Keesokan harinya, aku berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Rencananya, aku akan menawarkan pakaian itu kepada teman-teman sebelum bel masuk berbunyi.
Tiba di sekolah, aku segera menyimpan tas di kolong meja. Tak lupa, aku simpan barang dagangan yang sudah dipesan oleh ketiga temanku. Kemudian aku membawa paper bag yang berisi barang dagangan itu ke kelas IPS.
"Ayo dong, Dan. Lo beli satu napa!" rengekku pada Dadan.
"Dih, lo mah maksa jualannya," ucap Sinta.
"Bodo, suka-suka gue!" pungkasku.
Sinta pergi begitu saja sambil mencibirku. Tapi aku tetap berusaha tenang. Aku bukan tipe orang yang gampang terpancing emosi. Yang penting usahaku halal, apa pun akan aku lakukan selama itu tidak merugikan orang lain. Aku sedang butuh uang, dan berdagang di usiaku ... sepertinya itu bukan masalah.
Dadan membolak-balik barang-barang yang aku bawa. Pilihannya jatuh kepada kaos yang berwarna biru navy.
"Berapa nih?" tanya Dadan.
"Murah, kok. Cuman 25 ribu," ucapku.
"Tapi, sekarang gue nggak bawa uang, Chi. Gimana kalo besok?" tanya Dadan.
"Oke, nggak masalah," jawabku.
"Ya udah, nih ambil!" ucap Dadan seraya menyodorkan kaos itu.
"Loh, kok dibalikin lagi? Lo nggak jadi beli?" tanyaku, heran.
"Kan duitnya besok, ya udah, barangnya juga besok aja deh," tukas Dadan.
"Aish, lo bawa aja deh! Berat kalo harus gue bawa lagi," ucapku.
"Lo percaya ma gue?" Dadan malah bertanya.
"Ya elah ... kalo mang lo nggak bayar, gue tinggal minta pertanggungjawaban pak Ana aja, hahaha..." ucapku sambil berlalu pergi dari kelas Dadan.
"Ish, sialan lo!"
Aku masih bisa mendengarkan umpatan Dadan sebelum aku benar-benar keluar dari kelas IPS.
Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Waktu menunjukkan pukul 06.55. Artinya, 5 menit lagi, bel berbunyi. Aku segera melangkahkan kakiku menuju kelas.
Saat aku melintas di kelas IPA 1, tiba-tiba seseorang memanggil.
"Res!"
"Yup!" Aku menoleh seketika. Kulihat Aji berjalan menghampiri.
"Apaan itu?" tanya Aji. Bola matanya menunjuk paper bag yang aku bawa.
"Oh ini barang daganganku, Ji," jawabku, jujur.
Aji mengernyitkan keningnya. "Kamu jualan?" Aji kembali bertanya.
Aku mengangguk.
"Kenapa?"
"Res butuh uang untuk mengikuti observasi ke Parentas," ucapku tanpa malu.
Aji tersenyum, dia kemudian melirik jam tangannya. "Ya sudah, nanti istirahat main ke kelasku, ya. Aku mau lihat dagangan kamu. Siapa tahu ada yang cocok," ucap Aji.
Aku tersenyum gembira mendengar perkataan Aji. "Oke," jawabku.
Setelah berbincang singkat, aku kembali mengayunkan langkah menuju kelas.
.
.
.
Bel masuk berbunyi beberapa detik setelah aku mendaratkan bokong di bangku.
"Dari mana aja, lo?" Irma berbisik di telingaku.
"Jualan," jawabku berbisik pula.
"Ish, gue cari lo ke kantin tadi. Tapi ternyata, lo nggak ada," keluh irma.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar keluhan sobat cemprengku itu.
Beberapa menit kemudian, Pak Dio, guru Kimia datang. Setelah mengucap salam dan berdoa, beliau kemudian menerangkan materi untuk hari ini. Dua jam pelajaran kami lalui dengan berbagai rumus yang beliau ajarkan.
Setelah bel pergantian mata pelajaran berbunyi, Pak Dudung, guru Matematika kemudian masuk ke dalam kelas. Semua anak memasang muka gembira karena Pak Dudung merupakan salah satu guru yang kami nantikan kedatangannya. Beliau seorang guru yang baik hati. Selalu menerangkan materi secara terperinci. Ketika kami terlihat sudah jemu, beliau pun akan melakukan sebuah permainan matematika yang bisa membuat logika kami kembali terasah.
Tanpa terasa, 2 jam mata pelajaran telah kami lalui juga. Bel istirahat berbunyi. Semua siswa kembali bersorak mendengar panggilan mengisi perut mereka.
"Kantin, yuk!" ajak Irma.
"Sori Ma, gue mo keliling dulu bentar," tolakku.
"Oh, ya udah. Gue duluan ya!" pamit Irma.
"Yuk, Dek. Kakak kantin dulu, ya!" Kak Lastri pun ikut pamit.
