Dug-dug-dug!
Seseorang terdengar menggedor pintu kamar mandi. Tapi aku tak menghiraukannya. Aku hanya mampu duduk di sudut ruang yang cukup sempit itu seraya menundukkan wajah di atas kedua lututku. Entahlah, rasa sesak ini semakin menghimpit dada. Rasanya seperti ada sebuah batu besar yang menghantam hingga membuat rongga dadaku remuk terimpit. Sesekali aku menyeka ingus yang keluar karena terus menangis. Cukup lama aku terisak, hingga aku benar-benar merasa lelah.
Dibalik semua rasa lelah, aku mencoba berdiri. Tanganku terulur untuk meraih gayung yang terletak di tepi bak. Setelah itu, aku mengguyur wajah yang pastinya sudah terlihat tak karuan. Perlahan aku mulai mengambil air wudhu. Selepas itu, aku membuka kunci kamar mandi. Tampak Heri, Nia, Ratna, Kiki, Irma, dan Tini berdiri di depan pintu kamar mandi. Karena masih kesal atas sikap mereka, aku hanya berlalu begitu saja melewati mereka. Tujuanku hanya satu. Solat dan memohon ketenangan batin.
Namun, tiba di masjid, aku dibuat terkejut oleh beberapa siswi yang tengah menangis. Ada yang bersandar di tembok mesjid sambil menengadahkan wajahnya dengan kedua pipi dipenuhi tetesan air mata yang terus mengalir. Ada yang duduk seraya menutup wajahnya sambil terisak. Ada yang menatap selembar foto. Ada yang bersujud tetapi kedua bahunya berguncang menandakan dia sedang menangis. Ada lagi beberapa siswi yang tidak aku kenal, mereka menangis berjamaah dengan saling berpegangan tangan. Mungkin mereka adalah adik kelas. Dan dari mulut mereka hanya keluar satu kata. Gungun. Aku terhenyak, ya Tuhan ... Gun, entah kamu memang pandai bergaul atau hanya sekedar playboy sejati, sehingga beberapa siswi begitu histeris mendengar kepergianmu, batinku.
Tak terlalu menggubris suasana di sekitar, aku mulai mengambil takbiratul ikhram. Aku tunaikan solat sunat dhuha untuk menenangkan hatiku. Lagi dan lagi setelah dua rakaat aku terus lanjutkan hingga batinku benar-benar mendapatkan ketenangan. Selepas solat, aku mulai mengaji untuk menciptakan kedamaian sehingga aku bisa menerima kepergian sahabatku dengan ikhlas.
Dua jam aku berada di masjid. Hingga akhirnya Intan datang dan memberitahukan aku jika guru Biologi mencariku. Dia bilang, aku akan dianggap bolos jika tidak mengikuti pelajarannya. Dengan terpaksa, aku mengakhiri bacaan ayat suci Al-Quran. "Shodakallohul adzim," ucapku sambil menutup kitab suci. Setelah cukup tenang, aku kembali ke kelas.
Heran ya, sehebat apa sih si Gun Gun itu, sampai di tiap kelas ada saja yang menangisi dia?" Sindiran bu Ida menyambut kedatanganku ke kelas. Tapi aku tak menghiraukannya, aku tahu, bukan hal yang baik melawan perkataan guru. Karena itu aku membiarkan beliau berbicara sampai tenggorokannya terasa kering dan dia berhenti sendiri.
"Ya sudah, kita lanjutkan lagi pelajarannya. Buka buku Biologinya halaman 58!" perintah bu Ida.
Aku membuka buku materi. Meskipun hari ini bu Ida membahas materi yang cukup menarik yaitu tentang alat reproduksi, tapi bagiku terasa hambar. Sungguh pikiranku tak bisa berkompromi. Bayangan-bayangan masa lalu saat masih satu kelas dengan almarhum, kembali menari indah dalam benakku. Maafkan Res, ma, pa, jika hari ini Res mengecewakan kalian karena konsentrasi belajar Res terpecah.
Sepulang sekolah, aku, Heri, Nia dan Ratna pergi bertakziah ke rumah almarhum. Diantar Tini, kami akhirnya tiba di sana. Saat kami datang, para pelayat masih berdatangan. Mereka kebanyakan masih berseragam sekolah. Namun ada juga beberapa yang datang mengenakan baju bebas seperti kami.
Tiba-tiba saja, ibunya Gun Gun memeluk Heri. Ya! Mungkin karena Heri adalah sahabat Gun Gun. Setelah dipersilakan masuk, ibunya Gun Gun pun bercerita tentang kronologi kecelakaan yang menimpa putra sulungnya.
