Kedua wanita berbeda generasi itu menoleh. Keningnya mengernyit saat melihat kami berempat.
"Loh, kalian mau ke mana?" tanya wanita yang berumur sekitar 40 tahunan.
"Kami mau ke desa Parentas, Bu," jawab Kak Lastri.
"Benarkah? Hmm, ya sudah kalau begitu, kita naik saja," ucap wanita itu.
Jalanan semakin terus menanjak. Napas kami seperti sudah tinggal setengahnya lagi. Tapi kedua orang itu, mereka sama sekali tidak terlihat lelah.
Aku dan Irma berhenti sejenak, sementara Kak Lastri dan Tika masih terus mengekor di belakang kedua orang tua itu. Saat aku hendak berjongkok untuk melepas lelah, tiba-tiba ibu tua yang usianya sudah lebih dari separuh baya langsung menoleh ke arahku.
"Barudak zaman ayeuna mah, arogoan! Dibere lempang sakitu gen, mani geus luh lah," ucapnya. (Anak zaman sekarang itu pada manja! Baru jalan segini saja, sudah mengeluh)
"Sakedap atuh, Ni. Da cape!" rengekku. (Sebentar, Nek. Capek)
"Nya, pek ari hayang kepeutingan mah. Mangkaning loba maung di leuweung," lanjut si Nenek itu. (Ya sudah, terserah kalau mau kemalaman. Apalagi banyak harimau di hutan)
Mendengar kata harimau, seketika aku berdiri. Aku dan Irma mengurungkan niat kami beristirahat.
"Nek! Tunggu!" teriak Irma. Dia kemudian menarik tanganku untuk berlari menyusul mereka.
Napas kami semakin tersengal akibat berlari, tapi si nenek itu malah terkekeh menertawakan kami. Sedangkan wanita yang satunya lagi, dia hanya mengulas senyum melihat kedatangan kami.
Akhirnya, kami melanjutkan perjalanan sambil bercerita. Nenek tua itu menceritakan sedikit tentang sejarah desa Parentas. Mereka juga bercerita tentang penyakit gondok yang sering menimpa warga di sana. Bahkan sebagian warga yang sudah tua, menganggap jika penyakit itu merupakan kutukan para tetuanya. Entahlah, tapi kami rasa itu hanya mitos saja.
Saking asyik bercerita, tanpa terasa kami sudah melewati sebuah sisa-sisa bangunan kuno di kiri-kanan jalan.
"Ayo baca do'a memohon keselamatan dulu," ucap wanita yang lebih muda dari si nenek.
Kami mengernyitkan kening. Sebenarnya kami merasa penasaran, tapi melihat kedua orang itu khusu berdo'a, kami mengikutinya.
"Sebenarnya, untuk apa kita melakukan hal itu?" tanyaku heran.
"Kita sudah sampai di pintu gerbang desa. Setiap orang yang memasuki desa ini, diwajibkan untuk berdo'a agar jiwanya terhindar dari pengaruh roh-roh jahat," ucap wanita tersebut.
Aish ... bulu kudukku seketika berdiri mendengar penuturan warga desa itu. Ish, kenapa observasinya harus ke daerah yang memiliki berbagai mitos seperti ini, sih? Aku menggerutu dalam hati.
Tak jauh dari gerbang desa, aku melihat para siswa dan siswi sudah berkumpul di lapang desa. Rupanya, kantor kepala desa terletak hanya beberapa meter setelah gerbang desa. Aku, Irma, Kak Lastri dan Tika segera ikut bergabung dengan para siswa tersebut. Tentunya setelah kami berpamitan kepada kedua wanita berbeda generasi tadi.
"Akhirnya, yang ditunggu dateng juga," ucap sinis Susan kepada kami.
Kami hanya saling pandang mendengar sindiran Susan.
"Sudah-sudah, yang penting mereka sudah datang dalam keadaan selamat," tegur Aji kepada Susan. "Ya sudah, Res, Ka, Ma, Las, silakan gabung dengan yang lainnya," ucap aji. Kami mengangguk dan segera berjalan menuju sekumpulan anak-anak yang tengah duduk di lapang.
"Baiklah anak-anak, itu adalah pembagian kelompoknya. Di lembaran ketua kelompok sudah tertera dengan jelas rumah siapa yang akan kalian tempati selama sepekan ini. Bapak harap, kalian bisa menjaga sikap kalian masing-masing. Jangan pernah mempermalukan nama baik sekolah. Dan atuhi tata tertib dan peraturan yang telah dibuat oleh tuan rumah. Mengerti!" kata guru kesiswaan dengan tegas.
"Mengerti pak!" jawab serempak murid.
"Ya sudah, jika sudah mengerti, silakan kalian berkumpul sesuai dengan kelompoknya masing-masing!" perintah guru kesiswaan lagi.
