Keraguanku memuncak tatkala melihat danau yang sebegitu tenangnya. Aku tidak tahu bahaya apa yang aka menanti di sana. Kakiku bergetar saat turun dari jalur kayu yang hanya setinggi setengah meter dari permukaan air. Sampan bergoyang tatkala diriku menginjaknya. Aku pucat, namun Reira masih sanggup tertawa. Pertama kalinya dalam hidupku, aku menaiki sampan kayu di danau.
"Jangan banyak bergerak. Sampannya rawan goyang. Apalagi angin sedang kuat." Tangan Reira memberikan aku sebuah dayung.
Aku hanya mengikuti Reira yang mendayung sampan ke kiri dan ke kanan. Sebenarnya, aku tidak tahu benar bagaimana tekniknya.
"Rei, lo kerja paruh waktu di café?" tanyaku sambil mendayung sampan.
"Kalau iya, kenapa?" Kepala Reira menoleh ke belakang.
"Ya, enggak ada apa-apa, sih. Gue kagum aja kalau ada cewek yang mau cari uang sendiri."
"Oh, begitu, ya. Gue tahu lo juga kagum sama Fasha yang punya banyak job manggung sana-sini." Rambutnya yang terikat bergoyang tatkala ia mengangguk. "Gue juga tahu kalau lo lagi enggak akur sama Fasha. Gue tahu semua tentang lo."
"Dari mana lo tahu? Padahal kita kan enggak pernah ketemu. Lagian, kita beda fakultas."
Fasha tertawa kecil. "Gue ini Reira. Gue kenal banyak orang. Bahkan, petugas kebersihan fakultas lo aja, gue tahu namanya."
"Candra cerita?"
"Si keriting itu yang cerita. Anaknya asyik diajak ngobrol. Kemarin gue ngopi bareng sama dia di kantin. Bau tubuhnya kaya makanan kucing." Ia tertawa.
"Candra memang bekerja di pet shop keluarganya," balasku.
Sampan kami kini berada di tengah-tengah danau. Riak air danau sangat terlihat dengan jelas olehku. Ikan-ikan kecil bermain ke permukaan. Aku ingin menggapainya seperti yang Reira lakukan. Tangannya yang kecil itu basah oleh air yang ia mainkan. Matanya selaras dengan bibirnya yang menarik garis senyum. Ia sangat terlihat bahagia sekali.
"Kakek gue pernah cerita kalau mereka ketemu perkampungan misterius di laut selatan Jawa. Kaya ada pasar terapung di atas laut. Padahal itu di tengah laut. Saat mereka menjauh, apa yang dilihat mereka tiba-tiba menghilang."
"Benaran?" tanyaku.
"Kakek gue itu orang paling jujur selautan." Ia melebarkan tangannya. "Dia juga cerita pernah lihat bayangan naga di Laut Cina Selatan. Laut itu penuh dengan misteri. Kadang akal kita terlalu dangkal buat memahaminya."
"Hahaha ... manusia diciptakan dengan akal yang terbatas," balasku.
Ia menempelkan dayung itu ke pundakku. Topi kertas di kepalanya bergerak diterpa angin yang berhembus. Langit bertambah gelap saja dan membawakan kami angin yang kuat. Sangat jelas terasa sampan ini bergoyang-goyang. Hujan akan menyambut kami jika kami tidak pergi secepatnya.
Tiba-tiba Reira berdiri di atas sampan sembari bertegak pinggang menikmati angin danau yang lembut. Tidak ada goncangan berarti pada sampan ketika ia berganti posisi, seperti sudah terbiasa melakukannya. Dari dayung sampan yang ia genggam, ia menyentuhkannya ke pundak kiri dan puncak kananku, persis seperti pengangkatan kesatria oleh ratu-ratu Eropa. Aku tidak mengerti apa yang sedang ia lakukan. Mataku hanya menatap heran dengan kelakuannya yang satu ini.
"Sekarang, gue secara resmi mengangkat lo sebagai asisten kapten di kapal gue. Lo enggak bakal percaya kalau gue punya kapal sebelum lo lihat sendiri," ucap Reira dengan suara yang berat.
Reira mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Ia menunjukkan kepadaku sebuah topi yang sama dengan yang ia pakai. Huruf awal namanya dijadikan lambang di depan topi tersebut. Ekspresinya sangat lucu ketika berusaha memakaikannya untukku. Aku tidak menolaknya. Aku rasa aku pantas mendapatkan penghargaan ini.
"lo suka?" tanya Reira.
Aku membolak-balikkan topi yang diberikan oleh Reira. "Suka banget. Terima kasih karena udah membuatkan satu untuk gue. Lucu banget."
