Saat menjelang asar, Bu Zainab baru tiba di rumahnya. Dia cukup terkejut saat melihat keberadaan kami. Setelah kami menjelaskan kejadian kenapa kami bisa sampai di sini, barulah Bu Zainab paham. Tak lupa dia juga mengucapkan terima kasih kepada kami.
Beberapa menit setelah Bu Zainab datang, kami berpamitan untuk pulang. Tapi, rupanya Bu Zainab menahan kami. Beliau malah meminta kami menunggu untuk makan bersama. Beliau bilang, jamuan ini hanyalah sebagai bentuk ucapan terima kasih dia karena kami sudah menolong ibunya.
Awalnya kami menolak, tapi karena Bu Zainab terus memaksa, akhirnya kami meng-iyakan. Sambil menunggu masakan Bu Zainab matang, aku dan Fatwa bergantian untuk menunaikan salat asar. Setengah jam kemudian, nasi liwet beserta lauk pauknya telah terhidang di atas meja. Bersama-sama, kami mulai menyantap makanan tersebut.
.
.
.
Tak ingin merepotkan lebih lama lagi, setelah selesai makan kami segera berpamitan kepada nenek dan Bu Zainab.
"Apa tidak sebaiknya kalian tidur di sini saja?" Nenek menawarkan agar kami menginap untuk malam ini.
"Tidak usah, Nek. Terima kasih," jawab Fatwa.
"Iya, Cep, Neng ... sebaiknya kalian menginap saja. Ini sudah sore, loh!" timpal Bu Zainab.
"Sudah sore, tapi belum malam, 'kan, Bu?" gurauku.
"Ish, si Eneng mah. Bukannya apa-apa atuh Neng, kalau sudah sore, jalanan di sini suka nggak kelihatan karena terhalang rindangnya pohon. Ibu cuma khawatir kalian akan tersesat, nanti. Apalagi Ibu lihat, langit sudah mulai mendung. Bagaimana kalau nanti hujan di tengah jalan?" papar Bu Zainab.
Sekilas aku menatap langit. Ya, awan hitam memang masih asyik berayun-ayun di sana. Sesekali mereka berpindah tempat karena tertiup angin. Aku melirik Fatwa, tapi sepertinya dia memberi kode agar aku tidak menerima tawaran Bu Zainab.
"Tidak apa-apa, Bu. Lebih baik kami pulang saja. Kalau kami menginap di sini, aku khawatir guru dan teman-teman kami akan mencari karena mencemaskan kami," jawabku memberikan alasan.
Akhirnya, Bu Zainab mengalah juga. Dia kemudian mengizinkan kami untuk pulang. Tapi sebelumnya, Bu Zainab memberikan kami nasi timbel untuk bekal di perjalanan kami. Setelah mengucapkan terima kasih, kami akhirnya pergi meninggalkan rumah sederhana itu.
Dalam perjalanan pulang, kebisuan mengiringi langkah kami. Hanya, bunyi derik jangkrik yang menemani kebisuan yang tercipta antara kami. Dan, Setelah cukup jauh memasuki hutan, apa yang dikhawatirkan Bu Zainab mulai menjadi kenyataan.
Rimbunnya pohon jati, membatasi jarak pandang kami. Pada akhirnya, kami mulai mengurangi ritme langkah kami menjadi sedikit melambat. Mata kami harus benar-benar jeli agar tidak terjatuh atau tersandung ranting dan rumput menjalar.
Aku mulai mengambil jarak dan berjalan di belakang Fatwa. Berkali-kali aku tersandung ranting pohon dan juga akar yang menyembul ke tanah hingga beberapa kali aku menabrak punggung pria dingin yang tegap itu.
Fatwa menghentikan langkahnya. "Kamu bisa jalan nggak?" tanyanya dengan nada galak.
"Ma-maaf," jawabku sambil menundukkan kepala.
"Hhh..." Dia kembali menghela napasnya, lalu melanjutkan perjalanan.
Karena hari semakin sore, suasana semakin gelap, dan jalanan semakin tidak terlihat. Akhirnya aku semakin tertinggal jauh dari pria dingin itu. Rasanya aku ingin berteriak memanggilnya dan meminta dia untuk menungguku. Namun, lidahku terasa kelu.
