Reira masuk ke dalam sebuah kedai kopi yang berisikan para nelayan yang sedang menikmati waktu jeda mereka. Beragam, di antara mereka ada yang berbincang, bermain catur, menonton TV, namun aku melihat yang tidak biasa. Pria tua berjenggot putih itu berdiri di hadapan jendela lebar yang langsung mengarah ke lautan. Pandangan pak tua itu kosong di balik matanya yang tidak berdaya. Rambutnya panjang hingga ke bahu, sedangkah janggutnya kira-kira sepanjang telunjuknya. Bibirnya mancung ke depan untuk meniup sebuah harmonika kayu dengan motif batik di atasnya. Melodi yang dihasilkan terdengar harmoni dengan angin laut yang menyusup.
"Kakek Syarif," panggilnya.
Bapak tua itu menyipit, lalu memasang kacamatanya. Senyumnya melebar sambil memeluk Reira dengan erat. "Reira ... Kakek rindu banget sama kamu. Mau apa datang ke sini?"
Telunjuk Reira mengarah ke lautan. "Mau ngambil kapal, kami mau memancing."
"Kapalnya lagi nyandar di bawah." Ia memandang padaku. "Ini siapa?"
Reira melingkarkan tangannya ke pundakku hingga kami saling berdempetan. "Dia awak kapal baru Reira."
"Mana anak-anak kemarin?" tanya Kakek Syarif. Ia mengambil sebatang tembakau kretek dan menyulutnya.
"Lagi di kapal satu lagi," balas Reira.
"Oh, begitu. Hati-hati di laut. Lagi sering badai." Ia kembali memainkan harmonikanya.
Suara burung camar menyeringai mencari ikan di tengah lautan. Deru ombak terdengar menghantam kapal dari arah utara. Kini kami berada di sebuah kapal nelayan yang cukup besar, dengan ruangan dua tingkat. Ruang kemudi berada di tingkat kedua. Hijau mendominasi warnanya, dengan sedikit lumut di bagian tepi. Bendera merah putih berkibar di atas ruang kemudi. Bagian badan kapal tertulis sepenggal tulisan 'Leon' dengan cat berwarna hitam. Lantai Kayu bergemuruh akibat Reira yang berlari menuju kemudi. Gadis itu berteriak sembari menghidukan klakson kapal yang seperti suara klakson kendaraan besar. Tidak lagi kudengar suara burung camar yang saling bersahutan, sudah tersamarkan oleh gemercik air yang dihasilkan oleh kapal yang bergerak.
Aku tidak percaya Reira bisa mengemudikan kapal seperti ini. Ini bukanlah kapal kecil yang biasa kulihat di sungai-sungai, tetapi ini kapal lintas lautan jika dilihat dari ukurannya. Dia wanita gila yang tidak sengaja aku temukan di malam pentas seni sambil mengaku bahwa ia merupakan kekasihku. Aku melihatnya sendiri, aku percaya bahwa ia mempunyai kapal. Reira tidak berbohong seperti yang aku duga sebelumnya.
"Lo tau arti Leon?" tanya Reira dari ruang kemudi. Ia berteriak karena suaranya tersamar oleh angin laut. "Itu berarti kuat dalam bahasa Perancis. Teman-teman Kakek menjuluki kapal dengan sebutan itu karena pernah lolos dari kejaran perompak Selat Malaka."
"Gue enggak peduli!" balasku sambil berteriak.
Posisinya di ruang kemudi kini telah digantikan oleh Razel, anak Kakek Syarif. Ia sedari tadi berada bersama Reira di ruang kemudi. Mungkin saja, pria itu tidak mau membiarkan Reira mengemudikan kapal sendirian. Reira bukanlah orang yang dibesarkan di tepi laut, sehingga masih banyak hal yang tidak diketahuinya.
"Kini kita akan memancing ikan besar." Reira datang dengan dua buah pancing panjang dengan umpan ikan tiruan. "Ikan di sini enggak akan lapar dengan cacing yang lo pakai di kolam pancing."
"Gue enggak pandai memancing."
Reira tertawa. "Lihat dan pelajari, wahai anak baru."
Tangan Reira mengayunkan pancingnya hingga umpannya terjulur hingga tiga meter ke depan. Ia berteriak saat air beriak tatkala umpan menyentuh air. Gerak kapal yang lambat akan menciptakan umpan yang seakan hidup. Itu akan menggugah sifat predator alami untuk mendekati umpan kami. Aku meniru cara Reira melempar umpan dengan mengangkat satu kakinya.
Reira memutar katrol pancingnya. "Lo enggak pernah bilang kalau lo cuma punya Dika."
