Sembari menunggunya mandi, aku berbincang ria dengan Bu Fany mengenai Reira. Banyak informasi mengenai anaknya yang kudapatkan. Apa yang dikatakan oleh Bu Fany benar adaya. Aku merasakanya sendiri. Reira merupakan anak yang suka sok kenal kepada semua orang, namun karena itu ia memiliki banyak teman di mana-mana. Cita-citanya menjadi seorang pelaut dan berlayar ke Antartika untuk memberi makan penguin, berjumpa dengan naga laut di Laut Cina Selatan, lalu ia akan berlayar ke benua hitam untuk mencari kodok Afrika yang sebesar kucing.
"Sehabis itu, kata Rei dia bakal menaklukkan Segitiga Bermuda bersama semua awak kapal yang Rei kumpulin," kata Bu Fany sambil tertawa.
"Hahaha ... tidak saya sangka Reira bisa berangan seperti itu."
Aku cukup terhibur dengan cerita Bu Fany mengenai Reira. Ia sama dengan Reira, sama-sama mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Gaya bicaranya yang berapi-api sangat ia dapatkan dari ibunya tersebut. Namun, ibunya jauh lebih lembut daripada Reira.
Reira muncul dari tangga. Kostumnya kini berganti dengan kaos rumahan serta celana di atas lutut. Tubuhnya tidak lagi sekumal tadi, sudah putih bersihh seperti kulit aslinya. Isyarat tangan Reira memintaku untuk ikut dengannnya. Aku meminta izin kepada Bu Fany untuk ikut dengan Reira ke atas.
Ia menuntunku sebuah kamar berpintu hiasan kain flanel yang dibentuk karakter binatang lucu. Tertulis di depan pintu nama serta julukannya itu. Ketika aku memasukinya, banyak kupu-kupu di dalam bingkai yang telah di awetkan. Berbagai jenis dan ukuran sayap kupu-kupu telah ia jadikan pajangan di dinding. Reira sepertinya kolektor bangkai serangga.
"Tadi, gue baru aja berburu kupu-kupu. Asal lo tahu, gue dapet ini." Ia menunjukkan kupu-kupu yang sedang ia masukkan ke dalam kotak plastik yang berisi dedaunan dan dahan. Serangga itu belum mati, masih terbang meronta untuk keluar. Berkali-kali dirinya terhantam dinding plastik yang sudah memenjarakanya.
"Bakal lo bunuh buat dijadikan mummy seperti mereka?" ucapku sambil menunjuk pajangan kupu-kupu di dinding.
"Gue pelihara dulu. Kalau udah meninggal, baru diawetkan," balasnya dengan ringan.
Aku juga melihat poster-poster tokoh dunia yang tertempel di dinding. Soekarno, Nelson Andela, Hitler, Mahatma Gandhi, dan bapak tua bertopi pelaut dengan kacamata hitam bulat di matanya.
"Siapa kakek pake kacamata ini?" tanyaku.
"Kakek gue. Oh, baru gue inget. Ini handphone lo." Ia menjarah tasnya dan memberikan handphone itu padaku.
"Lo enggak periksa-periksa handphone gue, kan?" tanyaku. "Lo juga ngaku jadi pacar gue waktu orang yang bernama Fasha nelpon ke handphone gue."
"Yang benar saja? Hmmm ..... Sebagai jomblo, koleksi lo banyak juga. Bye the way, Fasha itu gebetan lo. Maaf, gue kemarin udah lancang banget sama dia." Ia tersenyum licik. Aku terdiam di tempat. Ingin rasanya aku alihkan pembicaraan segera. "Ayo, gue haus. Nyari minum ke kampus, yuk!"
Reira memaksa agar dibiarkan mengendarai Vespa 50 milikku menuju ke sebuah tempat di kampus, tidak terlalu jauh dari gedung fakultasku. Ia berhenti tepat di markas anak-anak Mapala yang isinya semua laki-laki berambut gondrong. Entah kenapa mereka identik dengan rambut gondrong. Mungkin saja simbol dari kebebasan bereksplorasi yang ada pada jiwa mereka. Tanpa disapa, mereka sudah melambaikan tangan dari kejauhan untuk menyambut kedatangan Reira.
"Captain!!! Kapan kita bisa mancing lagi?" ucap salah satu dari mereka.