"Maaf, Bu. Apa kami bisa berziarah ke makam almarhum?" tanya Nia.
"Ah, iya. Tentu saja boleh, Nak. Sebentar, Ibu panggilkan adik almarhum untuk mengantar kalian ke makam," jawab ibunya Gun Gun.
"Don! Doni! Coba kemari sebentar, Nak!" panggil ibu Gun Gun kepada anaknya.
Tak lama kemudian, datang seorang laki-laki yang sungguh membuat kami berempat terkejut dibuatnya.
"Gun Gun?" gumamku.
Heri menyikut lenganku. "Dia bukan Gun Gun, Chi. Dia Doni, adiknya Gun Gun," sahut Heri.
"Ya Tuhan, kenapa mirip sekali," bisikku di telinga Heri.
"Ya, namanya juga adek kakak, keluar dari lobang yang sama, ya pasti mirip, lah," ucap Heri cengengesan.
"Ish lo ini, dalam suasana duka, masih aja bisa becanda kek gini," ucapku, ketus.
Heri hanya menggaruk kepala bagian belakangnya saat mendengar ucapanku.
"Sst...!" Ratna menempelkan telunjuknya di atas bibir, memberi isyarat agar kami diam.
"Tolong antarkan teman-teman kakakmu ke makam," perintah ibu Gun Gun
"Baik, Bu," jawab Doni. "Ayo kakak-kakak, Doni antar!" ajaknya pada kami.
Setelah berpamitan, kami akhirnya mengikuti Doni untuk berziarah ke makam Gun Gun. Tiba di sana, kami semua berjongkok. Heri yang memang satu-satunya lelaki yang ada, mulai memimpin do'a. Melihat tanah kuburan yang masih basah, air mataku kembali keluar tanpa permisi. Terlebih lagi saat aku ingat pertemuan terakhir kami minggu lalu.
...................
"Kakak Chi, jadi ikut lomba sains?" tanya Gun Gun.
Aku mengangguk. "Jadilah, ini, 'kan mimpi Chi."
"Tapi, Gun Gun nggak bisa lihat, nggak pa-pa, 'kan?"
"Oke, do'anya saja!"
"Oh ya, Kakak Chi. 'Ntar kalau Gun Gun pergi, Kakak Chi nggak boleh sedih, ya? Apalagi nangis."
"Yeaay, ge'er. Emang lo sapa gue," jawabku seraya menonyor bahunya.
"Hahaha,..."
................
Dia hanya tertawa saat itu. Dan ternyata itu adalah tawa terakhirnya. Aku menyeka air mataku saat mengingat kembali ucapannya, 'jangan menangis'.
Ya, Gun. Aku tidak akan menangisi kepergianmu. Aku ikhlas. Semoga kamu damai di sisiNya.
Puas memandangi makam sebagai pertemuan yang terakhir, kami pun pamit kepada Doni.
"Kakak, tunggu!" ucap Doni.
"Ya, kenapa Don?" tanya Heri.
"Mohon maaf, di antara Kakak sekalian, apakah ada yang bernama Kak Octora?" tanya Doni memandangi kami satu persatu.
Semua mata tertuju padaku. Aku sendiri merasa heran dengan pertanyaan Doni. Mau ngapain dia?
"Saya yang bernama Octora," jawabku.
Doni menghampiri aku dengan membawa kotak berwarna coklat. "Kak Gun, pernah meminta Doni untuk membelikan ini. Dia bilang, ini untuk hadiah ulang tahun temannya yang bernama Octora bulan depan. Silakan diterima, Kak."
Aku benar-benar terkejut mendengar ucapan Doni. Dengan tangan gemetar, aku menerima kotak itu dan membukanya.
Sebuah bola basket dan secarik kertas dengan tulisan. 'Kali ini, aku akan mengalahkanmu, Kakak Chi'
Aku tersenyum. Ya! Aku telah kalah, Gun. Aku kalah karena tidak bisa menjadi teman terbaikmu. Aku kalah karena terlalu mementingkan ambisiku, sampai aku tidak tahu saat kamu meregang nyawa. Aku kalah karena aku tidak bisa membawamu menjauhi barang-barang itu. Aku memang pecundang, karena tidak memiliki cukup usaha untuk membawamu keluar dari dunia hitam. Maafkan aku, Gun. Maafkan aku....
Bersambung
Jangan lupa like, vote n komennya yaa 🤗🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
🍁ᴬᴿᵂ☕ Rest
kok tiba-tiba mataku berair ya
2022-07-25
1
Merry
sedihnya...
2022-05-22
2
Ilghan
semoga khusnul khatimah
2022-05-07
3