Keesokan harinya, aku dan Irma bangun terlambat.
"Sudah aku bilang, sebaiknya kita tidak membiarkan Chi dan Irma tidur bareng, gini 'kan jadinya," gerutu Tika yang mungkin sudah merasa lelah membangunkan kami.
"Sudah-sudah, daripada kita berdebat nggak ada ujungnya, lebih baik sekarang kamu bawa seember air kemari!" perintah Kak Lastri.
Tika mengangguk, setelah itu dia keluar kamar. Beberapa menit menunggu, akhirnya dia datang dengan membawa ember kecil berisi air. Tika menyerahkan ember tersebut kepada Kak Lastri.
Byurrr!
Tanpa menunggu komando, Kak Lastri mengguyur kami dengan seember air.
"Hump! Apa nih...?"
"Waaahh, banjir!"
Aku dan Irma gelagapan mendapati dinginnya air yang menyentuh sekujur tubuh kami.
"Ada apa ini ribut-ribut?"
Tiba-tiba suara milik pria innocent itu terdengar dari arah pintu. Kami semua menengok.
"A-Aji," gumam aku dan Irma berbarengan.
"Ya Tuhan ... Res, Ma ... Kalian kenapa basah kuyup seperti itu?" tanya Aji yang begitu terkejut melihat keadaan kami yang basah di sekujur tubuh.
"Kerjaan Kak Lastri nih," rengek Irma.
"Ya, abisnya, Kalian tidur mulu. Dibangunin dari tadi kagak bangun-bangun juga. Ya sudah Kakak kirim hujan lokal saja," jawab Kak Lastri sambil mengerucutkan bibirnya.
"Tau nih, mereka tidurnya kek kebo." Tika menimpali ucapan Kak Lastri.
Aji hanya menggelengkan kepala mendengar pengaduan Kak Lastri dan Tika.
"Ya sudah, cepat bereskan kekacauan ini! Setelah itu, kalian pergi mandi. Satu jam lagi kita akan mengadakan kegiatan senam kebugaran jasmani di lapang desa," perintah Aji.
Kami semua mengangguk. Aku dan Irma mulai membereskan ranjang dan membuka sprei yang basah. Sedangkan Kak Lastri dan Tika pergi menemui ibu Karyo untuk meminta sprei baru.
.
.
.
Satu jam kemudian, kami berempat segera menuju lapangan desa. Tiba di sana, para siswa-siswi telah berbaris rapi. Aku dan teman-teman segera berbaris di belakang.
Lagi-lagi pria bermata elang itu ambil bagian. Dengan menggunakan setelan training senam, dia bersama Aji, Gaos, dan Ade tampil untuk menjadi instruktur senam. Aku semakin jatuh dalam semua pesona yang dia miliki. Tanpa sadar, rasa yang tadinya hanya sekedar kagum, telah berubah menjadi sebuah rasa yang sulit aku mengerti.
Perasaan apakah ini? Kenapa jantungku selalu berdegup kencang saat mata kami beradu? Kenapa darahku berdesir cepat saat berdekatan dengannya. Kenapa hatiku terasa menghangat saat mendengar suaranya? Ya Tuhan ... rasa apakah ini?
Dua jam kami melakukan senam kebugaran jasmani di pagi hari. Setelah beristirahat sejenak, kami diberi kesempatan untuk pulang ke posko masing-masing dan mempersiapkan diri untuk acara berikutnya. Aku dan Irma pulang terlebih dahulu, sedangkan Kak Lastri dan Tika pergi ke tempat panitia untuk mengambil jadwal kegiatan.
Tiba di rumah, kami sudah disiapkan sarapan oleh si empunya rumah. Sebenarnya aku dan Irma sungkan untuk sarapan, tetapi melihat kebaikan ibu Karyo yang tulus, kami tak sampai hati untuk menolaknya. Pada akhirnya, sebelum mandi aku, Irma dan bu Karyo sarapan bersama. Sedangkan pak Karyo sendiri, beliau sudah pergi ke ladang untuk bekerja.
Sambil sarapan kami sedikit berbincang tentang keadaan di desa ini. Tentang bagaimana masyarakatnya, tradisinya, pantangan dan larangan para pengunjung, bahkan hal-hal mistis yang pernah terjadi di desa ini.
"Pokoknya, inget saja Neng, di desa ini tuh kita nggak boleh sompral (songong), omongan harus dijaga. Jangan sombong dan belagu kalau mau selamat," ucap bu Karyo.
Aku dan Irma bergidik ngeri mendengar penuturan bu Karyo tentang desanya. Saking asyiknya bercerita, tau-tau makanan yang ada dalam piring kami sudah habis.
