Jika kau menyebut rasa sepi merupakan suatu hal yang harus kaubunuh, lalu membuangnya di riang tawa yang paling dalam, berarti itu tidaklah berarti bagiku. Aku memeluk rasa sepi seakan rasa itu diciptakan tuhan hanya untukku sendiri. Sepatuh hatiku mati oleh sunyi yang bersiul dengan irama yang lambat. Ia tak ingin pergi, terus mencium jejak-jejak hidupku. Di mana pun aku berada, dengan siapa pun aku berusa, rasa hampa tidak akan pernah meninggalkanku.
Seseorang yang mengajarkanku tersenyum untuk pertama kalinya sudah tiada. Orang-orang yang menggerakkan hatiku untuk membentuk sebuah garis tawa, kini mereka hilang sirna. Tuhan merenggut semuanya dariku. Tiada lagi tempatku bergantung, tiada lagi tempatku berbakti, kecuali kepada satu-satunya orang yang Tuhan sisakan untukku. Namun, waktu yang Dika punya tidak sepenuhnya ada untukku. Ia punya kehidupannya sendiri.
Candra biasanya mengunjungi rumahku di hari Jumat dan Sabtu. Di hari lainnya, ia terlalu sibuk dengan kuliah dan bekerja sebagai penjaga pet shop milik keluarganya. Ada belasan kucing dan beberapa anjing yang akan ia urus di penitipan. Beruntung aku punya sahabat seperti Candra. Walaupun tidak sering, setidaknya ia masih ingat jika aku perlu hiburan di tengah keadaan rumah yang teramat sunyi.
Ia membaca lembaran-lembaran puisi yang kuciptakan di kala suntuk melanda. Kebanyakan dari puisi itu telah terbit di berbagai media masa dan majalah kampus. Menulis pada awalnya hanyalah pelengkapku di saat menekuni hobi minum kopi penghujung senja. Lama kelaman kebiasaan itu menghasilkan karya-karya yang akhirnya dibaca orang-orang. Menurut Reira, dari sanalah ia mengetahui seluk-beluk rahasiaku. Tulisan kadang terdapat beberapa rahasia yang sebenarnya selalu ditutupi oleh seorang penulis, namun tanpa sengaja tertuang begitu saja melalui imajinasinya.
"Gue ketemu sama cewek yang aneh banget." Aku menyalakan api untuk menyulut tembakau yang terselip di bibir Candra. Ia bersandar di pembatas balkon sembari menyemburkan kepulan asap.
"Akhirnya, lo bisa move on," balas Candra singkat.
"Eh, kalau ngomong dijaga ... dia itu ngeselin banget. Bikin bete', sumpah! Dia ngaku-ngaku jadi pacar gue ke Fasha." Aku memukul besi balkon.
"Beneran? Tumben orang kaya lo ada fans-nya." Candra tertawa.
"Gue enggak tahu maksud dia. Dia bilang Fasha cemburu gara-gara dia bilang begitu," kataku.
"Fasha kemarin juga nanyain tentang hal itu ke gue." Jemari Candra mengambil sebatang tembakau dan memberikannya padaku. "Tentang hal itu juga."
Asap kembali bermain di udara, meliak-liuk terbang terbawa udara. Lingkaran-lingkaran yag kuciptakan belum begitu sempurna, Candra lebih handal menciptakan lingakaran-lingkaran asap yang keluar dari mulutnya.
"Gue udah jelasin ke dia kalau gue enggak punya pacar. Padahal, peduli apa dia sama gue. Mau punya pacar atau enggak, dia tetap aja deket sama orang lain," jelasku.
"Bagaimana kalau yang dibilang cewek itu benar?" tanya Candra.
Alisku terangkat sebelah. Senyumku melebar sesaat hingga berakhir dengan tawa karena ketidakpercayaanku dengan kalimat Candra. "Gue udah kenal Fasha bertahun-tahun. Udah berapa kali dia bikin gue patah hati karena dia dekat sama orang lain."
"Dan selama itu, Fasha enggak pernah pacaran dengan orang lain, kan? Ada kemungkinan dia punya perasaan sama lo. Tapi, lo itu anak cupu yang enggak berani ungkapin perasaan."
"Dasar─" Kalimatku terhenti.
Keributan terdengar dari bengkel Dika. Aku dan Candra saling bertatapan untuk menebak apa yang sedang terjadi. Keributan semakin menjadi-jadi saat terdengarnya suara hantaman besi. Kami langsung mematikan tembakau yang menyala dan segera berlari ke bengkel Dika.
Tampak orang-orang sedang berkerumun di Bengkel Dika. Aku berusaha memasukinya untuk melihat apa yang sedang terjadi. Seseorang berpakaian preman dan bertubuh besar sedang memaki-maki Dika. Ia tak sendiri, ada dua orang lainnya yang sedang berusaha memaki Dika. Dika dan pegawainya hanya bisa terdiam dan tak melawan. Ia hanya mendengarkan makian itu seakan kesalahan adalah mutlak dari bengkel Dika.
