Tak lama setelah kejadian, kedua gadis itu diminta untuk menghadap bersama ke ruang madam Kaili.
"Nah, sekarang katakan alasan kalian hingga berani menghancurkan kedai milikku." ucap nyonya Kai dengan senyum dipenuhi aura membunuh.
Ruangan itu lenggang selama beberapa menit, tak ada yang berani untuk angkat bicara terlebih dahulu.
Jiao Yun serta An hanya saling pandang dengan sinis dan langsung membuang muka ke sisi berlawanan mereka, Jieru yang sudah sedari tadi memperhatikan tingkah keduanya hanya bisa menghela nafas panjang.
Lalu, An akhirnya membuka pembicaraan.
"Saya mohon maaf sebelumnya, Nyonya Kai. Saya bukannya ingin membela diri, tapi saya juga menjadi korban di sini!" seru An dengan tegas.
"I--itu bohong! Kau memancingku dengan mempermainkan aku duluan kan?!" cela Jiao Yun tak mau kalah.
"Kapan aku melakukannya Kak? Bukankah Kakak sendiri yang mencari ribut disaat aku sedang membantu kakak pelayan yang lain?" sinis An seraya melirik Jiao dengan malas.
"Meski begitu tetap kau yang sa---"
"Jangan memotong perkataannya Jiao Yun! Lanjutkan ucapanmu, An." potong nyonya Kai geram.
Jiao Yun kini sangat kesal karena perlakuan yang ia terima. Namun, dia memutuskan untuk tak menunjukkannya saat ini.
"Dasar siluman rubah... " Jiao mencibir pelan.
"Baiklah Nyonya, jadi sewaktu aku sedang membantu para kakak, kak Jiao tiba-tiba datang dan memaksaku untuk bertarung dengannya. Karena aku adalah orang yang benci akan kekerasan, aku menolak ajakan itu dengan tegas, tapi kak Jiao masih bersikeras dan malah menyerang sampai kedai Anda jadi hancur seperti yang Anda lihat." jelas An penuh air mata.
"Aku tahu itu kebanyakan salahnya, tolong beri kak Jiao hukuman yang ringan Nyonya." lanjut gadis itu lirih.
Jieru terkekeh kecil di belakang sang nyonya, dia seperti sedang membaca pikiran An yang penuh dengan naskah drama.
Sementara, nyonya Kai tampak terharu akan ketulusan An, wanita itu merasa iba setelah mendengar perkataan yang dilontarkan olehnya.
"Astaga, aku tak menyangka kejadiannya seperti itu Jiao Yun." tambah Jieru memanasi.
"Padahal kau terluka karenanya, kau malah ingin aku memberinya hukuman ringan? Aku tak mentolerir seseorang yang melukai anak buahku. Walaupun pelakunya anakku sendiri." balas wanita itu mantap.
"Biar begitu, Anda sudah menyembuhkan luka saya. Bagi saya yang orang biasa ini, menggunakan tanaman obat mujarab seperti yang Nyonya berikan adalah sebuah harta berharga." puji An tersenyum.
"Saya sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, Nyonya Kaili." sambung gadis itu sopan seraya membungkukkan tubuhnya.
"Itu bohong Nyonya! Bukankah tak adil kalau Anda hanya mempercayai perkataannya saja?! Anda seharusnya juga bertanya alasan saya melakukan semua ini!" timpal Jiao Yun murka.
"Walau kau tak bilang, pelayan lain juga sudah melapor padaku sebelum kalian berdua masuk ke sini. Lagipula, ini bukanlah kali pertama kau berbuat kekacauan Nona Yun." sindir nyonya Kai yang mengerutkan keningnya.
"Dasar idiot, harusnya tetaplah diam seperti boneka sampai keluar dari sini, padahal aku sudah berusaha menolongnya." batin An lelah.
An tersenyum penuh ejekan yang nyaris tak terlihat, senyum itu dikhususkan untuk Jiao Yun seorang, ia kembali memasang wajah penuh iba miliknya beberapa detik kemudian.
"Nyonya, tampaknya Kak Jiao benar. Akulah yang menyebabkan semua kekacauan ini, jika saja aku tak mengambil pekerjaan miliknya, dia tak akan marah besar seperti itu." tutur An penuh penyesalan.