"Ayo, ditambah lagi, Neng!" tawar bu Karyo.
"Iya, terima kasih, Bu. Tapi kami sudah kenyang." Aku menolak halus tawaran bu Karyo.
Bu Karyo hanya tersenyum mendengarnya. Selesai makan, kami membawa piring-piring kotor ke dapur untuk dicuci.
"Biar gue yang nyuci. Lo pergi mandi saja," perintahku kepada Irma.
"Tapi, Chi," tukas Irma.
"Udah, buruan mandi! Entar siang, 'kan kita ada penyuluhan. Gue nggak mau disorot guru ma kepsek lagi, gara-gara telat," jawabku.
"Oke, deh!"
Irma berlalu pergi dari hadapanku. Tak lama kemudian, aku dengar di ruang tengah suara Tika, Kak Lastri, Aji, Fatwa dan Asep. Ah, rupanya mereka pun baru pulang dari lapang.
.
.
.
Pukul 10.00, kembali kami diperintahkan berkumpul di lapang balai desa. Pak Irawan bersama bapak kepala sekolah mengerikan pengarahan kepada kami untuk melakukan penyuluhan tentang pentingnya garam beryodium bagi kesehatan tubuh.
Setiap kelompok yang sudah dibentuk dibagi lagi ke dalam 3 kelompok kecil dengan anggota dua atau tiga peserta. Hari ini, aku mendapatkan kesempatan satu kelompok bersama Asep. Kami pun diberi tugas untuk mengunjungi lima rumah penduduk untuk memberikan penyuluhan tentang garam beryodium. Setelah dirasa semuanya sudah siap, kami berpencar untuk melakukan tugas.
Satu per satu rumah warga kami kunjungi. Awalnya, aku mengira mungkin antara aku dan Asep, bergiliran untuk berbicara. Tapi hingga di rumah ketiga, aku masih tetap melihat Asep bungkam. Dia hanya mengekori aku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun untuk melakukan penyuluhan. Sebenarnya aku tidak keberatan jika memang aku harus selalu menjadi pemateri. Tapi, kediaman Asep sungguh sangat menggangguku.
Akhirnya, setelah aku selesai memberikan penyuluhan di rumah terakhir, aku memutuskan untuk mengajak Asep ke tempat yang cukup sepi.
"Mau ngapain kita kemari, Res?" tanya Asep yang merasa heran ketika aku berhenti di sebuah pematang sawah.
"Menikmati alam," jawabku enteng. Aku mendaratkan bokong di tepian sawah. Tak lama kemudian Asep mengikuti pergerakan aku.
"Kamu kenapa sih, Sep? Aku lihat dari tadi kok hanya diam saja?" tanyaku. Jiwa ke-kepoan aku meningkat tinggi.
"Nggak pa-pa kok, Res," ucap Asep. Helaan napasnya terlihat sangat berat.
"Sep, jika kamu memiliki masalah, bicaralah! Res memang bukan pemberi solusi yang baik, tapi Res bisa jamin kalo Res adalah pendengar yang setia," gurauku.
Asep tersenyum tipis melihatku, sejurus kemudian, dia melayangkan pandangannya pada hamparan sawah di depan yang padinya sudah mulai menguning.
"Terkadang, aku merasa bosan bersekolah, Res," ucap Asep lirih.
Aku mengernyitkan kening. "Maksud kamu?"
"Aku bosan dengan semua materi yang ada. Semuanya seperti sudah tidak pernah asing lagi dalam ingatanku. Karena itu aku merasa jenuh jika harus berangkat sekolah. Jujur saja, aku tidak mendapatkan apa pun dari setiap pertemuanku dengan guru. Rasanya, aku sudah bisa menebak materi apa yang akan mereka sampaikan. Sering aku berpikir, apa lebih baik aku putus sekolah saja?"
Out of the box! Sungguh sebuah curahan hati yang di luar dugaan. Aku sadar, Asep mungkin memiliki tingkat IQ di atas rata-rata, tapi jujur saja, aku tidak pernah menyangka jika dia merasa bosan dengan kegiatan sehari-harinya.
Lalu, apa yang sebenarnya ingin kamu lakukan, Tuan jenius?
Bersambung
Terima kasih untuk like, vote n komennya yaa.. 🤭🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Resti Oktaviani
rasa jatuh cinta itu...
2022-07-11
3
Merry
asep..
oh asep...
2022-05-26
3
Juwandi
semangat kak,Diary Kayla mampir lagi.
2022-04-01
2