Dengan langkah riang dan senyuman nan lebar, aku mulai hariku. Aku tak pernah mengeluh meskipun orang tuaku tidak pernah memberikan ongkos tambahan untuk naik becak. Aku sadar, aku terlahir di sebuah keluarga yang sangat sederhana. Tapi aku bersyukur, aku bisa masuk di SMA favorit ini, meskipun ayahku hanya seorang sopir bemo dan ibuku adalah ibu rumah tangga sejati. Karena itulah, aku tidak pernah mengeluh jika mereka tidak memberikan aku bekal tambahan hanya untuk ongkos naik becak dari jalan utama menuju ke sekolah. Lagi pula, bukankah berjalan kaki itu lebih menyehatkan?
Tiba di kelas, aku segera mendaratkan bokong di atas bangku. Keadaan kelas masih cukup sepi, karena hari masih pagi. Aku beranjak untuk menemui sahabatku di kelas yang berbeda. Tiba di kelas Tika, aku mulai berbincang-bincang dengannya. Hingga tanpa aku sadari, bunyi bel memaksa kami mengakhiri ghibahan di pagi hari. Dengan berlari kecil, aku kembali ke kelasku.
Tiba di kelas, aku merasa aneh dengan keadaan kelasku. Di sana-sini, teman-teman duduk bergerombol. Aku menghampiri teman sebangku aku.
"Ini ada apa, sih?" tanyaku pada Intan.
"Loh, emang kamu belum denger berita, Chi?" Intan malah balik bertanya kepadaku.
Aku hanya menggelengkan kepala. "Berita apaan, Tan? Bikin kepo saja," ucapku seraya mengeluarkan buku Biologi dari dalam tas.
"Chi, yang sabar, ya?" Tiba-tiba Irma mendekati aku sambil menepuk pelan pundakku.
"Eh, apaan nih?" tanyaku heran.
Aku semakin tidak mengerti saat melihat tatapan teman satu kelas ke arahku. Kenapa mereka memandangi aku seperti itu? batinku.
"Chi!" Tiba-tiba Ratna berteriak dari ambang pintu kelas. Sedetik kemudian, dia menghambur dan memelukku
"Eh, Mi. Ngapain lo ke sini?" tanyaku heran. Masalahnya, ini sudah masuk jam pelajaran. Tapi entah kenapa Ratna justru nekat mampir ke kelasku.
"Chi, Gun Gun Chi, Gun Gun huhuhu, di-dua, huhuhu..." Ratna tiba-tiba menangis sambil terus memanggil nama bocah tengik itu.
"Lah, tuh bocah kenapa? Dia bikin masalah lagi?" Aku balik bertanya pada Ratna, namun Ratna menggelengkan kepalanya.
"Gun Gun, di-dia ... Chi, gue nggak kuat, gue nggak kuat, huhuhu..." Ratna semakin histeris menangis, membuat aku semakin tidak mengerti. Tiba-tiba, Tini menghampiri kami.
"Sudahlah, Mi. Kita do'akan saja. Semoga Gun Gun mendapatkan tempat yang terbaik di sisi Tuhan. Semoga diampuni semua dosa-dosanya, dan diterima semua amalan ibadahnya," ucap Tini sambil mengusap-usap punggung Ratna.
Ratna semakin kencang menangis mendengar ucapan Tini.
Aku mengernyitkan kening saat Tini berkata demikian. "Tunggu-tunggu, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu berbicara seperti itu, Tin? " tanyaku kepada Tini.
"Loh, serius kamu belum tahu apa-apa?" Tini bertanya heran padaku.
"Ini maksudnya apa sih, Tin? Udah dua orang loh, yang nanya aku kek gitu," jawabku semakin tidak mengerti.
"Ya Allah, Chi. Aku pikir kamu sahabatnya Gun Gun. Tapi masak iya, kabar Gun Gun meninggal, kamu nggak tahu. Teman macam apa kamu ini?!"
Jeddarrr!
Aku terkejut mendengar ucapan Tini. Bukan, bukan ucapan yang mempertanyakan tentang teman seperti apa aku. Tapi pernyataan jika Gun Gun meninggal dunia.
"Jangan main-main kamu, Tin. Nggak lucu, ah." Aku mencoba mengingkari perkataan Tini. Aku tahu jika teman-temanku terkadang suka kelewatan kalau sedang bercanda.