Aku mengangguk. Setelah mereka hilang di balik pintu, aku pergi ke kelas Aji. Tiba di sana, aku lihat kelas IPA 1, kosong. Akhirnya aku melangkahkan kaki menuju MaKo Pramuka.
Aku mulai menawarkan dagangan kepada anak-anak Pramuka yang sedang berkumpul. Kebetulan di sana juga ada beberapa anak junior yang ikut nimbrung. Satu per satu, anak-anak junior itu membuka daganganku. Dan alhamdulillah, beberapa dari mereka ada yang tertarik dengan barang daganganku.
Aku mulai menghitung hasil dagangan yang aku bawa dari Iva. Setelah dihitung-hitung, alhamdulillah laba yang terkumpul sudah mencukupi untuk biaya observasi, bahkan lebih. Senyum lebar tentu saja tersungging dari bibirku yang kata orang lain mungil, heee.
Aku membuka paper bag. Masih ada sisa tiga buah kaos. Aku teringat Aji. Akhirnya aku pamit sama anak-anak Pramuka. Tiba di depan pintu kelas IPA 1, aku melihat Aji tengah asyik berkutat dengan bukunya. Aku menghampiri dia.
"Hai, Ji!" sapaku.
Aji mendongak. Wajah innocent itu kembali tersenyum padaku. "Kemana aja, ditungguin dari tadi juga," ucapnya.
"Sori Ji, Res tadi mampir ka MaKo dulu. Nawarin baju ma anak-anak Pramuka," jawabku.
" Gimana? Laku?" tanya Aji lagi.
Aku tersenyum. "Laku dong," jawabku sambil menunjukkan hasil penjualanku.
"Alhamdulillah." Aji mengucap syukur atas keberhasilan aku menjual barang dagangan milik Iva.
"Kamu nggak mau beli, Ji?" tanyaku.
"Loh, katanya sudah laku," jawab Aji.
"Ya, tapi masih ada sisa tiga buah lagi," ucapku.
"Ya sudah, coba keluarkan!" perintah Aji.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Kemudian mengeluarkan ketiga buah kaos itu dan menaruhnya di hadapan Aji.
Aji mulai mengamati pakaian itu satu per satu. Dia kemudian membuka salah satu kaos yang berwarna putih. "Aku pilih yang ini saja," katanya sambil menunjukkan kaos itu padaku.
"Putih?" Aku bertanya sambil mengerutkan kening.
"Hem-eh, memangnya kenapa?" tanya Aji.
"Kamu nggak takut kotor, Ji?" Aku balik bertanya.
"Aduh, Res ... aku bukan anak kecil lagi, ya! Lagian, putih adalah warna kesukaan aku," ucap Aji seraya mengacak kerudungku.
'Ish, Aji ... kusut nih!" Aku merengut kepada Aji. Ya, salah satu sikap yang tidak aku sukai dari Aji yaitu, dia selalu memperlakukan aku seperti anak kecil.
"Hahaha,...." Aji hanya tertawa melihat tingkahku. Aku pun semakin mengerucutkan bibirku. "Sudah-sudah, jangan manyun lagi. Jelek, ah!" ucap Aji.
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba pertanyaan seseorang menghentikan obrolan kami.
"Ji, kamu taruh di mana naskah pidato buat khutbah besok?"
Aku mendongak.
Deg!
Jantungku seakan berhenti berdetak ketika mendapati cowok dingin itu. Tatapan matanya yang setajam elang seakan menusuk saat dia melihat aku duduk berdampingan bersama Aji.
"Aku taruh di dalam laci meja khutbah, Fat," jawab Aji.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, pria dingin itu pergi begitu saja.
"Ish, nggak sopan!" gumamku yang masih bisa di dengar oleh Aji.
Aji tersenyum. "Sudah, lupakan saja! Fatwa memang seperti itu orangnya," ucap Aji sambil kembali fokus melipat baju pilihannya.
"Fatwa?" Aku mengulang kalimat Aji.
"Iya, Fatwa Immamuddin. Dia salah satu anak Irema," jawab Aji.
"Oh, dia adik kelas kita?" tanyaku.
"Hahaha, Bukanlah ... kita seangkatan," jawab Aji.
"Benarkah?"
"Loh, memangnya kamu nggak tahu?"
Aku menggelengkan kepala.
"Ya, wajar sih, dia emang termasuk pria introvert. Jadi banyak orang yang tidak mengenalnya," ucap Aji.
Aku hanya manggut-manggut saja menanggapi pernyataan Aji.
'Ya sudah Ji, bentar lagi masuk kelas, Res balik dulu ya!" pamitku.
Aji pun hanya bisa mengangguk.
Bersambung
Jangan lupa like, vote n komennya yaa 🤗🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
🍁ᴬᴿᵂ☕ Rest
chi gimana sih, katanya terkenal, tapi teman satu angkatan, dia nggak tahu
2022-07-25
3
Merry
alhamdulillah... laku semua ya, chi...
2022-05-25
3
Ilghan
aduh, chi...
teman seangkatan kok nggak tau...
2022-05-07
5