"Lo ngeganti onderdil motor gua sama yang palsu, kan?" tanya pria besar itu.
"Sumpah, Bang. Saya enggak ada ngeganti onderdilnya. Kami cuma memperbaiki sesuai kerusakan motor." Dika menunduk tak menatap orang di hadapannya.
Ke mana Dika yang selama ini? Aku seakan tidak melihat Dika yang terkenal sebagai orang yang keras dan pelawan. Di antara kami bertiga, Dika yang selalu diajak berkelahi sewaktu masa-masa sekolahnya. Berkali-kali Ayah naik pitam di kala wajah Dika penuh dengan luka lebam akibat berkelahi. Dika tidak menunjukkan kepribadian orang yang dibesarkan di lingkungan yang keras. Ia diam, seperti tidak punya kekuatan untuk melawan.
"Bohong lo, bangsat!!!" Pria itu langsung menghantam tinjunya kepada Dika.
Dika tersungkur ke lantai. Kedua tangannya memegangi pipinya yang terkena serangan dari pria itu. Beberapa pegawainya membantunya untuk berdiri. Ketika pegawainya hendak melawan, Dika melarang.
Aku tidak bisa menerima Dika diperlakukan seperti itu. Kuhantam tubuh kekarnya dengan sekuat tenaga. Namun, tenagaku terlalu lemah untuk menggoyangkan tubuh besarnya. Dengan mudah pria itu menahan tubuhku yang tidak seberapa itu. Kurasakan tangannya mencengkam kuat lenganku. Suatu hal yang masih kuingat dari Rio, ia selalu melarangku untuk berkelahi. Ia menyadari bahwa aku tidak pernah menang dalam beradu fisik.
"Lo apain Dika?" Wajahnya kuhantam dengan tinjuanku yang tak seberapa.
Tampak dua orang temannya berusaha melepaskan cengkramanku di kerah bajunya. Hatiku masih panas dengan makian yang ia keluarkan. Aku tidak peduli walaupun seranganku tidak berarti apa-apa baginya, yang terpenting ialah aku dapat melampiaskan kesal yang bersarang di hatiku. Kalimat seperti itu tidak pantas untuk diucapkan kepada anggota keluargaku.
Candra dan Dika menahanku yang sedang mengamuk. Kakiku menghentak-hentak ketika tubuhku ditahan oleh Dika, namun aku masih bisa lepas. Mereka tidak cukup kuat untuk menahan orang yang sedang pengaruhi amarah yang teramat sangat. Aku kembali menyerang pria kekar itu sembari menitikkan air mata emosi. Seranganku berhasil mengenai titik vital darinya. Namun, satu seranganku dapat ia tangis. Serangan balasan telak bersarang tepat di bawah mataku.
Aku terjatuh dengan kepala yang menghantam lantai terlebih dahulu. Hidungku mulai terasa basah. Tercium bau darah segar yang mengalir. Kepalaku terasa begitu sakit karena menghantam lantai bengkel. Pandanganku kabur saat berusaha menatap pria yang sedang menendangku berkali-kali. Aku tidak berdaya. Pikiranku hanya bisa menyadari bahwa serangan itu tidak lagi terasa karena seseorang sedang berusaha memisahkaku dengannya.
Itu merupakan suara perempuan yang sedang berteriak. wangi tubuhnya seakan tidak asing bagiku, namun pikiranku sangat sulit untuk menebaknya. Tangan lembutnya menepuk-nepuk pipiku berkali-kali sembari menyebutkan sepengal namaku. Pandanganku tidak begitu jelas saat wajah kami seling berhadap-hadapan, namun aku tahu jika matanya sedang menatap khawatir padaku. Aku tidak bisa menjawab, hingga akhirnya aku sadar seseorang yang sedang menyebutkan namaku. Aku hanya menebak dan terlalu yakin.
"Fasha?" Wajah itu terngiang dalam gelap sunyi yang kurasakan.
Semuanya sekarang gelap. Waktu terasa terhenti, namun denting jam terdengar nyaring olehku. Ruang terasa sempit dan lapang di waktu bersamaan. Sangat sulit untuk membedakan mana khayalan dan realita. Aku terasa menyawang di udara, namun di saat bersamaan aku terasa tercekik seakan tenggelam di genangan air.
Satu hal yang aku ingat dari Rio, lo jangan pernah kelahi, soalnya lo itu kuat. Orang kuat enggak pernah berkelahi.
Aku tahu maksud perkataannya itu untuk menghiburku karena menangis dihantam temanku di SD. Lagi-lagi Ayah marah besar ketika aku pulang dengan mata lebam sewaktu itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
ayyona
serius itu fasha? jgn jgn....
2020-11-23
0
Nukifaljen
kok aku krg nyambung yah🙏🙏
2020-09-22
1
❣Lily laly^😎Rh's
wes,,,aku baper sebaper2nya thor. ....
2020-07-08
1