"Lo lebih tampan beberapa derajat semenjak jadi pelaut beberapa detik yang lalu." Telapak tangannya menjepit kedua pipiku.
Aku tidak bisa menyembunyikan ekspresiku yang tersipu malu atas pujiannya. Tidak hanya itu, sentuhan tangannya di pipiku sangat lembut terasa. Seperti sentuhan tangan Ibu dua tahun yang lalu. Tepat di saat ia mengatakan bahwa ia ingin aku selalu ada di sampingnya. Reira mengingatkanku kembali pada sosok Ibu. Kadang celoteh tanpa hentinya menyimpulkan beberapa arti hidup yang sebenarnya. Aku yang sering mengabaikan tanpa memilah kalimat-kalimat penting darinya.
"Lo selalu ada di momen yang enggak pernah gue kira, Rei," ucapku sambil menjentik dahinya dengan jariku.
"Dan lo terlalu bodoh karena mau ngikutin momen yang gue lalui," balasnya sambil mendayung sampan menuju ke tepian.
"Jadi, gue resmi jadi awak kapal lo, kan?"
Reira menggeleng. Ia mengangkat dayungnya ke atas. "Enggak ada seorang pun yang jadi awak kapal gue, sebelum dia ngucapin ikrar setia kepada kapten."
"Apa ikrarnya?" tanyaku.
Ia menarik napas dalam-dalam. "GUE BERJANJI SETIA KEPADA KAPTEN REIRA UNTUK SELALU BERSAMANYA. BERLAYAR KE SELATAN UNTUK MEMBERI MAKAN PINGUIN DI ANTARTIKA. BERUBAH HALUAN KE BENUA HITAM UNTUK MENCARI PELIHARAAN KODOK AFRIKA."
Suara lantang itu dengan sepenuh hati ia ucapkan. Harapan-harapan imajinatifnya itu ia katakan dalam sebuah ikrar. Aku menarik napas dalam-dalam untuk mengatakan janji setia itu. Aku biarkan langi yang menggelap, danau yang tenang ini, hingga ikan yang tadi naik ke permukaan, agar menjadi saksi dalam ucapanku.
"GUE BERJANJI SETIA KEPADA KAPTEN REIRA UNTUK SELALU BERSAMANYA─" Kalimatku terhenti.
Topi Reira terbang terbawa angin.ke arahku. Suaranya yang memanggil topinya secara tiba-tiba menimbulkan gerakan reflek. Entah apa yang sedang aku pikirkan, semua yang aku takutkan sedari tadi akhirnya terjadi. Danau yang tenang ini menyimpan segudang bahaya. Gerakan reflek membawaku meloncat ke kanan untuk menggapai topi Reira yang terbang. Suara ceburan terdengar jelas. Air mulai menyesap ke dalam pakaian. Teriakan Reira berbunyikan sepenggal namaku.
Aku tercebur ke dalam danau. Reira dengan cepat mengarahkan dayung hingga aku menggapainya. Aku tidak bisa naik sampai karena aku tahu sampan akan bisa terbalik. Reira mendayung sampan menuju ke tepi, semenara aku berpegangan di tepi sampan. Aku berusaha tetap tenang, walaupun aku hampir tenggelam. Terdengar suara Reira yang berkali-kali memanggil namaku dengan khawatir. Panggilannya tidak bisa kujawab. Aku terlalu fokus untuk menyelamatkan diri.
Rintik demi rintik hujan mulai turun. Laju sampan kini berpacu dengan suara hujan yang mulau bergermuruh. Butiran hujan yang menghujam terasa begitu pedih ketika menghantam kepalaku. Suara gemericik air dari kakiku, kini berganti dengan gemuruh hujan yang jatuh pada air. Danau bergelombang hebat karena terbawa angin. Kapal hampir saja terbalik, tetapi Reira masih bisa mengendalikannya. Hingga pada akhirnya tangan Reira menyeretku ke tepian. Aku masih terseret ketika di daratan. Tenagaku habis karena membantu mengayuh sampan menggunakan kaki.
"Lo bego' atau sok jagoan?" teriak Reira ketika menepikan Sampan ke dermaga kecil di danau.
Kini, aku benar-benar basah. Satu hal yang paling parah, handphone-ku sudah pasti tidak akan mau hidup lagi. Aku hanya bisa berteduh di bawah pohon, sembari mendengarkan ocehan Reira yang tanpa henti.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
ayyona
nurut aja lg disuruh 😅
2020-11-23
0
UCHI °OFFICIAL°
💪
2020-11-16
0
Erwien Diandaniy
seru ya klw punya tmn kaya rei
2020-04-27
0