"Hentikan, sudah aku putuskan bahwa Jiao Yun harus introspeksi diri dalam kamarnya semalaman sebagai hukuman. Sebagai hukuman tambahan kau tak boleh merasa kesal ataupun sedih, karena cuaca hari ini akan bergantung padamu. Kau tak mau reputasi Nona Cuaca milikmu hancur hanya dalam sehari kan?" ujar Nyonya Kai mengancam sambil menatap mata Jiao Yun lekat.
Dengan berat hati dan perasaan kesal yang amat dalam, Jiao Yun hanya bisa menyetujui perintah dari wanita yang ada dihadapannya sekarang.
"Baik, Nyonya. Terima kasih atas kebaikan hati Anda." balas Jiao tertunduk, agar tak ada yang melihat wajahnya.
"Awas saja kau, aku pasti akan membalasmu." batin gadis itu bertekad.
"Jie, kau bantulah anak anak lain dengan berbelanja kebutuhan acara nanti malam, mereka pasti masih sibuk membereskan kedai." titah wanita itu santai.
"Baiklah Nyonya, akan saya lakukan sebaik mungkin." sahut Jieru.
Kemudian, nyonya Kai menatap tamu terkecilnya, dia menyeringai dan berkata, "Kalau kau ingin menebus kesalahanmu, bantulah Jie berbelanja nanti. Oh iya, karena ini adalah malam besar, kau yang akan mengisi panggung utamanya."
"Akh sial! Itu pasti melelahkan, tapi aku harus mendapat informasi sebanyak yang aku bisa, tak mungkin aku melewatkan kesempatan ini begitu saja." pikir An masih menimbang keuntungan untuknya.
"Tentu saja! Aku akan berusaha sekuat mungkin Nyonya. Namun, Anda tak lupa akan janji Anda kan?" goda An bersamaan senyum jahat miliknya.
Jie yang mendengar ucapan An saat ini tengah berwajah pucat.
"Apa yang ingin kau lakukan An?!" batin Jieru panik, dia takut sang nyonya tersinggung dengan ucapan sembrono gadis itu.
Ekspresi serius yang dari tadi terpampang di wajah nyonya Kai kini berubah menjadi lebih santai, tampaknya dia terkejut atas keberanian dari anak didepannya itu.
"Hahaha! Iya ya, hampir saja aku lupa akan itu, kau tenang saja, sekarang aku telah ingat dengan janjiku." balas nyonya Kai seraya tertawa.
Gadis dibelakangnya bernafas lega setelah melihat reaksi wanita itu.
Usai pembicaraan yang panjang dan menguras tenaga, nyonya Kai meminta ketiga tamunya untuk keluar dan menjalankan tugas masing-masing.
Tak disangka, Jiao lah yang pertama kali melangkahkan kaki dan keluar dari ruangan, dia berjalan cepat menuju kamarnya dengan perasaan yang masih terus berkecamuk.
Saat Jie dan An juga akan keluar, nyonya Kai tiba-tiba memanggil An dan berkata, "Mulai sekarang kau tak boleh memanggilku nyonya."
"Jadi kau mau dipanggil apa? Nenek?" ledek An tanpa suara.
"Lalu, saya harus memanggil Anda apa?" tanya An berpura-pura bingung.
"Aku lebih suka dipanggil madam, itu lebih keren." sahut wanita itu bangga dan mengedipkan sebelah matanya.
"Baik, Madam. Kalau begitu saya permisi." An menunduk hormat lalu bergegas pergi.
"Apa dia tak ingat dengan umurnya? Itu menggelikan... " gumam gadis itu geli.
Setelah selesai memeriksa pekerjaan para pelayan, Jie dan An langsung pergi untuk berbelanja ditemani dengan matahari yang panasnya hingga ke ubun-ubun kepala.
Kembali ke masa sekarang, langit telah berganti warna, yang semula berwarna biru cerah kini menjadi oranye kemerahan. Pada masa itu terlihat seorang gadis muda yang sedang tidur dengan nyamannya di atas sebuah pohon tua yang rindang.
Tak berselang lama, ia terbangun karena ada seorang pria yang meneriaki dirinya dari bawah.
"Hoi! Kau yang di sana!" teriak seorang pria yang tampak baru saja turun dari bukit.
"Hah, siapa? Padahal aku baru saja ingin tidur... " gumam An sambil membersihkan air liur pada ujung bibirnya.
Sepertinya dia tak sadar telah tertidur ketika sedang mengenang beberapa kejadian di tiga hari berturut-turut ini.
"Apa Paman?!" seru An
"Cepat turun kau! Itu berbahaya!" pekik paman di bawah melambai-lambaikan tangannya.
