'Tak! Tttraakk! Ttaakk!'
Semua orang menggigil. Menggetarkan gigi mereka dengan cukup keras. Sementara itu, kedua lengan mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk memeluk tubuh mereka sendiri.
Menambah sedikit perlindungan untuk badan yang hanya dilapisi selembar kain tipis berwarna coklat itu.
Hawa dingin menusuk hingga ke dalam tulang mereka. Tak memberikan kesempatan maupun ampunan bagi mereka.
Mereka semua, yaitu para 'pekerja' bersembunyi di dalam goa tambang ini. Jauh di dalam tanah. Setidaknya dengan begitu, mereka merasa sedikit lebih hangat daripada berada di permukaan tanah.
Dengan hawa dingin yang mematikan ini, tak ada satu orang pun penjaga maupun prajurit yang mau memastikan mereka bekerja atau tidak.
Mereka hanya akan datang ketika pagi hari untuk meminta hasil apapun yang diperoleh para pekerja.
Sebagian menyerahkan batu. Sebagian lagi menyerahkan bongkahan besi. Dan beberapa yang beruntung akan menyerahkan butiran emas.
Semua itu akan ditukar dengan sampah yang kini berupa tulang belulang dari hewan yang baru saja dimakan oleh para bangsawan, sebagai satu-satunya sumber makanan mereka di musim dingin ini.
Di dalam tambang itu....
Banyak orang yang telah mengumpulkan setidaknya beberapa bongkah hasil tambang untuk diserahkan esok hari, telah duduk di tanah. Berusaha untuk menjaga tubuh mereka tetap hangat.
"Yoo.... Nomor tiga puluh.... Kau nampak sehat-sehat saja ya?" Ucap seorang Pria tua dengan tubuh yang menggigil itu.
Nomor 30 yang dimaksud tak lain adalah Dimas karena Ia membawa papan dengan nomor 30 di dadanya.
"Sehat? Jika kau pikir jari jemariku yang sudah mulai membiru ini sehat, kurasa penglihatanmu sudah rusak." Balas Dimas dengan sikap yang tetap saja dingin.
Obrolan ringan berlangsung antara mereka berdua.
Di satu sisi, Pria tua itu mengenal Dimas sebagai si nomor 30. Sedangkan Dimas sendiri mengenal Pria itu sebagai si nomor 47.
"47, berapa lama kau pikir kita bisa bertahan?" Tanya Dimas dengan tubuh yang menggigil kedinginan itu.
Pria tua itu pun hanya tersenyum seakan sudah menerima kenyataan ini.
"30, melihat keadaan ini.... Setengah dari kita akan mati 2 hari lagi. Sementara itu, sampah yang mereka kirim akan tetap sama. Membuat sisa setengahnya memiliki lebih banyak pasokan makanan.
Dengan kata lain, sisa setengah dari kita akan mati di hari ketiga atau keempat. Bagi mereka yang mau memakan bangkai kita yang telah mati.... Mungkin akan selamat hingga hari ke sepuluh." Jelas Pria tua itu sambil tertawa.
Dimas yang mendengarnya tentu saja merasa terkejut dan ngeri.
Ia telah tahu bahwa kemungkinan besar dirinya akan mati di dunia ini, cepat atau lambat.
Akan tetapi, Ia takkan menyangka bahwa dirinya akan mati dengan cara yang paling buruk yang bisa dibayangkan olehnya. Yaitu mati karena kelaparan dan kedinginan, serta kemungkinan mati karena dibunuh 'pekerja' yang lain agar bisa menjadi bahan makanan.
"Oi.... 47. Candaanmu terlalu berlebihan kau tahu?" Balas Dimas sambil menyipitkan matanya.
"Hahaha.... Candaan ya? Kalau begitu mari kita lihat, seberapa lama tubuh tua ini akan bertahan." Balas si nomor 47 itu sambil tertawa.
Mungkin....
Hanya sebuah kemungkinan kecil yang ada di dalam pikiran Dimas.
Yaitu Pria tua ini tertawa bukan karena tak takut akan kematian. Tapi karena Ia menyambut kematian sebagai penyelamat dari penderitaan hidup yang begitu menjijikkan ini.
Dengan pikiran terakhirnya itu, Dimas mempererat pelukan pada dirinya sendiri dan tertidur di tengah dinginnya goa tambang ini.
......***......
...- Hari Berikutnya -...
"Cepat serahkan semua hasil tambang kalian!" Teriak salah satu dari 5 prajurit yang datang ke pintu masuk tambang ini.
Mereka mengenakan zirah besi yang tebal ditambah dengan jubah dengan banyak bulu, cukup untuk menghangatkan tubuh mereka di tengah badai salju itu.
