Setengah hatiku mengarah kepada tidak percaya. Tidak kusangka wanita yang acap berpakaian sederhana itu merupakan anak dari kalangan elit. Rasaku, tidak satu pun orang yang tidak mengetahui nama itu, khususnya di kota ini. Padahal setiap hari ia berkumal ria sembari mengejar kupu-kupu untuk dijadikan koleksi, lalu memajangnya di dalam kamar yang berbau serangga jangkrik. Kadang, ia bercerita mengenai keinginannya untuk mengarungi lautan imajinasinya sebagai seorang kapten lanun.
"Masa─" Kalimatku dipotong Reira.
"Nanti gue ceritakan. Sekarang, lakukan tugas lo. Buka lemari itu. Tangan gue terlalu suci untuk melakukan hal-hal kotor," perintahnya.
Perintahnya aku turuti tanpa mengeluh. Apa susahnya membuka sebuah lemari yang tidak dikunci. Tidak ada kutemukan barang-barang berarti, kecuali baju-baju yang berbaukan kapur barus.
Reira mendekat, lalu menggeserku dari hadapan lemari. Ia hanya menugaskanku untuk melakukan hal bodoh ini, kemudian ia mengambil alih. Kulihat tangannya menggapai-gapai bagian dalam lemari. Tidak lama kemudian, ia sudah mendapatkan apa yang dicarinya. Itu adalah sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu.
"Dia adalah papa terburuk yang pernah ada. Rekening gue dia blokir, jajan gue enggak pernah dia transfer, tiba-tiba dia bicara tentang pernikahan ..." Mulutnya menggerutu tanpa henti. "Nah, ini kartu ATM-nya"
"Lo ada masalah apa sama papa lo?" tanyaku. Kududuki ranjang yang tadi sudah diacak-acak oleh reira. Ternyata ranjang orang kaya terasa begitu empuk.
"Gue diusir dari rumah ini gara-gara membocorkan ban mobil dinas Papa. Itu karena Papa bicara mengenai rencananya untuk menikah kembali. Alhasil, dia terlambat satu jam dari rapat penting. Imbasnya, gue diusir semenjak seminggu yang lalu." Reira berkata tanpa melihatku. Tangannya sibuk membongkar isi kotak kayu itu.
"Jangan begitu sama orangtua sendiri. Lo harusnya bersyukur karena masih ada orangtua," balasku.
"Gue lebih memilih dia mati, daripada menikah lagi─"
Aku menampar pipi Reira dengan lembut. Ia terdiam sesaat sembari menyentuh pipinya.
"Lo belum tahu betapa merananya hidup sendirian tanpa orangtua. Lo kira enak pontang-pating berhutang sana-sini cuma buat bertahan hidup?" tanyaku dengan keras.
Ia memalingkan muka seperti tidak peduli dengan kalimatku tadi. "Lo enggak tahu rasanya punya ibu tiri yang umurnya cuma lima tahun lebih tua dari gue. Bahkan, kakak gue lebih tua darinya. Kerjaannya cuma menghabiskan uang Papa. Sekarang, dia malah mau minta nikah lagi. Padahal baru aja cerai tahun lalu."
"Lo harus hormati papa lo," balasku.
Kedua tangannya mengguncang kotak kayu itu. Tanpa dendam sedikit pun, ia membalas tamparanku tadi dengan sebuah senyum. "Ini semua rekening milik mama gue yang lo lihat di rumah kemarin. Seharusnya, ini ada di tangan gue. Tapi, Papa menahannya gara-gara gue terlalu boros."
"Rei, seharusnya lo bergaya sedikit saja dengan uang yang lo punya. Enggak pakai kaos lusuh yang kaya gini." Jemariku menyentuh ujung kaos yang sedang ia pakai.
"Gue lebih memilih tampil sederhana, daripada kaya anak-anak kampus yang cuma bisa menghadalkan uang bapaknya," balasnya dengan singkat.
Ia melangkah keluar kamar setelah mematikan lampu.
Tubuhku terbaring di sofa ruang keluarga. Ukurannya yang cukup besar, membuat tubuhku jatuh dengan nyaman. Pandanganku jatuh ke langit-langit dengan sebuah lampu hiasan yang terjulur. Bayang-bayangku jatuh ke lantai marmer abu-abu yang terlihat elegan. Lantainya dingin, walaupun pendingin rumah tidak hidup. Baru kali ini aku melihat ruang keluarga yang dilengkapi oleh pendingin udara. Rumah ini wangi sekali oleh aroma khas perabotan jati yang tercium olehku semenjak memasuki rumah. Sunguh nyaman bagai kehangatan sebuah keluarga.
Andai saja kita bisa bersama-sama di ruangan seperti ini.
Suara gelas berbunyi saat Reira meletakkan sebuah minuman berwarna coklat di atas meja kaca. Ia menyentuh dahiku seperti saat ia menyentuhnya di kamar.
"Maaf ... gue ngajak lo keluar malam-malam begini. Padahal lo lagi sakit." Ia duduk di ujung sofa tempat aku berbaring. "Di minum air jahenya. Gue yang buatin."
Kubiarkan diriku tetap terbaring. "Iya, enggak apa-apa. Gue mungkin butuh hiburan juga. Di rumah suntuk banget. Lo tahu bagaimana Dika. Kaku banget."
"Pasti lo bertanya-tanya tentang keadaan keluarga gue," ucapnya. Ia menyandar ke sofa.
"Hmm ... ya begitulah." Aku mengangguk.
Reira tertawa kecil. "Dia itu papa gue. Udah lama banget mereka bercerai. Kira-kira semenjak gue masih SMP. Semenjak itu, gue dan Kakak diasuh oleh Papa. Sementara itu, Ibu tinggal di rumah itu, sambil membuka usaha café. Makanya Candra pernah lihat gue kerja di café. Itu punya Mama."
"Maaf, gue enggak tahu sebelumnya. Kayanya hidup lo udah keras dari kecil."
"Enggak, gue lemah dari yang lo kira. Lo yang lebih kuat, cuma lo sendiri yang enggak mengakui," pujinya.
Aku bangkit dari posisi terbaring. Tatapan kami saling mengarah. Ia tersenyum setelah memberikan pujian itu.
"Kita punya masa lalu yang berbeda. Gue enggak punya siapa-siapa lagi. Orangtua gue udah enggak ada. Setidaknya kita bisa belajar kalau itu bisa membuat kita semakin kuat," balasku.
"Hahaha ... benar juga." Ia meminum air jahe di gelasnya. "Tadi pagi gue minta uang ke Ayah buat beli handphone lo. Dia itu ayah yang bodoh. Dia orang yang sibuk dan berpikir kalau bahagia itu hanyalah uang. Semua yang gue mau, dia pasti mengabulkannya."
"Anak Sultan mah bebas." Aku memukul lembut lengannya. "Jadi, mana janji lo kalau bakal nunjukin kapal kita?"
Ia menggeleng. Tangannya menepuk pundakku. "Wahai anak baru, jangan pernah bilang itu kapal kita. Itu kapal gue. Anak buah enggak pernah punya hak atas kepemilikan kapal."
"Terserah lo, deh," pungkasku.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
ein
😁😁😁😁
2022-06-04
0
ayyona
capt rei yg broken home
2020-11-24
0
Erwien Diandaniy
sultan mah bebas haha
2020-04-27
0