Kami berempat hanya saling pandang. Karena datang terlambat, jadi kami tidak tahu tentang pembagian kelompok kerja.
"Ayo!" Tiba-tiba suara Aji mengejutkan kami.
"Ayo ke mana?" tanyaku.
"Ya, cari rumah pak Karyo lah," jawab Aji
"Pak Karyo?" Irma bertanya sambil mengernyitkan kening.
"Iya, pak Karyo. Beliau adalah orang yang rumahnya akan kita tempati, jawab Aji.
"Tunggu-tunggu! Kita? Apa itu artinya kami satu kelompok denganmu?" tanya Kak Lastri.
Aji tersenyum sejurus kemudian mengangguk.
"Yeayy, enak nih, satu kelompok ma orang pinter," jawabku bersorak.
"Huuu... dasar, bilang aja lo nggak mo kerja," tukas Irma seraya menarik ujung jilbabku.
"Heee..." Aku hanya bisa cengengesan saat Irma sudah bisa menebak niatku.
'Ayo Ji, aku sudah menemukan rumahnya!"
Deg-deg-deg!
Ritme jantungku berirama begitu cepat saat aku kembali mendengar suara laki-laki itu. Aku terus menatapnya meskipun debaran jantungku semakin kencang. Entahlah, aku sendiri bingung dengan perasaan yang aku miliki. Satu yang pasti, sebelumnya aku tidak pernah mengalami hal yang seperti ini.
"Loh, Sep, kita satu kelompok juga?"
Pertanyaan Irma kepada teman satu kelas kami, membuyarkan lamunanku. Asep namanya, dia salah satu bintang kelas kami. Sayangnya, Asep bukanlah siswa yang senang bergaul. Karena itu kami tidak terlalu mengenalnya dengan baik.
Asep hanya tersenyum kecut menanggapi pertanyaan Irma. Kami pun menghela napas bersama, seperti itulah memang sikap laki-laki tersebut.
Di mana kamu menemukan rumah pak Karyo, Fat?" tanya Aji.
"Tak jauh dari tempat ini. Mungkin hanya sekitar 100 m," jawab pria dingin itu.
"Ya sudah, ayo kita pergi ke sana, biar bisa cepet istirahat juga. Kaki gue pegel nih," ajak Irma.
Aji tersenyum. "Iya, baiklah. Ayo, Fat! Kamu jadi penunjuk jalannya," seru Aji.
Tanpa menjawab, orang itu berjalan begitu saja di depan kami. Huh, benar-benar tidak sopan, keluhku dalam hati.
Memang benar, setelah berjalan sejauh kira-kira 100 m, kami tiba di sebuah rumah sederhana dengan bentuk panggung. Rumah itu terlihat tidak terlalu kecil, tapi juga tidak terlalu besar. Hanya memiliki pekarangan yang cukup luas.
Tiba di rumah, kami langsung disambut baik oleh pak Karyo dan istrinya. Setelah dipersilakan masuk, istrinya pak Karyo langsung mengajak kami ke ruang makan.
"Ayo, kita makan dulu! Kalian pasti lapar setelah melakukan perjalanan jauh," ucap pak Karyo.
"Tidak usah Pak, kami tidak ingin merepotkan Bapak," tolak Aji.
"Ah, tidak merepotkan, kok. Bapak justru senang kalian datang. Jadi rumah ini terasa ramai. Maklum, tidak ada anak" di rumah ini, jawab pak karyo.
Lalu, anak bapak?
"Anak bapak cuma satu. Setelah menikah, dia dibawa suaminya merantau. Jadi, ya berdua lagi deh."
"Serasa pacaran lagi ya, Pak!" timpalku.
"Hehehe, kamu bisa saja, Nak," pungkas pak Karyo
"Sst!" Sementara Kak Lastri menyikut lenganku.
...................
Setelah makan dan solat asar, kami beristirahat sejenak di kamar. Tak lama kemudian, ketukan pintu terdengar. Kak Lastri bangkit untuk membukakan pintu.
"Eh, Fatwa, ada apa?" tanya Kak Lastri begitu mengetahui yang mengetuk pintu adalah pria dingin itu.
"Ada kegiatan pengajian di malam pertama. Bersiaplah!" ucap singkat pria itu.
"Baiklah," jawab kak Lastri.
Aku mendongak karena perasaan ingin melihat pria itu. Namun, sayangnya ... pria dingin bermata elang itu, hanya bisa melengos membalikkan badannya.
"huh, sombong sekali!"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Merry
eng ing eng
2022-05-26
5
Viani
malam pertama.. 😅
2022-05-09
5
Ilghan
ketika judulmu mengelabui aku... 😂
2022-05-07
6