Setelah kami ngobrol cukup banyak tentang pengalaman hidup masing-masing, akhirnya aku memutuskan untuk mengajak Asep pulang ke rumah Pak Karyo. Mega di langit memang telah berubah warna, kami setengah berlari karena perjalanan dari area pematang sawah menuju pemukiman warga ternyata lumayan jauh.
Kami tiba di rumah yang kami tinggali bertepatan dengan azan magrib dikumandangkan. Sudah bisa dipastikan jika malam ini, kami tidak bisa mengikuti salat magrib berjemaah dan juga pengajian. Akhirnya, setelah membersihkan diri, kami pergi ke kamar masing-masing untuk menunaikan salat magrib.
Selepas salat, aku menyelonjorkan kedua kakiku yang terasa pegal. Sungguh, penyuluhan hari ini sangat menguras waktu dan tenaga. Ditambah lagi, si Asep hanya bisa menjadi pendengar setia. Sungguh, ujian yang cukup melelahkan otak dan ragaku.
Semilir angin malam yang memasuki celah jendela kamar, pada akhirnya membuat mataku terasa berat. Aku sudah berusaha untuk tidak terpejam. Namun, rasa lelah dan terpaan angin, membuat aku seakan dininabobokan oleh suasana malam. Perlahan tapi pasti, aku mulai terbang merangkai mimpi di bawah alam sadarku.
.
.
.
Seperti biasa, aku kembali terjaga pada saat mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dari ruang tengah. Sudah bisa aku tebak jika orang yang tengah mengaji itu, pastilah orang yang sama dengan orang yang malam kemarin mengaji. Karena teringat kalau aku belum menunaikan salat isya, aku memberanikan diri membuka pintu kamar
Krieett!
Pria itu mendongak saat mendengar bunyi pintu kamar terbuka. Namun, sejurus kemudian dia kembali menundukkan wajahnya saat melihat aku keluar kamar tanpa mengenakan kerudung. Dengan jantung yang berpacu cepat dan napas yang memburu tak beraturan, aku melewati dia untuk pergi ke kamar mandi.
Tak ada tegur sapa yang terucap dari mulut kami masing-masing. Begitu juga saat aku kembali dari kamar mandi. Pria dingin itu hanya tetap fokus pada bacaannya tanpa menghiraukan aku yang tengah melintas di hadapannya.
Tiba di kamar, aku mendengus kesal. Entah kenapa aku merasa sakit hati saat dia bersikap acuh tak acuh seperti itu kepadaku. Berbeda ketika dia bersikap kepada Irma, Tika ataupun Kak Lastri.
Hei, kenapa kamu merasa sakit hati? Memangnya dia siapa kamu? Aku hanya menggelengkan kepala saat mendengar suara hatiku sendiri
Tak ingin ambil pusing dengan sikapnya. Aku segera menunaikan salat isya dilanjutkan tahajud. Lantunan ayat suci Al-Quran masih terdengar, tapi apalah dayaku. Mataku benar-benar mengantuk. Hingga akhirnya aku kembali terpejam.
.
.
.
"Baiklah teman-teman, hari ini kita akan melakukan penyuluhan kembali ke rumah beberapa warga yang letaknya lebih jauh dari yang kemarin," kata Aji, saat kami sedang melakukan briefing sebelum kegiatan dilaksanakan.
"Desa ini sangat terpencil, tapi aku tidak menyangka jika penduduknya begitu padat," tukas Kak Lastri.
"Ya, Kakak benar. Kemarin aku bareng Fatwa mengunjungi beberapa orang penduduk yang satu keluarga itu memiliki enam sampai sebelas anak. Bener, 'kan, Fat?" timpal Irma.
"Hmm." Hanya itu yang keluar dari bibir si pria dingin bermata elang.
"Baiklah, mungkin medan kali ini cukup berbahaya. Kita akan melewati jalanan berbukit dan juga terjal. Jadi, berhati-hatilah! Untuk pembagian tim, semalam sudah saya susun kembali. Tim untuk hari ini, untuk titik utara, penyuluhan akan dilakukan oleh Lastri dan Asep. Untuk titik selatan, Fatwa dan Resti. Irma dan Tika di titik timur. Dan, titik barat sendiri, biar aku yang mengerjakan." Aji memberikan perintah kepada kami.
Setelah selesai sarapan, kami segera berangkat.
