Hari-hari yang aku jalani terasa berbeda setelah kepergian Gun Gun. Namun, aku tidak boleh lemah. Biarlah Gun Gun menjadi sebuah kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan.
"Eh, apa kalian tahu kalau sekolah kita akan mengadakan penelitian ke desa yang sangat terpencil?" kata Irma, saat kami sedang menikmati jam istirahat di warung bik Imas.
Semua orang menggelengkan kepalanya, termasuk aku. Kenapa hanya Irma yang tahu? Ya wajar sih, dia, 'kan anaknya guru di sekolahku.
"Khusus kelas 3, Ma?" tanya Kak Lastri.
"Nggak semuanya sih, cuma khusus untuk anak-anak kelas 3 yang nggak ikut ke Jogja, dulu. Kalau yang ke Jogja, 'kan, mereka bikin makalah tentang tempat wisata itu. Nah, kalau yang nggak ikut ke Jogja, bikin makalahnya tentang penelitian di Parentas," jawab Irma panjang lebar.
"Parentas?" Aku mengulang perkataan Irma sambil mengernyitkan kening. Selama aku tinggal di kabupaten ini, aku baru tahu ada desa terpencil yang bernama Parentas.
"Iya, Parentas. Kabarnya lagi, penduduk di sana kekurangan yodium. Karena itu sering terjadi penyakit gondok," papar Irma.
"Tibang kurang yodium doang, kasih aja garam beryodium yang banyak," ucapku menyepelekan omongan Irma.
"Gondok nggak, darting iya!" timpal Kak Lastri.
Aku hanya cengegesan sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Kira-kira, kapan 'tuh rencana observasi ke Parentas dilaksanakan?" tanya Tika.
"Aku dengar sih, seminggu lagi," jawab Irma.
"Bayar nggak, sih?" tanyaku penasaran. Maklum, urusan duit mah kudu hemat. Aku bukan berasal dari keluarga kaya yang dengan mudah untuk mengeluarkan uang.
"Katanya sih, bayar 30 ribu doang per siswa, buat ongkos," jawab Irma.
"Lah, gue kira, gratis nih," ucapku.
"Ah, elo mah ... gretongan mulu," gerutu Irma.
Aku hanya terkekeh mendengar gerutuan si sobat cempreng itu. Biarlah orang lain menganggap aku orang yang tak punya. Karena pada kenyataannya, aku memang bukan orang berada. Bagiku, uang saku segitu sudah cukup mempengaruhi ingatanku. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Semua ini demi nilai. Aku harus bisa ikut. Dan satu-satunya jalan, mulai besok aku bakalan ngambil dagangan deh, ke si Iva, batinku.
Keesokan harinya, aku pergi ke kelas IPS untuk menemui Iva.
"Eh, Dan ... lo lihat Iva, nggak?" tanyaku pada Dadan, temenku yang paling kalem dalam grup yang pernah kami buat di kelas 2.
'Sepertinya tadi dia ke kantin, Chi," jawab Dadan. "Emangnya ada urusan apa?" Dadan kembali bertanya.
"Idiiih, kepo!" ucapku sambil berlari ke arah kantin. Dadan hanya bisa menggaruk kepalanya melihat sikapku.
Brugh!
"Aw!"
Aku mendongak untuk melihat orang yang telah aku tabrak. Lagi dan lagi ... cowok dingin itu rupanya yang aku tabrak. Entah kenapa, jantungku seperti sedang marathon saat menatap mata elangnya. Tak sanggup beradu pandang lebih lama lagi, akhirnya aku memutuskan untuk meminta maaf.
Tapi emang dasar cowok misterius, dia hanya berlalu begitu saja tanpa menghiraukan permintaan maaf dariku.
"Ish, bodoh... bodoh... bodoh.." Aku merutuki kebodohanku di dalam hati.
"Sudahlah Chi, lupakan saja! Yang terpenting saat ini, lo harus menemui Iva." Aku memotivasi diriku sendiri.
Begitu tiba di kantin.
"Vaaa...!" Aku berteriak kencang, berharap gadis imut itu akan menoleh kepadaku.
Semua anak yang sedang berada di kantin, seketika menoleh ke arahku. Melihat tatapan aneh mereka, aku hanya bisa cengengesan sambil menggaruk kepalaku yang tak gatal.
"Eh, maaf-maaf ... ayo, silakan dilanjutkan aktivitas makannya!" ucapku sambil berjalan menghampiri Iva.
"Ya, kenapa Chi?" tanya Iva.