"Awas Paman!" balas gadis itu nyaring.
"Apa? Kenapa dia berkata awas?" gumam lelaki itu penuh tanya.
Lantas, An meloncat dari dahan ke dahan dan sampai di bawah. Sewaktu An melihat pria itu, ia sudah terduduk di tanah dengan mata melebar.
"Hei Paman, kau kenapa?" tanya An sok lugu.
Pria itu tersadar dan mulai berteriak, "Harusnya aku yang tanya begitu! Bagaimana bisa kau tidur di atas pohon setinggi itu?!"
"Jelas karena aku memanjatnya, kan? Memangnya aku bisa naik jika tak memanjatnya lebih dulu?" sahut gadis itu memasang wajah tak berdosa.
"Itu mudah dilakukan untuk sekarang ini." gumam An senang dengan pencapaian tubuhnya.
"Me--memanjatnya? Ka--kau?" tanya paman itu tak percaya.
An mengangguk girang membalas perkataan lelaki itu, dia dengan pelan melirik An dari atas hingga bawah, memastikan sesuatu.
"Dilihat dari manapun... Dia pasti bocah gila!" terka pria itu ternganga.
"Apa apaan pria ini? Mulutnya akan dimasuki lalat kalau seperti itu terus." batin gadis itu.
"Su--sudahlah, kurasa aku terlalu banyak minum arak, aku pasti masih berhalusinasi. Bagaimana mungkin ada seorang gadis yang memanjat pohon setinggi itu? Hahaha!" lanjutnya penuh tawa, ia lalu menatap An lagi dan mulai berkeringat dingin.
"Ja--jadi kau, su--sungguh memanjatnya?" tanya paman itu lagi masih ragu.
"Iya Paman." jawab An terkekeh.
"Perhatikan aku kalau Paman masih tak percaya," An kemudian memanjat pohon itu lagi dengan tiga kali lompatan, dia lalu turun dengan cara meloncat dari atas.
Lelaki itu hanya bisa tercengang dengan apa yang ia lihat, rahangnya sampai menegang sangking kagetnya.
"Ah, tampaknya memang benar, aku harus berhenti minum arak mulai sekarang... " gumamnya lemas.
"Ngomong-ngomong Paman, apa yang kau lakukan di bukit sesiang ini?" tanya An mendadak.
"Hah? Oh, warga sedang heboh karena mereka menemukan jejak siluman. Aku kemari juga mau melihat jejak langka itu." ucap lelaki itu tersenyum lebar.
"A--apa? Jejak siluman kau bilang!?" seru An penasaran, matanya berbinar cerah mendengar hal yang sangat ingin dia dengar.
"Hm, jika memang ada siluman di sekitar sini harusnya aku merasakannya, apa ini tandanya chi ku masih lemah?" pikir gadis itu menerka-nerka.
"Iya! Mereka menemukan bekas pukulan yang tembus sampai sisi seberang! Kalau bukan siluman tingkat atas apalagi?!" kata sang paman dengan bersemangat.
"Tunggu, kenapa wajahmu menyebalkan begitu?" lanjutnya agak kesal.
"Wajahku? Memangnya ada apa dengan wajahku?" balas gadis itu geram.
"Manusia satu ini! Pantas saja aku tak merasakan keberadaan khusus!" oceh An tanpa suara.
"Yah, karena itu tempat ini berbahaya jadi jangan main di sini lagi, kau mengerti? Cepat pulang!" lelaki itu mengusir dengan galak.
"Iya iya, aku pergi, selamat tinggal Paman." pamit An bergegas pergi.
"Tampaknya di sini kebanyakan adalah orang biasa, hanya karena bekas pukulan kecil saja mereka sudah heboh begitu. Tapi baguslah... " gumam gadis itu senang.
Dia dengan bersemangat melompati beberapa atap untuk segera tiba ke kedai.
"Nanti aku makan apa ya... " ucap gadis itu asal diikuti suara perut yang protes meminta jatah.
Gadis itu pulang kini hanya memikirkan hal kecil, ia tak pernah memikirkan kejadian besar apa yang akan menimpanya malam ini.
...Catatan :...
Pohon tua di bukit belakang memiliki ukuran seperti bangunan berlantai tiga, pohon tertua dan paling keramat yang masih hidup di sana.
...•...
...•...
...•...
...•...
TERIMA KASIH BANYAK PADA PARA PEMBACA, NANTIKAN TERUS KELANJUTAN KISAH INI YAA!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments