Hujan kembali mengguyur ketika aku masih dijalanan kampus. Air yang turun semakin lebat dan lebat saja. Kilatan di langit yang menggelegar seakan ingin menyatapku. Mentalku goyah, kuhentikan motorku di sebuah pohon yang rimbun. Pohon pun tidak menjadi tepat yang nyaman. Ia bergoyang hebat dihantam angin yang mengamuk. Dibalik bulir hujan yang mengembun, kutemukan seseorang berlari menghantam hujan.
Ia menggigil, namun senyumnya tak sedingin tubuhnya. Senyum itu kulihat memancar ke arah hujan yang menghajarnya tadi. Tidak biasanya orang tersenyum kepada hujan sebegitu lebarnya. Tegap tubuhnya bergetar dengan tangan yang menempel di mulut untuk mencari kehangatan pada telapak. Ia benamkan kepalanya di antara kedua lutut yang ia dempetkan. Suara helaan napasnya terdengar jelas saat menghempus tangannya yang mengepal.
Ia menoleh padaku. Ternyata ia masih sadar akan kehadiranku. Ia mengikuti raut wajahku yang datar, tak ada lagi senyum yang ia tunjukkan. Matanya melebar seakan menatap sesuatu yang menakutkan. Entah apa yang ia pikirkan ketika menatapku sejenak.
Tangannya menambil sesuatu di tasnya untuk mengikat rambutnya. Gerakan itu menarik menarik simpul ingatan yang pernah tersimpan. Pada malam itu, aku menghapal gaya mengikat rambutnya. Aku ingat dia. Aku ingat raut wajah ketika mengikat rambut itu. Gerakannya sama seperti di malam yang memalukan itu. Wangi tubuhnya yang kusimpan, menggali ingatan mengenai dia.
"Lo?" tunjukku padanya.
"Siapa nama lo kemarin? David?" tanya gadis itu.
Ini semakin tidak beres. Ia mengetahui namaku, padahal dari kemarin aku tidak pernah menyebutkan namaku sama sekali.
"Lo gila, ya? Ngaku-ngaku jadi pacar orang." Telunjukku mengarah padanya dengan tegas. Namun, itu tidak berpengaruh padanya. Ia malah tersenyum ringan sambil menurunkan tanganku.
"Lo juga gila, mau disuruh sama orang gila. Malah maju, enggak bisa nolak sedikit pun." Ia tertawa ringan pada wajahnya yang basah.
Aku kembali menunjuknya. "Ini semua gara-gara lo. Gue merasa dipermalukan. Gebetan gue ada di sana."
"Gebetan yang enggak pernah tahu sama perasaan lo?" Ia tertawa seakan ingin mengalahkan gemuruh hujan yang hanya berjarak dua meter dari kami.
Dari mana ia tahu tentang hal itu? Aku sama sekali tidak mengenalnya dan berharap untuk tidak pernah bertemu dengannya. Keheningan tercipta ketika ia kembali membenamkan kepalanya di kedua lututnya sembari menadahkan tangan kepada air yang jatuh dari dedaunan. Ia menggigil karena dingin yang menusuk. Kami tidak berbicara, yang kudengar hanyalah suara hujan yang begitu lebat. Kuharap ia tidak berbicara padaku. Biarlah ia sibuk dengan titik hujan yang ia mainkan dari tetesan daun.
"Kenapa lo enggak suka hujan?" tanya wanita itu.
"Peduli apa gue?" jawabku singkat. Aku terdiam sebentar. Sebenarnya siapa wanita ini, hingga ia mengetahui suatu hal yang tidak aku sukai. "Tunggu, lo tahu nama gue, lo tahu gue punya gebetan seperti yang lo bilang, bahkan lo tahu mengenai gue yang benci pada hujan. Dari mana lo tahu?"
"Gue baca karya-karya lo di majalah kampus. Gue selalu menunggu cowok yang menempelkan tulisan-tulisannya di mading fakultas gue, padahal itu bukan fakultas dia. Gue denger puisi-puisi yang lo baca di event kampus. Gue termasuk penikmat sastra. Bahkan, gue tau malam mingguan lo ke mana. ke café sendirian ditambah secangkir kecil espresso."
"Stalker!" protesku. Ia terlihat tenang tanpa menoleh. "Enggak ada gunanya ngomong sama lo." Aku memasang helmku untuk bergegas pergi.
"Jujur, gue tertarik sama orang yang patah hati. Gue belum pernah patah hati sebelumnya." Kalimatnya menahan langkahku.
"Bodo!!!" Kunaiki skuterku dan kubiarkan ia bertahan dengan segala celotehannya.
Langit sudah sedikit jinak dari sebelumnya. Awan cerah tampak berkumpul di langit utara. Namun, gerimis manja ini tetap saja akan membasahiku apabila aku tembus hingga ke rumah. Tidak apa, yang penting aku bisa menghindar dari cewek tidak jelas itu.
Skuterku sudah berjalan menjauhi pohon tempat kami berteduh. Spionku menunjuk dengan jelas seberapa dahsyatnya angin yang menghantam pohon rimbun itu. Bergoncang hebat seakan ingin mencabutnya hingga ke akar. Kilatan petir silih berganti menerangkan hari untuk sesaat. Mataku tertuju ke wanita berambut terikat yang tengah duduk berpangku kepala dengan kedua lututnya. Tangannya melignkar untuk menghagatkan tubuhnya.
Aku terhentikan oleh pemadangan yang kulihat.
Kenapa aku selalu luluh oleh momen-momen seperti ini? Kenapa aku tidak bisa bertahan sedikit pun ketika melihat lemahnya seorang wanita? Ibu, aku teringat Ibu. Ia yang membuatku menjadi lemah terhadap wanita. Kerja kerasnya menghidupi ketiga anaknya, pada akhirnya meneteskan air mata pilu di hatiku. Aku putarkan arah skuterku menuju gadis berikat rambut merah itu. Malu rasanya, namun aku tidak bisa membiarkannya menggigil sendirian di bawah pohon itu.
"Naik," ucapku saat berhenti di hadapannya. "Gue enggak sanggup melihat lo hujan-hujan begini. Tapi, ini bukan berarti apa-apa," ucapku dengan nada rendak.
"Orang yang patah hati ternyata masih punya hati yang masih berfungsi, ya?" Gelak tawanya ringan, tapi terasa menusukku. Aku heran, setiap kalimatnya selalu tepat menusukku.
"Naik, atau tidak sama sekali. Cerewet banget!" balasku.
Jemarinya menunjuk kantong celanaku. "Sini handphone lo."
Aku menoleh. "Buat apa?"
"Oke, kalau lo mau handphone lo basah."
Kuberi handphone-ku padanya, lalu beranjak pergi. Ia menunjukkan jalan menuju ke rumahnya. Rumahnya tidaklah terlalu jauh, namun terasa lama karena hujan yang mengguyur ini. Kami tiba di sebuah rumah tingkat dua dengan aksitektur khas zaman Belanda. Warna rumah itu putih terang. Atapnya berhiaskan genting tanah liat yang mulai menghintam. Halaman yang penuh dengan tumbuhan, mengesankan seperti hutan mini yang bisa kau telusuri dalam beberapa detik.
"Terima kasih atas tumpangannya." Ia menunduk hormat padaku. "Nama gue Reira, lo bisa panggil gue Captain Reira."
"Captain?" tanyaku dengan heran.
"Iya, Captain Reira. Gue punya kapal dan gue adalah captain-nya. Lo bisa jadi awak kapal gue. Kami selalu menerima awak baru dan mengutamakan orang yang lagi kesusahan. Terutama yang lagi patah hati."
"Gue enggak peduli nama lo siapa, julukan lo apa, lo punya kapal atau enggak, semoga kita enggak ketemu lagi. Gue pergi!" balasku sambil menarik gas skuter.
Terdengar dari kejauhan Reira meneriakka sesuatu padaku, "Suatu saat lo bakal butuh nama gue. Ingat, Captain Reira!!!"
Benar-benar wanita aneh. Di umur yang setua itu, ia masih bisa berimajinasi menjadi seorang pelaut. Kulamunkan diriku di atas ranjangku yang empuk. Hari ini terasa sial karena pertemuanku dengannya. Aku tahu, ini harus diceritakan kepada Candra bahwa aku menemukan cewek dari dunia lain yang sedang terdampar di bumi.
"Handphone gue!!!" Baru kuingat aku lupa memintanya kembali kepada Reira.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
Cindy Aprilia
ketinggalan hpnya wkwk
2021-02-01
0
ayyona
ah....sengaja lupa nih biar ketemu lagi.
haiya captain!! 😅
2020-11-23
0
Nabila Kim
aku lanjut likeeee
2020-11-13
1