"Gue nyariin elo, tau!" jawabku.
"Tumben, lo nyari gue. Mangnya ada apaan?" tanya Iva lagi.
"Lo ada barang nggak? Gue lagi butuh duit nih," ucapku.
"Ah, elo mah gitu ... sekalinya nyariin gue, cuma kalo lagi ada perlu aja." Iva mulai terlihat menggerutu mengetahui maksud aku mencarinya.
"Ih, bukan seperti itu, Va. Kita, 'kan beda kelas sekarang ... gue segen tau, kalo harus berkunjung ke kelas lo," jawabku, tak enak hati.
"Ya udah, 'ntar balik sekolah, lo datang aja ke rumah gue. Kebetulan kemarin malam nyokap gue baru dapat kiriman paket dari jogja. 'Ntar kita bongkar bareng, deh. Lo pilih aja barang yang lo suka," ucap Iva.
Wajahku sumringah seketika. "Oke, Va. Thanks ya ... lo emang bestfriend gue," ucapku sambil memeluk Iva.
"Ish, nggak usah peluk-peluk juga, kali. Gue masih normal tau." Iva mengerucutkan bibirnya.
Aku tergelak melihat mimik muka gadis imut itu. Aku pun semakin sengaja menggodanya. Hingga setelah melihat muka dia memerah karena menahan amarah, aku menghentikan godaanku. Setelah puas menggoda Iva, aku kembali ke kelas karena sebentar lagi bel masuk berbunyi.
Pukul 13. 30, bel pulang sekolah berbunyi. Aku segera membereskan peralatan sekolah.
"Mau ke rumah Kakak, nggak, Dek?" tanya Kak Lastri menghampiri aku.
"Maaf, Kak. Keknya besok aja. Hari ini Chi mo ambil barang ke rumah Iva." Aku menolak tawaran Kak Lastri.
"Bareng siapa?" tanya Irma.
"Sendiri," jawabku.
"Lo pergi ma gue aja, Chi!" Deni si cowok tebar pesona tiba-tiba datang dan menawarkan diri untuk mengantarkan aku ke rumah Iva.
"Huh, modus! Gue tau, lo mo nganter gue karena lo mo deketin Iva, "kan?" tuduhku kepada Deni.
"Ish, lo mah suudzon mulu, Chi! Gue nawarin lo bareng, karena rumah gue ma Iva, 'tuh searah," bantah Deni.
"Alaaah ... nggak usah ngeles, deh. Emang gue nggak tahu kalo lo naksir Iva," jawabku memasang perangkap
Deni hanya menggaruk kepalanya. "Terserah lo, deh! Yang penting gue dah punya niat baek buat bantuin lo," ucap Deni seraya berlalu pergi.
"Iya-iya, makasih! Tapi gue 'dah janjian ma Iva mo pulang bareng!" teriakku kepada Deni.
Laki-laki metropolitan itu hanya mengibaskan tangannya.
"Kenapa sih, lo nolak tawaran dia, Chi? 'Kan lumayan, gratis tuh," ucap Irma.
"Gue nggak enak ma Iva, Ma. Dia pernah bilang kalo dia naksir si Deni. Masa iya, gue harus datang sama gebetannya," jawabku.
"Oh, bener juga lo!" kata Irma lagi.
"Ya sudah, gue pergi dulu, ya!" pamitku kepada teman-teman.
Tiba di gerbang sekolah, aku sudah mendapati Iva di sana.
"Yuk!" ajakku.
Iva mengangguk, dengan menggunakan becak langganannya, kami pun pulang. 10 menit kemudian, kami tiba di rumah. Iva langsung membawaku ke gudang, tempat barang-barang dagangan ibunya di simpan.
Iva membongkar satu box besar yg masih tersegel rapi. Box itu kiriman dari Jogjakarta. Setelah di buka, ternyata berisi kaos-kaos khas kota Jogja dengan tulisan-tulisan penyemangat bagi kawula muda. Aku mulai memisahkan beberapa buah kaos dengan berbagai macam ukuran dan tentunya dengan tulisan-tulisan yang unik. Setelah menerima nota orderan, aku pamit pergi dan mulai menyusun rencana berniaga untuk esok hari.
Bersambung
Jangan lupa like, vote n komennya yaa 🤗🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
🍁ᴬᴿᵂ☕ Rest
semangat dagangnya, chi
2022-07-25
3
Merry
semoga mendapat laba yang banyak ya, chi
2022-05-25
3
Ilghan
berkah dagangannya, chi...
2022-05-07
4