"Ya ampun, Chi ... kamu gila, apa? Mana berani aku bercanda urusan maut!" teriak Tini yang tidak terima atas tuduhanku. "Emang kamu nggak tahu kalau dua hari yang lalu Gun Gun mengalami kecelakaan tunggal?" Tini bertanya lagi padaku.
Aku menggelengkan kepala.
"Chi, hari Selasa kemarin, Gun Gun jatuh dari motor. Kepalanya terbentur aspal. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit. Keesokan harinya, dia kembali ke rumah, karena pihak rumah sakit sudah angkat tangan dengan kondisi Gun Gun. Semalam dia meninggal." Tini yang memang tetangga dekat Gun Gun, menceritakan kronologi kecelakaan yang menimpa Gun Gun.
Seketika kakiku terasa lemas mendengar cerita Tini. Dua hari dia terbaring lemah tak berdaya, tapi kenapa tidak ada orang yang memberitahukan hal itu kepadaku. Heri, aku harus tanya Heri. Kenapa dia tega tidak memberi tahu aku tentang kecelakaan yang menimpa Gun Gun? batinku
Aku segera berlari menuju kelas Heri. Teriakan Ratna, Tini, Intan dan Irma tidak aku hiraukan. Aku butuh jawaban. Dan jawaban itu hanya ada dalam diri Heri, teman sebangku Gun Gun
Plak!
Tanganku secara reflek menampar pipi Heri. Namun, sepertinya Heri sudah bisa menebak alasan dari perbuatanku.
"Tega lo, Her. Tega lo nyembunyiin semua ini dari gue!" teriakku penuh emosi.
Heri hanya menundukkan kepalanya melihat kemarahanku.
"Jawab aku, Her! Kenapa lo sembunyiin semua ini dari gue? Apa lo tahu seperti apa perasaan gue saat ini? Gue seperti seorang sahabat yang kejam. Sahabat yang tak berperasaan karena tidak pernah menjenguk sahabatnya sendiri. Kenapa Her? Kenapa lo nggak pernah kasih tahu gue tentang kecelakaan yang menimpa Gun Gun, kenapa?" teriakku mencengkram kerah seragam batik milik Heri.
Namun, bukan ucapan yang aku dapat sebagai jawaban. Hanya isak tangis yang terasa sangat berat yang bisa aku dapatkan dari Heri.
"Ma-maafkan aku, Chi. A-aku tidak bermaksud untuk menyembunyikan semua ini dari kamu. Ta-tapi saat itu, Gun Gun meminta aku untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun. Terutama sama kamu. Terlebih lagi, dia tahu jika kamu tengah mengikuti Olimpiade Sains. Dia takut konsentrasi kamu akan pecah dan kamu bisa gagal dalam meraih kemenangan. Di-dia berpesan kalau kamu berhasil menjadi juara, maka kamu harus mempersembahkan medali keberhasilan itu untuknya. I-itu pesan dia, Chi," ucap Heri.
Tubuhku seakan tak bertulang mendengar penuturan Heri. "Ja-jadi dia sempat sadar?" tanyaku pelan. Cengkeraman di kerah baju Heri mulai terlepas karena kedua tanganku terasa lemas.
Heri menganggukkan kepalanya.
Brugh!
Kakiku benar-benar sudah tidak bisa menopang tubuhku. Aku jatuh terduduk sambil meremas dadaku yang mulai terasa sesak. Tanpa sadar aku berteriak memanggil nama Gun Gun.
Heri ikut berjongkok, dia merangkul dan berusaha menenangkan aku. Namun, seketika aku berontak. Aku berlari menuju masjid sekolah. Air mata sudah tidak mampu aku bendung lagi.
Brugh!
Lagi dan lagi, aku bertabrakan dengan si pria dingin bermata elang itu. Tapi kekacauan hatiku memaksa aku untuk tidak mempedulikan tatapannya. Satu-satunya yang aku butuhkan adalah wudhu dan solat. Aku ingin menumpahkan dan mengadukan semua rasa perihku di rumah Allah.
"Kuatkan aku! Kuatkan aku!"
Hanya kalimat itu yang aku ucap sepanjang perjalananku menuju rumah Tuhan. Tiba di masjid sekolah, bergegas aku pergi ke kamar mandi dan mengunci diri di sana.
Bersambung
Jangan lupa like, vote n komennya yaa 🤗🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Merry
sabar ya chi
2022-05-22
2
Ilghan
innalillahi...
2022-05-07
4
Chachan
ya Allah... gun gun...
2022-05-02
6