Hidupku yang berwarna tapi tanpa rasa, seketika berubah saat aku mengenal laki-laki itu. Aku sendiri tidak mengerti. Dia tidak tampan seperti Aji, tidak ramah seperti Yusuf, tidak pemalu seperti Anton. Tidak pernah tebar pesona seperti Deni, tidak playboy seperti Gustaf, tidak ja'im seperti Awal, tidak sok alim seperti Ali, dan tidak suka mengayomi seperti Gaos.
Hmm, mungkin kalian heran, kenapa aku hanya menyebutkan nama-nama pria dalam ceritaku. Jawabannya cuma ada satu, karena ... sebagian besar temanku berjenis kelamin laki-laki.
Aku sendiri? Hmmm, aku sendiri bingung dengan jati diriku. Aku seorang wanita tulen. Asli, dan itu bisa dibuktikan dengan tamu tak diundang yang selalu datang setiap bulannya. Casing-ku juga cewek abis ya. Tinggi badanku sekitar 159 cm, nanggung banget ya, padahal cuma tinggal satu cm lagi, aku pasti memasuki kategori tinggi yang ideal. Namun apalah daya, meski aku telah melakukan olah raga renang dan basket. Tetap saja tinggiku tak mau bertambah.
Aku bukan gadis tomboy, itu terbukti jika aku masih memiliki rambut panjang yang sering aku kuncir dua sehingga kalau aku berlari tampak bergoyang ke sana kemari. Mungkin mereka menganggapku tomboy karena kegilaanku terhadap bola. Meski jujur saja, aku tidak bisa bermain bola. Bahkan jika aku di bayar pun, aku tidak akan mau bermain bola.
Gila aja, kuy! Bola cuma satu, diperebutkan 20 orang dari kedua tim, berlarian kesana kemari, deuuh ... bisa hilanglah kecantikanku. Meskipun aku sadar, aku enggak pernah memoles diriku dengan make up. Jangankan make up, bedak tipis pun kagak pernah. Aku memang gila bola, tapi khusus untuk team luar negri ya! kalau untuk luar Nagreg? Jangan tanya, aku bahkan enggak hapal nama-nama team luar Nagreg.
Saking gilanya bola, aku sampai punya kebiasaan jelek. Waktu itu lagi demam liga seri A Italia. Gilanya, aku sama teman-teman gesrekku, selalu menjadikan ajang itu untuk mencari sarapan gratis di hari Senin.
Di kelasku, satu-satunya cewek pecinta bola cuma aku. Sedangkan yang lainnya hanya ada 5 orang dari sekian banyak cowok, yang selalu nongkrong tiap hari Sabtu sepulang sekolah dan hari Senin sebelum bel masuk sekolah di tukang hokyen milik bang Dadang.
“Kita megang yang mana nih? Malam Minggu apa malam Senin?” tanya Mumu salah satu temen cowokku.
“Malam senin aja deh. Club-ku maen nih," rengekku, satu-satunya cewek yang berada di tengah-tengah kelima cowok itu. Dia adalah Gustaf, Deni, Mumu, Anjas dan Awal.
Aku yakin teman cowok di kelasku pastilah menyukai bola, hanya saja yang memiliki sifat gesrek sepertiku, ya cuma kelima kunyuk itu.
“Ah elo mah gitu! Pegang club lain napa?” gerutu Deni si cowok yang selalu tebar pesona dan selalu kalah setiap kali taruhan.
Ya! kegiatan gesrekku adalah taruhan menonton bola. Eits jangan salah ya, taruhannya bukan uang, loh! Yaelah, untuk ukuran anak SMA kek kita, mana berani aku taruhan pake uang. Taruhannya hanya membayarkan seporsi hokyen dan segelas es jeruk sebagai sarapan pagi pada orang yang memegang club yang menang. Itu pun bayarannya barengan dari pihak yang kalah (kalau istilah sunda rurubungan/udunan) dan entah kenapa, hoki selalu menyertai hari Seninku. Hingga slogan yang awalnya I hate Monday, berubah menjadi I like Monday bagiku.
Satu lagi nih kawan. Club yang aku pegang dari dulu sampai saat ini, Club Juventus. Apalagi jika duo maut sedang berlari saling menggocek bola. Wuuiih rasanya aku pengen pergi ke Negara pizza itu untuk menyaksikan kelincahan mereka secara langsung. Siapa lagi kalau bukan Inzaghi dan Del Piero. Meski saat ini Del Piero telah tiada, namun pesonanya masih tetap di hati. Inzaghi sendiri, hmm yang pasti semakin tua semakin menawan…wkwkw.
Saking nge-fansnya aku sama kedua orang itu. Dinding kamarku penuh oleh gambar mereka yang aku gunting dari majalah bola. Majalah yang hits di Zamannya (Zaman aku SMA, gaisss). Aku rela menyisihkan uang jajan hanya untuk membeli kaos Inzaghi dan Del Piero yang saat itu bernomor punggung 9 dan 10 (kalau aku tidak salah ingat, maklum gaiss, usiaku sudah tidak muda lagi ya! )
Jika saat itu gadis seumuranku menyisihkan uangnya untuk peralatan bedak dan perawatan tubuh, aku malah rela menyisihkan uang untuk membeli pernak-pernik Juventus dan Michael Jordan. Maklumlah, selain gila bola, aku juga gila basket, gaiss. Nah kalo basket, meski sekarang umurku sudah tidak muda lagi, tapi aku masih sanggup melakukan three point ya…gkgkgk.
"Tau nih si Chichan, resek banget!” jawab Gustaf.
