Sehari sebelum keberangkatan ke Parentas. Alhamdulillah, barang-barang yang aku jual laku keras. Itu artinya, aku tidak perlu meminta uang kepada orang tuaku untuk bekal selama melakukan observasi di sana.
"Besok kalian berkumpul di sekolah jam 7 tepat. Ingat, tidak boleh terlambat dan kondisi badan harus fit. Karena kita akan berjalan kaki kurang lebih sejauh 5 km menuju desa Parentas," ucap guru kesiswaan.
"Apa tidak ada kendaraan yang melewati jalur itu, Pak?" tanya bapak kepala sekolah.
"Kebetulan tidak ada, Pak. Jalannya cukup terjal dan menanjak. Jadi belum ada kendaraan yang mampu menempuh jalur seperti itu," jawab guru kesiswaan.
"Baiklah anak-anak, anggap saja ini sebuah tantangan yang harus kita taklukkan. Ayo, semuanya semangat!" teriak bapak kepala sekolah.
"Yeaahhh!!" Anak-anak berteriak sebagai bukti jika mereka memiliki semangat yang cukup besar untuk mengikuti observasi Parentas.
Setelah bapak kepala sekolah dan guru kesiswaan memberikan berbagai macam wejangan untuk pelaksanaan besok, akhirnya sekolah dibubarkan. Hari ini kami diberikan dispensasi untuk mempersiapkan keberangkatan observasi di desa Parentas esok hari.
..............
"Bagaimana, Kak? Apa semua barang-barang yang akan dibawa sudah dimasukkan ke dalam ransel?" tanya mama.
Aku mengangguk. "Sudah, Ma," jawabku.
"Mau dibawain bekal apa, Kak? Biar nanti, Mama masakin buat kamu?" tanya mama lagi.
"Nggak usah, Ma. Kakak udah bawa mie cup, kok." Aku kembali menjawab pertanyaan Mama.
"Ish, masak makannya yang instan terus. Mana ada gizinya, Kak" kata Mama, protes.
"Nggak pa-pa, Ma ... 'kan darurat. Heee," jawabku, terkekeh.
"Kamu ini ... kalau dikasih tahu, pasti suka ngeyel. Ya sudah, tidurlah! Besok subuh Mama bangunin kamu biar nggak telat," ucap Mama.
Aku merebahkan tubuhku, kemudian Mama menarik selimut hingga ke dadaku. Sejurus kemudian, dia membelai rambut dan mengecup keningku. Ah, sungguh kehangatan kasih sayang yang sangat luar biasa dari seorang ibu.
Setelah aku memejamkan mata, mama kemudian keluar kamar. Sebelumnya, dia memadamkan lampu kamar agar aku bisa tertidur nyenyak. Jujur saja, tidurku pasti akan terganggu jika lampu menyala.
Keesokan harinya.
Sentuhan tangan dingin nan lembut menyentuh pipiku. Seketika aku mengerjap merasakan dingin yang menusuk kulit wajahku.
"Mama," gumamku.
Wanita berusia sekitar 40 tahunan itu tersenyum penuh kelembutan. "Bangun, Kak. Sudah subuh, solat dulu,gih," perintah mama.
Aku mengangguk. Setelah seluruh jiwaku terkumpul, aku segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit di kamar mandi, aku kemudian keluar dan berpakaian. Lepas itu, aku menunaikan kewajibanku solat subuh.
Waktu menunjukkan pukul 6 tepat. Aku pergi ke ruang makan untuk sarapan. Setelah beberapa menit, akhirnya aku berpamitan kepada orang tuaku.
"Hati-hati di jalan ya, Kak! Ingat, jangan terpisah dari rombongan, dan jangan ngomong seenaknya di daerah orang lain." Mama memberikan nasihat sebelum aku berangkat.
"Iya, Ma," jawabku singkat. Setelah itu, aku berangkat dengan menggendong tas ransel yang penuh oleh peralatan yang akan aku gunakan selama satu pekan di desa tersebut.
Turun dari angkot, aku menaiki becak. Mengingat tas ranselku begitu berat. Aku juga harus menghemat tenaga untuk perjalanan nanti pergi ke desa Parentas dengan jalur yang menanjak.
Tiba di sekolah, aku segera bergabung dengan teman-teman satu geng. Tanpa sengaja, mataku terkunci pada sosok tinggi bertubuh tegap yang sedang berdiri berdampingan dengan Irma. Aku sedikit mengerutkan kening dan mulai bertanya-tanya dalam hati, siapa dia?
Perlahan, aku mendekati Tika dan menepuk bahunya.
