bawa ke kampus.
Air mataku hanya keluar sampai di ujung mataku saja. Tak sampai mengalir hingga membasahi pipi. Terlalu malu rasanya untuk menangis karena cinta. Aku terlalu kuat untuk dikalahkan oleh itu. Pedihnya hidupku terlalu pekat daripada perihnya cinta. Masih bisa kupaksa untuk ditahan. Namun, hatiku tak bisa menyembunyikan rasa sakit. Terlalu perih yang kurasakan. Merenta-renta untuk ditangiskan.
"Udah gue bilang, kan? Terlalu berharap itu enggak baik, Dave," ucapnya. Kutatap matanya yang terlihat besar karena kacamata tebalnya. Kumis tipisnya bergerak-gerak tatkala bibirnya menyelipkan sebatang tembakau. Rambutnya keriting dan memanjang hingga melebihi telinga.
Ia adalah Candra. Salah satu dari sekian banyak orang yang kukenal, pada akhirnya mau menjadi teman dekatku.
"Mau bagaimana lagi, Can? Gue bukan orang yang mudah pindah ke lain hati. Lo kira cinta itu kaya motor yang bisa pindah gitu aja kalau digas?" balasku.
"Empat tahun lo suka sama dia dan bakalan jadi lima tahun kalau lo masih hidup tahun depan," balasnya. Tangan melempar pemantik api padaku.
Asap melayang-layang di sekitar kami. Gemerak tembakau yang terpanggang terlalu lemah untuk mengalahkan suara rintik gerimis di luar sana. Helaan napas kami saling beradu asap. Suasana tenang tercipta jika sudah berkumpul di tepi meja kantin, dengan beberapa tembakau yang ditraktirnya.
"Jika Tuhan mengizinkan, gue bakal minta buat dihilangin perasaan ini," kataku dengan lemah.
"Kenapa lo enggak tembak aja?" tanya Candra.
Aku tertawa. Ingin sekali aku mengatakan semuanya. Mengenai alasan tidurku tak indah setiap malam, terbayang wajahnya yang manis bermain bersama orang lain.
"Gue itu minyak, dia itu air. Enggak bakalan bisa menyatu. Gue hidup sebatang kara yang ga punya apa-apa, sedangkan dia dari keluarga terpandang." Aku tertawa kecil.
Hujan reda beberapa menit kemudian. Kuhidupkan mesin beku yang kedinginan akibat hujan. Di ujung pandangku, tampak seorang wanita dengan rambut bergelombang sebahu. Ia biarkan tergerai hingga helai demi helainya bergoyang disentuh angin gerimis. Matanya menatapku tegas dari pandangan mata bulat beralis tebal itu. Setiap kali ia mengerjap, bulu matanya terlihat lentik gemulai. Langkahanya pelan melangkah ke arahku. Aku tahu ia dari mana, tentu saja bersama pria bernama Bagas itu.
"Kamu enggak pernah bilang kalau kamu punya pacar ke aku," ucap Fasha dalam langkahnya.
Ingatan membawaku ke festival seni yang membuatku hampir terkenal di kampus ini. "Sejak kapan kamu peduli, Fasha?"
Ia bertegak pinggang. Tangannya menggapai kunci skuterku untuk dimatikan, lalu menyembunyikannya di balik kepalan tangan.
"Hei, kamu enggak ingat, kita temenan udah lama banget. Dari dulu kamu enggak pernah cerita siapa yang kamu suka," ucapnya dengan nada sedikit tinggi.
"Kamu juga begitu, kan? Kamu juga enggak pernah cerita sama aku. Tiba-tiba aja udah pacaran sama orang lain." Aku naiki skuter klasikku. Sebenarnya aku tidak mood untuk berbicara dengannya, semenjak mataku melihatnya berdua di belakang fakultas.
Hatiku patah dan ia tak mendengar gemeretaknya yang kueskpresikan dari raut wajahku. Aku tidak tahu apakah aku salah jika menahan rasa ini, membiarkannya larut tenggelam oleh waktu. Mengendap di pikiran bawah sadar hingga kupersepsikan bahwa cinta itu hanya membawa perih saja.
"Kamu kok gitu, sih?" Matanya menatap semakin serius.
"Kamu dekat sama Bagas?" balasku.
Ia terdiam sejenak. Raut wajahnya menafsirkan bahwa ia sedang mencari alasan.
"Oh, aku ngerti sekarang. Kamu cemburu?" katanya.
Kepalaku menggeleng. Kuhidupkan kembali mesin skuter sebelum hujan kembali mengguyur.
"Ia bukan cowok baik, Fasha," ucapku. "Dan aku enggak pernah punya pacar. Yang kemarin itu orang aneh yang ngaku-ngaku aja. Aku pergi dulu."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
ayyona
saling suka tp tak bersuara, ya begitulah jadinya
2020-11-23
0
Nabila Kim
semangat kak
2020-11-13
0
HotBaby
semangat author keceh😍
2020-10-20
1