Chichan adalah julukan teman-temanku semenjak aku duduk di bangku SMA. Sebenarnya namaku Resti, tepatnya Octora Resttyani. Tapi sahabatku sering memanggilku Chi, sebagai kata ganti Ti. Nah Chan-nya itu, aku yang nambahin chan\=chantik jadi chichan\=chi yang cantik….wkwkwk, maklum gaiss, aku tuh seorang gadis yang memiliki tingkat kepedean melebihi dosisnya.
Sebenarnya aku bukan gadis cantik. Aku pun sadar itu. Aku juga bukan gadis pintar, meskipun aku anak IPA. Kalau boleh jujur sih, aku pilih IPA karena rasa frustasiku saja. Aku nggak mungkin pilih bahasa, karena aku enggak mahir berbahasa Inggris, apalagi bahasa Arab dan Jepang sebagai bahasa tambahan di kelas bahasa.
Aku juga tidak bisa memilih kelas IPS, karena aku bukan type anak yang mudah menghapal. Aku tidak suka pelajaran sejarah yang seolah dininabobokan saat bu Ida, guru mata pelajaran sejarah menerangkan materinya.
Terlebih lagi akuntansi yang telah menjadi musuh bebuyutanku saat pak Acep memberikan nilai merah di raport kelas 2 SMA. Bagiku pelajaran akuntansi adalah pelajaran yang telah lolos menipu para siswanya. Kenapa aku bilang begitu? Ya kalian bayangin aja, kita harus menghitung uang ratusan juta yang bikin pala kleyengan. Mending kalau uangnya nyata, lumayan, 'kan bisa aku lipat dikit. Lah ini uangnya fiktif. Mana harus balance lagi. Hmm, aku ingat saat aku duduk di kelas satu aku memberikan julukan balance pada guru akuntansiku. Ah benar-benar murid durhaka...
"Ya elah, lo pade kagak tau aje, tu bocil, 'kan cinta mati ma Inzaghi!” ledek Awal.
Aku Cuma nyengir kuda saat mereka meledekku.
"Hooh, ngayal mulu, tuh hidupnya!" Kini giliran si Anjas yang ikut mencemoohku.
"Udah deh, malam Senin atau nggak sama sekali!” ujarku seraya menghampiri abang hokyen.
“Ngutang ya, Bang, bayarnya 'ntar Senin ma mereka!” ujarku menepuk bahu mang Dadang seraya menunjuk ke arah temen-temen gesrekku.
Aku melirik ke arah mereka sebentar untuk memberikan senyum manisku. Senyum manis yang akan mereka anggap sebagai ledekan dariku. Tak lama kemudian aku segera berlari sebelum kelima sobat gesrek itu menimpuk aku menggunakan bungkus snack yang sudah mereka remas-remas menjadi bulatan berukuran bola bekel.
"Ji! Numpang dong!” teriakku pada Aji mantan wakil ketua OSIS nan tampan rupawan yang sedang menyelah motornya.
“Anjay, pake kabur lo Chan!” teriak Gustaf tak terima dengan keputusanku yang pulang tanpa membayar hokyen yang kumakan.
Senyumku semakin mengembang saat motor Aji yang sedang memboncengku melewati anak-anak bola yang gesrek itu.
Pada akhirnya hanya makian dan sumpah serapah dari mulut mereka yang aku dengar, dan perlahan semakin samar.
“Kamu ngerjain mereka lagi, Res?” tanya Aji lembut.
Di antara teman-teman cowokku hanya Aji dan Anton si pria pemalu yang selalu memanggilku dengan normalnya, Res! Itu panggilan mereka untukku.
Sebenarnya aku heran pada diriku sendiri. Kenapa aku harus mendapat perhatian lebih dari salah satu idol di sekolahku. Ya, Aji sang mantan wakil ketua OSIS itu, salah satu idol di sekolah. Selain memiliki wajah yang baby face, orangnya juga baik, dan selalu tersenyum sama siapa saja. Entah itu teman satu angkatan atau beda angkatan. Kedekatanku dengannya bahkan membuat aku dibenci oleh para wanita cantik di angkatanku.
Pernah suatu waktu aku dilabrak sekretaris OSIS yang waktu itu masih menjabat, gara-gara si Aji yang ketua OSIS sedang mengurusi masalahku di ruang BP yang ketahuan membolos di mata pelajaran sosiologi. Satu lagi mata pelajaran yang tidak aku sukai.
Terkadang risih juga dengan kehadiran cowok-cowok ganteng yang justru malah membatasi pergerakanku. Ya kalian bayangin aja. Setiap aku nemplok di cowok laen. Para selebriti ahli ghibah itu pasti dengan semangat '45 menyebar gosip jika aku cewek murahanlah, cewek caperlah, dan cewek-cewek apalah yang julukannya terkesan negatif di telinga orang.
Tapi, bukan seorang Octora Resttyani yang akan bermuram durja dengan gosip-gosip murahan seperti itu. Prinsipku, semakin mereka mencemoohku, semakin aku punya kekuatan untuk membuat mereka kebakaran jenggot dengan kedekatanku bersama para coverboy SMA 1.
Bersambung
Jangan lupa like, vote n komennya yaa 🙏🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Alleyza Azura Rinzani
aku juga Anggota futsal
2022-07-04
1
Ern_sasori
ah...aku baca ini serasa balik k jaman SMA dulu😁😁😁😁😁
kangen🥺🥺🥺
2022-03-13
3
Nemaaa
suka...😍😍 lanjut.....
2022-03-12
3