Dengan tombak yang mengarah ke para 'pekerja' itu, para prajurit itu mengumpulkan semua hasil tambang mereka. Baik itu bongkahan batu, besi, perak maupun emas.
Sebagai gantinya, mereka menukarnya dengan satu karung sisa makanan para penduduk di wilayah bangsawan. Dengan kata lain.... Tulang dari berbagai hewan sisa makanan mereka kemarin.
Jika beruntung, sebagian dari tulang itu masih memiliki sedikit daging untuk mengganjal perut. Tapi jika tidak....
Maka para pekerja itu harus memaksa diri mereka untuk memakan tulang itu untuk bertahan hidup.
Segera setelah menyelesaikan tugasnya, para Prajurit itu pun pergi meninggalkan para 'pekerja' kedinginan di tambang itu agar tetap bekerja.
Tak ada satu orang pun yang mengawasi mereka.
Tapi tak ada pula satu orang pun yang kabur dari tambang itu.
Beberapa alasannya cukup sederhana.
Kaki mereka terhubung ke sebuah bola besi yang cukup berat. Membuat mereka kesulitan dalam bergerak.
Mereka berada di bagian dalam pegunungan Rustfell. Dengan kata lain, cukup jauh dari peradaban bahkan jika mengetahui jalannya. Jika tidak, maka mereka hanya akan tersesat.
Badai salju yang sangat kuat akan membekukan mereka setelah 15 menit keluar dari perlindungan tambang itu. Semua itu berkat pakaian mereka yang begitu tipis dan kurangnya makanan untuk menghangatkan tubuh mereka dari dalam.
Dengan kata lain....
Bukannya tak mau untuk kabur. Tapi mereka tak bisa kabur di tengah musim dingin ini. Meninggalkan tambang hanya berarti menjemput kematian tanpa arti sedikitpun.
Sedangkan tinggal di dalam tambang....
Mungkin. Mungkin saja....
Mereka bisa bertahan hidup sedikit lebih lama. Atau bahkan selamat hingga mampu melalui musim dingin ini dan menjemput musim semi untuk kembali bekerja seperti biasa.
Yang mana hanya memperpanjang penderitaan mereka.
Oleh karena itu....
"25! 118! Apakah kalian sudah gila?! Kalian hanya akan mati diluar sana!" Teriak nomor 32 ke arah dua orang Pria yang pergi menjemput badai salju di luar tambang itu.
"Hahaha! Setidaknya kami akan berusaha untuk menyelamatkan diri dari neraka ini!"
Dengan kalimat terakhir itulah, sosok mereka berdua tak lagi terlihat. Dan akhirnya, semua orang melaporkannya kepada prajurit pada keesokan harinya bahwa mereka berdua telah mati di dalam tambang.
Setidaknya....
Itu adalah hal terakhir yang bisa dilakukan untuk mendukung pilihan mereka.
...- Hari ke 3 -...
Nomor 47 atau Pria tua yang cukup dekat dengan Dimas akhirnya telah mati.
Ia mati karena kelaparan sekaligus karena kedinginan. Bahkan tubuhnya begitu dingin dan mulai membeku.
"Biarkan Pria tua ini beristirahat disini. Ia paling suka duduk disana sambil memakan tulang belulang yang diberikan oleh para bangsawan." Ucap Dimas sambil memperhatikan tubuh Pria itu.
Di dalam hatinya....
'47.... Kau benar. Nampaknya, beberapa orang lain akan menyusul mu hari ini.' Pikir Dimas sambil memperhatikan dua orang Pria dengan tubuh yang mulai lemas.
Tulang mulai terlihat di tubuhnya. Bahkan untuk berjalan sekalipun mereka berdua tak lagi mampu.
Dan dengan begitulah....
'ZZAAAAPPPP!!!'
Di saat Dimas berpikir semuanya telah berakhir, pandangannya tiba-tiba berubah.
Goa gelap yang hampir tak memiliki penerangan itu kini berubah.
Nyala obor yang sebelumnya menerangi pandangannya, kini tergantikan oleh cahaya dari ribuan bintang.
Tubuhnya sendiri seakan berdiri di atas samudra yang tiada ujung.
Dan tepat di ujung pandangannya....
"Cyrese.... Setelah sekian lama aku berharap kau membantu, kau baru muncul saat ini ketika aku akan mati?" Ucap Dimas dengan tatapan yang begitu tajam.
Sebuah tatapan yang tak diragukan lagi, dipenuhi dengan kebencian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Semau Gue
jejak
👣👣👣
2023-08-08
1
Whats Shapt
mkin sini baca nya mkin kurng minat
2022-12-23
0
🗝️~>{β¤¢iW@}💨
hahahah
2022-05-27
0