Aku memekik keras saat pria dingin itu mengatakan jika kami telah tersesat. Petasan di mulutku mulai tersulut dan meledak. Aku menyalahkan dia atas kejadian yang kami alami saat ini.
"Semua ini gara-gara kamu! Kalau seandainya tadi kita menerima tawaran Bu Zainab untuk menginap, ini semua nggak akan terjadi. Kamu emang egois, Fat. Kamu nggak mikir apa, kalo aku nih perempuan? Tersesat di hutan belantara sama seorang cowok, apa tanggapan orang nanti? Kenapa sih harus memaksakan diri untuk pulang? Padahal Bu Zainab udah begitu baik mau menampung kita di sana untuk malam ini. Bukankah Bu Zainab juga dah bilang kalo hutan ini sangat gelap meskipun masih sore. Dan sekarang, kita tersesat di hutan yang seluas ini."
Mulutku yang jika sudah merasa kesal seperti petasan di tempat sunat, terus nyerocos dan memberondong Fatwa dengan berbagai macam pertanyaan. Aku memang anak pramuka, aku suka petualang, aku suka kamping, aku suka naik gunung. Tapi kalau untuk tersesat tanpa arah tujuan? Ya, itu bukan impianku.
"Hey! Hey! Tenanglah dulu!" ucap Fatwa seraya menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya.
"Ish, gimana gue bisa tenang. Kita tersesat, Fat! TER-SE-SAT, di hutan belantara yang segini luasnya. Dan elo tau apa yang paling parah dari semua ini? Kita tersesat di negara orang. Negara terpencil yang penuh mistis yang kita nggak tahu pantangan dan larangannya seperti apa. Dan semua ini gara-gara elo!" Aku semakin kalap dan terus meracau karena pikiranku telah terkontaminasi oleh ucapan Bu Karyo tentang mistis yang masih kental di desa ini.
Fatwa melepaskan tangannya, dia mulai memegang kedua bahuku. "Terserah kamu mau ngomong apa, tapi aku mohon, tenanglah dulu! Kamu nggak sendirian di sini. Aku akan berusaha untuk mencari jalan keluar. Please trust me, oke!" ucap fatwa.
Aku menatap mata bening yang tajam seperti elang itu. Aku melihat ada keyakinan yang begitu kuat dalam sinar bola matanya. Seolah terhipnotis oleh tatapannya, akhirnya aku mengangguk pasrah menanggapi ucapan Fatwa.
"Oke, i will trust you!" gumamku, lirih.
Fatwa kembali menggenggam tanganku. Berjalan pelan karena gelap semakin menggantung di atas, kami kembali menyusuri jalanan setapak. Sebenarnya, kakiku terasa letih, tapi melihat kegigihan Fatwa dalam mencari jalan keluar, aku mengurungkan niatku untuk meminta berhenti.
Seperti orang linglung, kami berputar-putar di sekitar jalan setapak tersebut. Hingga akhirnya, Fatwa menyerah. Dia kemudian menuntun aku menuju sebuah pohon berbatang raksasa.
"Duduklah! Kita istirahat dulu sebentar!" titahnya.
Aku mengangguk, kemudian duduk di sampingnya.
"Apa kau lapar?" tanyaku.
"Apa kau punya makanan?" Fatwa malah balik bertanya.
Aku mengangguk, kemudian mengeluarkan dua buah nasi timbel yang tadi Bu Zainab bekalkan kepada kami.
"Ini, makanlah!" ucapku menyodorkan bungkus nasi itu ke arahnya.
Fatwa menerima nasi timbel itu dan mulai membukanya. "Hmm sepertinya enak," gumam dia.
Aku tersenyum saat melihat dia menyantap makanan itu dengan lahap. Aku pun mulai menyantap makananku. Tersesat memang membuat perut kami kelaparan.
Tak membutuhkan waktu lama, bekal kami akhirnya habis. Fatwa membenahi duduknya. Dia mulai mengumpulkan kayu dan membakarnya.
"Apa kamu merokok?" tanyaku heran yang melihat dia memiliki pemantik api.
"Maksudnya?" tanya dia mengernyitkan kening.
"Itu?" Daguku menunjuk pemantik api yang dia pegang.
"Apa yang memiliki benda ini harus menjadi seorang perokok?" Dia balik bertanya.