"Kapan-kapanlah ... gue lagi enggak ada waktu. Oh iya, kenalin ini David. David, kenalkan ini Bang Ali."
Pria itu menjulurkan tangannya untuk kusambut bersalaman. Wajahnya penuh senyum di balik kesangaran yang terkesan apabila tampil tanpa ekspresi. Ia beda dari yang lain. Ia satu-satunya pria yang berambut plontos di rumah kecil yang ramai ini.
Ali menggenggam tanganku. "Salam kenal. Gue Ali. Ketua Mapala kampus."
"Salam kenal juga," balasku.
"Dia baru siap sidang. Makanya botak," ucap Reira sembari meninggalkan kami berdua dengan cepat. "Gue pinjam pohon lo, ya."
"Rei, lo ga dicari gara kasus itu, kan?" tanya Ali.
Tangan Reira melebar seakan ingin memeluk udara. "Jika gue lagi jadi buronan, mungkin gue enggak bakal di sini lagi dalam waktu yang lama. Gue mau kabur ke Antartika, ngasih makan pinguin."
Reira bertegak pinggang di hadapan pohon kayu putih yang besar. Tidak butuh lama untuk mencium aromanya, angin membawakan kepadaku harum khas daun-daun yang tumbuh di setiap cabangnya. Di atas sana terdapat sebuah tempat yang dibuat seperti balkon berbahan kayu. Kayu disusun sedemikian rupa hingga dijadikan tempat bersantai untuk beberapa orang. Reira memutuskan untuk menaiki tangga vertikal.
Tangan Reira bergerak untuk mengatur rambutnya. Ia membusung hingga memeperlihatkan lekuk tubuh yang sangat sulit aku hindari. Gerakan jari saat memutar rambutnya terlihat menarik. Sama seperti yang pertama kali aku lihat. Aku menikmati momen ini. Ternyata semua wanita tampak menarik ketika mengikat rambutnya.
"Lihat apa?" tanya Reira padaku yang sedang memerhatikanya.
"Lo jadi manjat atau enggak?" Aku berpura-pura memasang wajah serius padanya.
Aku membuka kopi kalengan yang dibelikan oleh Reira di minimarket tadi. Sebenarnya Sementara aku tidak suka menyicip kopi dingin, namun apa salahnya jika untuk sekadar pelepas candu. Sementara itu, Reira sibuk membuka tutup botol minuman yang tidak kuncung terputar. Tangan kecilnya tak cukup kuat memutar tutup botol itu. Lagi-lagi aku tidak bisa melihat seorang wanita kesusahan. Tanganku mengambil alih botol yangs sedang ia pegang.
"Makasih," ucapnya saat menerima botol minumannya.
"Lo kena kasus apa?" tanyaku.
Reira tampak tersenyum saat kutanyakan itu.
"Lo tahu waktu mahasiswa demo ke gedung rektorat gara ada pejabat yang korup?" Ia meminum minumannya sesaat. "Gue mencoret mobil pejabat yang diduga mobilnya itu uang hasil korupsi."
Masih segar ingatanku ketika lautan mahasiswa memenuhi gedung rektorat untuk meminta seorang rektor serta bawahannya untuk turun dari jabatannya. Hal itu dipicu oleh datangnya orang dari KPK karena dugaan penyalahgunaan uang SPP, sehingga tidak dipergunakan untuk yang semestinya. Gedung rektorat bergemuruh oleh mahasiswa yang menembus pintu. Barisan polisi tidak sanggup untuk menaha banyaknya mahasiswa yang menuntut keadilan.
"Jadi elo yang nyoret itu? Gue enggak nyangka." Kepalaku menggeleng.
"Hahaha ... gue suka di dalam masalah. Berkat masalah, gue jadi kenal banyak orang. Gue kenal Bang Ali gara nantangin dia lomba manjat tebing. Gue kenal sama lo gara ngaku jadi pacarnya elo dan dari itu juga gue kenal sama Fasha, gebetan lo itu."
"Dasar, cewek barbar."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
ayyona
lg mikir reira kyak siapa ya?
2020-11-23
0
Lei Elf
sugoi
2020-09-12
2
❣Lily laly^😎Rh's
ceritamu menarik thor....serasa menemukan hal yg benar2 berbeda dlm dunia baca novel👍
2020-07-08
1