Pada akhirnya, aku mengambil ranting panjang untuk aku gunakan sebagai tongkat. Melalui ranting itu aku mulai meraba-raba jalan yang hendak aku lalui. Aku pikir, aku sudah seperti si buta dari gua hantu saja. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Melalui gelap ini, aku bisa merasakan kegelapan bagi orang-orang yang tak bisa melihat. Rasa syukurku semakin kuat karena aku diberikan kesempurnaan mata oleh Tuhan.
Tiba-tiba saja aku melihat sebuah titik yang semakin lama semakin membesar. Dan ternyata, titik itu adalah sosok pria yang aku kagumi. Tanpa meminta izin, dia meraih tanganku dan memegangnya dengan erat.
Serrr!
Darahku mulai berdesir merasakan hangatnya genggaman tangan si pria dingin. Sekujur tubuhku terasa terbakar saat tubuh kami berimpit karena dia memapahku untuk mencari jalan yang benar. Gelanyar aneh semakin kuat aku rasakan saat hembusan napasnya menerpa kulit leherku. Ya Tuhanb... tubuhku lemas seketika saat berdekatan dengan pria yang mungkin saja telah mengisi hatiku. Apa mungkin aku telah jatuh cinta kepada pria dingin bermata elang itu?
Setelah cukup jauh berjalan, akhirnya dia menghentikan langkahnya. Mau tidak mau, aku pun ikut menghentikan langkah. Aku menatap pria dingin itu dengan perasaan heran. Meski samar, tapi aku bisa melihat kerutan di keningnya.
Fatwa mengedarkan pandangannya ke sekeliling hutan belantara ini.
"A-ada apa, Fat?" tanyaku ragu. Sumpah, berada di sampingnya, membuat jiwaku seakan membeku dan lidahku semakin kelu.
"Aku mencari pertigaan saat pertama kali masuk ke hutan ini. Tapi, kenapa tidak ada, ya?" tanyanya.
Aku mulai celingak-celinguk mencari pertigaan yang dia katakan. Namun, sejauh mataku memandang, pertigaan itu tidak terlihat.
Belum sempat aku bertanya lagi, pria dingin itu kembali menarik tanganku. Langkahnya begitu cepat, hingga aku kembali terseok-seok mengikuti langkah lebarnya.
"Fat, bisakah kamu sedikit lebih pelan. Kakiku sakit sekali karena sering tersandung ranting," cicitku, memohon.
"Apa kamu mau, kita jadi santapan raja hutan?" Dia malah bertanya dan menakutiku, menanggapi permohonan dariku.
"Ish, amit-amit. Lo kalo ngomong jan kek gitu, Fat. Nggak lucu, ah!" Seketika bahasa premanku keluar.
Aku benar-benar nggak suka dengan kata-kata yang dilontarkan Fatwa. Ya, aku anggap itu mungkin hanya sekedar bercanda. Tapi jujur saja, candaan seperti itu sungguh tidak lucu sama sekali.
"Siapa juga yang bercanda. Aku serius," tukas Fatwa.
Deg!
Seketika jantungku seakan berhenti berdetak. Ya, Tuhan ... kenapa jadi seperti ini, batinku. Aku semakin merapatkan bahuku. "Fat, gue takut," ucapku lirih.
Tiba-tiba aku mendengar dia terkekeh. Seketika aku melirik ke arahnya. Tampak dia tersenyum begitu lebar memandangku dengan rasa geli yang sulit untuk diungkapkan.
"Lo ngerjain gue?" teriakku.
Dia hanya menggedikan kedua bahunya.
"Ish, sialan!" Aku mulai menggerutu.
Namun, sepertinya dia tak begitu peduli dengan kekesalanku. Pria itu sudah seperti bunglon. Baru saja dia tersenyum padaku, tapi sedetik kemudian, wajahnya kembali datar. Ah, seandainya dia bisa jauh lebih baik sama aku, bisa jauh lebih terbuka dan tidak terlalu kaku, mungkin ceritanya akan berbeda. Dan, aku... Aku akan mensyukuri perjalanan kali ini, khayalku.
Bugh!
"Aww! Ish, bilang-bilang dong kalo mo berhenti," ucapku kesal.
Karena pria dingin itu berhenti tiba-tiba, akhirnya wajahku yang biasa saja mendarat di punggungnya. Kembali aku menatap pria dingin bermata elang itu. Sinar matanya terlihat berkilat di tengah gelapnya malam.
"Sepertinya kita tersesat."
"What?!"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Chachan
heleh...
2022-09-03
2
Merry
ya elah...
2022-06-11
4
Sani
dasar nenek...
2022-05-02
4