Aku gelagapan. Sungguh, dia selalu berhasil membuat aku kebingungan.
"Sudahlah, lupakan saja!" ucapku.
Api mulai menyala, dan kami mulai menghangatkan badan. Karena merasa kekenyangan, aku mulai mengantuk.
"Tidurlah!" ucap fatwa.
Aju mengangguk, sejurus kemudian aku mulai terlelap.
.
.
.
"Ish."
Aku meringis saat aku merasa ingin mengeluarkan sesuatu dari mahkotaku. Aku mengerjapkan mata dan mendapati pria dingin itu tidur meringkuk di hadapanku. Bara api dalam sisa kayu yang terbakar masih terlihat menyala. Aku mengedarkan pandanganku, sepertinya hujan tidak jadi turun, mungkin dia merasa iba kepada kami.
"Ish."
Aku kembali meringis. Karena sudah merasa tidak tahan lagi, aku mulai memberanikan diri menuju semak-semak untuk buang air kecil. Dengan bantuan sinar bulan sabit yang tampak malu-malu, akhirnya aku menemukan tempat yang cukup tersembunyi.
Krekk!
Kreek!
Saat sedang menikmati sesuatu yang mengalir dari mahkotaku, aku mendengar bunyi ranting yang terinjak. Kaget bercampur takut, aku segera membasuh mahkotaku dan berlari sekuat tenaga. Sialnya, aku tidak memperhatikan langkahku, hingga...
Brugh!
Tersandung akar yang menjalar di permukaan tanah, tubuh kurusku ini akhirnya mendarat sempurna pada tumpukan daun jati yang mulai mengering.
"Ish."
Aku meringis menahan perih di sikut kananku. Aku mengusap sikutku yang terasa basah. Darah segar pun menempel di telapak tangan. Pantas saja perih, batinku.
Aku mencoba bangkit dan berdiri.
"Aww!" Aku memekik pelan saat merasakan sakit di pergelangan kaki kiriku.
"Ya Tuhan ... apa mungkin kakiku terkilir karena tersandung tadi?" gumamku pelan.
Tak ingin berlama-lama di sana, aku mulai menyeret kaki kiriku dan berjalan mencari jalan keluar dari semak-semak itu.
Cukup lama aku mencari jalan yang tadi aku lewati. Tapi pada kenyataannya, aku masih berputar-putar di tempat yang sama. Meski rasa takut mulai menjalar, aku berusaha untuk tetap kuat. Aku anak pramuka, aku pasti bisa menjawab teka-teki alam. Aku pasti bisa menemukan jalan keluar dari labirin yang aku ciptakan karena rasa takutku sendiri.
Sejenak aku berhenti, duduk bergeming dan mulai melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran yang aku hafal. Hingga di titik aku membuka mata, tiba-tiba aku melihat cahaya terang yang semakin lama semakin menjauh. Tak ingin kehilangan kesempatan, aku mengikuti ke mana arah cahaya itu pergi.
Cukup jauh aku melangkah hingga akhirnya cahaya itu mulai meredup. Saat aku tersadar dari titik fokus menatap cahaya, aku terkejut karena telah mendapati dua buah ransel yang teronggok di bawah pohon jati raksasa.
Aku mengucap syukur atas keberhasilanku menemukan tempat peristirahatan tadi. Tapi, aku terkejut saat menyadari jika pria dingin bermata elang itu tidak ada di sana.
Sayup-sayup, aku mendengar teriakkan seseorang memanggil namaku. Aku mulai menajamkan indera pendengaranku untuk memastikan. Dan, benar saja, aku kenal suara itu. Suara yang sama yang sering aku dengar saat melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di tengah malam.
"Iya, Fat!! Aku di sini!" teriakku menjawab panggilan Fatwa.
"Resss....! Kamu di mana?"
Aku mendengar suara itu lagi. Aku mulai berjalan mengikuti arah menuju sumber suara. Tak jauh dari tempat peristirahatan tadi, aku melihat pria itu sedang celingak-celinguk seperti mencari sesuatu.
"Fat!" panggilku.
Pria dingin itu membalikkan badannya, sejurus kemudian,
Brugh!
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Merry
dasar resti, nggak bisa dibilangin...
2022-06-11
4
Sani
semoga hubungan mereka semakin dekat
2022-05-02
5
Juwandi
semangat terus kak
2022-04-05
3