Aku terdiam sejenak. Aku tahu maksudnya untuk menyambung pernyataanku yang tidak sengaja terucap di dalam mobil.
"Ayahku udah meninggal waktu gue SMP. Dua tahun yang lalu, saudara gue yang paling tua udah direnggut sama penyakit AIDS-nya. Di tahun yang sama, Ibu juga meninggal," balasku.
"Gue bukan berusaha buat membuka luka lama lo. Tapi, gue harus tahu keadaan teman-teman gue. Gue ada tempat lo cerita." Reira meninju bahuku.
"Iya, thanks, Rei," ucapku untuk berterima kasih. "Jadi, ini kapal yang lo bilang itu?"
Reira tidak menjawab. Bibirnya **** senyum hingga ke sudut terjauh. Wajahanya tampak memerah, walaupun hari tidak begitu panas. Matanya tetap terbuka, tidak terbawa memicing dibawa senyum yang tercipta. Jatuh bayang-bayangku terbenam dalam bola matanya yang bening itu.
Aku keheranan. "Ada apa?"
"Ini kali pertamanya lo nyebut nama gue, walau hanya sepenggal." Reira kembali menarik katrol pancingnya.
Aku tertawa. Seingat-ingatku memang benar, aku tidak pernah menyebutkan namanya, kecuali kali ini. Sebagai teman, oh ... aku baru saja menganggapnya teman.
"Reira, lo belum menjawab pertanyaan gue." Ucapanku ini membuatnya berhenti memandangku.
"Ini bukan kapal gue. Ini kapalnya Kakek gue. Lo pernah ngelihat cowok pake kacamata hitam bulat di kamar gue, kan? Itu kakek gue waktu muda. Dia pelaut handal, mengantar barel minyak ke berbagai pelosok dunia. Kalau Kakek Syarif itu, dia teman semasa kecil kakek gue. Mereka keturunan suku laut di Kepulauan Riau yang dahulu kala merupakan kelompok perompak. Jadi, gue ini keturunan bajak laut. Lo jangan macam-macam sama gue. Gue punya belasan awak kapal yang siap nyeburin lo ke laut yang isinya ikan hiu."
"Iya, terserah lo. Dasar bawel!" ucapku sembari mengacak rambutnya.
Kapal kami tidak terlalu jauh dari dermaga nelayan. Kira-kira hanya sejauh satu kilometer. Perkampungan nelayan masih jelas terlihat dengan segala kesederhanaannya. Keadaan laut cenderung tenang. Reira bilang, selagi ada burung camar yang bermain di langit, maka jangan takut untuk melaut. Burung camar tidak akan pergi, kecuali badai akan datang.
Reira menghentakkan kakinya dengan keras. Pancingnya ia angkat dan tangannya memutar katrol pancing dengan kencang. Sesekali ia menarik pancing untuk menunggu momen yang tepat untuk menarik katrol kembali. Ia menggeleng-geleng kepala sambil berteriak.
"Ikannya gede, gue yakin," teriak Reira dengan keras. "Ambilkan tombak itu."
Tanganku memberikan tombak yang ia minta.
Air beriak dengan kuat. Suara cipratan air semakin kuat tatkala sirip atas ikan yang berwarna merah menampakkan diri. Aku terkejut, ikan memberontak dengan sangat garang. Reira tidak ingin kalah, ia mencoba mempermainkan ikan agar ikan merasa lelah. Ia tarik berkali-kali pancingnya dan memutar katrol dengan kencang. Aku tidak mengerti keseruan dari bergelut dengan ikan. Tapi jujur, Reira merasakan itu. Wajahnya menyimpulkan semuanya.
Aku melihat ke kananku, Reira sudah tidak ada lagi di tempat. Ia sudah terjun ke permukaan laut dua detik yang lalu. Air laut nan asin menjulang ke udara saat tubuh Reira menghantam laut.
"Reira!!!" panggilku saat tubuhnya tidak lagi tampak olehku.
Ia jatuh karena kalah melawan ikan besar itu. Namun, aku tidak terlalu yakin. Ia selalu punya cara untuk mengejutkanku. Bisa jadi ia akan muncul lagi dan berkata bahwa ia sudah bertemu dengan dewa laut, Poseidon.
Lima belas detik kemudian, aku tetap tidak melihat Reira muncul ke permukaan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
ayyona
wah udah berani ngacak rambut nih 😅
jgn jgn reira lg sama spongebob di bawah sana
2020-11-23
0
Yomita Hervina
salam kenal thor..karyanya mntap n gaya bahasanya keren, kaget plus seneng jg nama daerahku (kepri) disebut.sukses selalu thor
2020-11-01
0
HotBaby
aduhh makin sukaa
2020-10-20
1