"Astaghfirullah!" Tika terkejut dan segera menoleh ke arahku. "Ya ampun, Chi ... kamu ngagetin aja," ucapnya kesal.
Aku hanya bisa nyengir kuda. "Sori! Bisikku. Eh, si Irma lagi ngobrol ma siapa?" Aku bertanya seraya menunjuk Irma dengan tatapan mataku. Radar kepoku mulai berfungsi.
Tika langsung melirik ke arah yang aku tunjukkan. "Oh, sama Fatwa," jawab Tika.
"What? jadi kamu kenal sama dia?" seruku. Aku cukup terkejut mendengar omongan Tika. Jujur, aku kaget mendapati kenyataan jika Tika juga mengenal laki-laki itu. Tunggu! Apa Kak Lastri mengenalnya juga? Atau ... dia sama seperti aku yang tak tahu menahu soal laki-laki itu,
batinku.
"Kamu kenapa sih, Chi? Kok, kek kaget gitu?" tanya Tika.
Aku mengusap kerudungku. "Hee, nggak pa-pa," jawabku cengengesan.
"Eh, apa Kak Lastri kenal dia?" tanyaku lagi.
"Dia siapa?" Tika malah balik bertanya.
Uuh sebel, ucapku dalam hati. Aku merasa, mungkin Tika sedang mengerjai aku. Akhirnya aku hanya diam.
"Deuh, kok malah diam? Kak Lastri kenal sapa, Chi?" Tika kembali mengulang pertanyaannya.
"Ya cowok itu," tukasku.
"Tentu saja Kak Lastri juga mengenalnya. Kami pernah satu kelas dulu waktu kelas 1," jawab Tika.
Tuuh, 'kan bener dugaanku. Berarti cuma aku saja yang tidak mengenalnya. Heleh ... kemana saja gue selama ini? Sampai melewatkan cowok secakep itu di angkatan gue, gerutuku kesal.
Saat sedang asyik - asyiknya melamun, tiba-tiba bunyi peluit yang panjang membuyarkan lamunanku.
"Sudah siap, semuanya?" Guru kesiswaan bertanya melalui pengeras suara yang selalu dia tenteng ke mana-mana.
"Siap, Pak!" Serentak para murid menjawab.
Akhirnya, di bawah komando dia, kami mulai menaiki truk yang sudah disediakan. Perjalanan dimulai pada saat penunjuk waktu tepat berada di angka 7. Dengan semangat 45, para siswa menyanyikan yel - yel lagu kebangsaan sekolah kami agar suasana tidak terasa membosankan.
Satu jam kemudian, truk berhenti tepat di depan pertigaan. Kami disuruh turun oleh guru kesiswaan.
"Ayo anak-anak, turun dan segera berbaris!" titah guru galak itu.
Meskipun kami menggerutu karena masih merasa capek. Tapi melihat sangar wajahnya, kami mengikuti perintah guru herder itu. Kami mulai berbaris untuk menunggu perintah selanjutnya dari guru kesiswaan.
"Baiklah anak-anak, Bapak tekankan sekali lagi, jangan ada kecerobohan dalam melakukan perjalanan ini. Ingatlah, jalan yang kita tempuh sekitar 5 km, jadi kalian harus bisa menjaga stamina kalian agar bisa sampai di sana. Bagi yang merasa kelelahan, boleh istirahat dulu sebentar. Tapi ingat, harus selalu berkelompok, dan jangan terlalu lama. Takut kemalaman tiba di desa tersebut. Apa kalian mengerti?!"
"Siap! Mengerti, Pak!"
Setelah mendapatkan jawaban kami, akhirnya perjalanan untuk observasi ke Parentas dimulai. Sambil berjalan berkelompok, kami mulai menyusuri jalanan menanjak yang dipenuhi bebatuan yang cukup besar. Di kilometer 1, perjalanan cukup lancar. Namun, Semakin lama, jalan tersebut semakin terasa menanjak. Memasuki kilometer 2, kami mulai merasa kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat.
Saat kami sedang duduk di tepi jalan, tiba-tiba melintas dua orang wanita berbeda generasi. Wanita pertama berusia sekitar 40 tahun, sedangkan wanita kedua, kami rasa berusia sekitar di atas 60 tahunan. Entah kenapa wanita itu memancing perhatian kami. Hingga akhirnya, kami berempat mengikuti kedua wanita tersebut.
"Permisi, Bu! Boleh kami jalan bareng Ibu?"
Bersambung
Jangan lupa like, vote komennya yaa 🤗🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Resti Oktaviani
siapa ya
2022-07-03
3
Merry
sapa tuh ibu
2022-05-25
3
Viani
selamat berjuang, chi
2022-05-09
4