"Chi, bawa jaketmu. Kabarnya daerah selatan itu itu lebih menanjak dan berada di bawah kaki gunung. Takut cuacanya agak sedikit ekstrim," saran Kak Lastri.
"Yaah, jaket Chi lagi dicuci, nih. Kemaren jatuh di pematang sawah, jadinya kotor deh," jawabku.
"Ya, aku cuma bawa satu, Chi. Nih, aku pakai," kata Tika.
"Gue juga," timpal Irma.
"Ya, sudah. Kalau gitu, kamu pakai baju yang agak tebelan, deh! Kak Lastri kembali memberikan saran.
Aku mengangguk, lalu mengganti pakaianku. Setelah memasukkan semua keperluan penyuluhan ke dalam tas ransel, akhirnya aku keluar kamar.
"Kita berangkat sekarang?" Aku mencoba membuang rasa gugupku saat berhadapan dengan pria dingin itu.
"Hmm." Kembali, hanya kata itulah yang dia gunakan untuk menanggapi pertanyaanku.
Pria dingin itu berjalan mendahuluiku. Aku hanya mendengus kesal melihat sikapnya yang cuek.
Tahu bakalan kek gini, lebih baik aku minta tukeran lagi ma si Asep, ucapku dalam hati.
.
.
.
Setelah berjalan sejauh 100 m, kami tiba di rumah pertama.
"Assalamu'alaikum!" sapa pria itu.
"Wa'alaikumsalam!"
Seorang gadis belia yang usianya sepertinya tidak jauh beda dengan kami, datang untuk membukakan pintu. Gadis itu terlihat terpana saat melihat sosok tinggi berwajah tampan berdiri di hadapannya. Dan, entah kenapa, aku tidak suka melihat binar matanya. Terlebih lagi saat melihat pria dingin itu tersenyum manis kepada si gadis belia.
Uhh, kenapa semudah itu dia tersenyum kepada orang lain, sedangkan padaku? Aku sudah seperti musuhhnya saja. Mana pernah dia tersenyum manis seperti itu.
"Maaf, mau cari siapa, ya?" tanya gadis belia itu dengan suara yang dibuat mendayu-dayu.
"Begini, Kak. Kami utusan dari SMA 1 yang kebetulan sedang melakukan penyuluhan tentang pentingnya garam beryodium bagi kesehatan tubuh. Kami memohon waktunya sebentar untuk memberikan materi kepada orang-orang yang berada di rumah ini. Apa boleh?" tanya Fatwa.
Sekali lagi si gadis belia tersenyum lebar. "Jangan panggil Kakak, panggil aja Desi, aku rasa kita seumuran,kok," ucapnya kecentilan.
Aku melengos meninggalkan mereka saat seseorang dari dalam rumah menyuruh kami masuk. Setelah dipersilakan duduk, Fatwa akhirnya membuka pembicaraan dengan memberikan penjelasan tentang materi yang telah kami persiapkan sebelumnya.
Sepanjang dia berbicara, aku melihat gadis itu terlihat antusias mendengarkan pemaparan Fatwa. Sesekali dia bertanya kepada Fatwa. Entah kenapa aku semakin tidak suka melihatnya. Apalagi saat gadis itu duduk berdampingan dengan Fatwa untuk melihat lebih dekat benda-benda apa saja yang kami bawa.
35 menit di rumah ini, rasanya sudah seperti 35 minggu bagiku. Aku benar-benar kesal. Aku ingin segera beranjak dari tempat itu. Aku coba memberikan kode kepada Fatwa untuk segera mengakhiri pembicaraannya. Tapi rupanya, si gadis belia seolah memiliki puluhan pertanyaan. Bahkan hal-hal yang tidak perlu dipertanyakan pun, menjadi topik pertanyaan baginya.
"Apa Bang Fatwa sudah punya pacar?" tanya gadis yang bernama Desi.
Aish..., aku segera beranjak ke luar karena sudah muak melihat sikap gadis itu. Tadinya, satu tim dengan laki-laki itu akan membuat hatiku senang. Namun, kenyataannya ... hatiku terasa panas melihat sikap lembutnya dia kepada gadis lain.
Huh, menyebalkan!
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Chachan
sampai sini dulu ya thor
2022-08-01
2
Merry
ah, sepertinya chi cemburu lihat fatwa ramah sama cewek lain
2022-06-11
5
Ilghan
ada yang cemburu niih
2022-03-29
5