"Reina.... Apa yang kau...." Ucap Dimas dengan jantung yang berdegup begitu kencang. Matanya bergerak kesana kemari karena perasaan gerogi. Hal yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.
Di sisi lain, Reina sendiri terlihat sedikit malu-malu setelah melakukan hal itu.
Tanpa memberi kesempatan untuk Dimas berbicara, Reina telah segera berlari untuk kembali ke dalam kedai Nyonya Mia.
"Tunggu!"
Tapi teriakan Dimas diabaikan olehnya begitu saja. Membuat Pria itu semakin kebingungan dengan situasi ini.
Setelah beberapa saat membenahi dan mempersiapkan dirinya sendiri, Dimas pun segera berjalan kembali ke dalam kedai itu.
Apa yang dilihatnya adalah suasana keramaian karena baru saja selamat dari serbuan Goblin. Banyak gadis yang mengelilingi sosok Reina. Baik untuk berbicara, memuji, maupun mentraktirnya.
Tak jarang juga sosok pemuda di dalam kedai ini yang berusaha mendekatinya dengan menawarkan berbagai jenis makanan dan minuman.
Dan tentu saja, Reina dengan senang hati menerima traktiran itu.
"Hah.... Perut macam apa yang kau miliki?" Pikir Dimas dalam hatinya sambil segera berjalan ke arah salah satu kursi yang kosong.
Ia duduk dengan tenang sambil menikmati suasana ini. Perasaan gugupnya barusan telah hilang sepenuhnya begitu melihat sosok Reina yang begitu bahagia berdansa.
Tiba-tiba, seorang gadis muda datang menghampirinya. Ia memiliki rambut bagian belakang yang dikepang menjadi satu. Sedangkan rambut bagian depannya ditata cukup rapi membentuk poni yang indah.
"Traktiran dari Ibu." Ucap Gadis itu sambil menyerahkan sebuah gelas kayu yang berisi minuman yang berwarna kuning itu. Minuman itu juga terlihat sedikit berbusa.
Tak hanya dirinya, tapi Tina juga membawa segelas untuk dirinya sendiri. Hanya saja minumannya berwarna putih.
"Terimakasih banyak, Tina." Balas Dimas sambil menerima gelas itu.
Tina segera duduk di sebelah Dimas. Memegangi gelas kayunya itu dengan erat.
"Jadi kau akan pergi?" Tanya Tina dengan wajah yang cukup datar. Tapi matanya terlihat melirik ke arah Dimas.
"Kenapa kau berpikir seperti itu?"
"Reina.... Rekan kelompok petualanganmu bukan? Ia baru saja menceritakan hal itu. Mengenai rencana kalian untuk menjaga keselamatan penduduk. Jadi.... Apakah kau akan pergi dari desa ini?" Tanya Tina sambil meneguk susu segar itu dari gelasnya.
"Yah, aku baru disini selama beberapa bulan saja. Bukan hal yang besar bagi desa ini. Jika aku memang akan pergi, bukankah takkan ada yang mengingatku?"
Mendengar balasan itu, Tina meletakkan gelas kayunya dengan keras ke meja itu. Membuat suara yang cukup gaduh, namun kalah jauh dari suasana ramai perayaan ini.
"Tak ada yang mengingatmu? Kenapa kau berpikir seperti itu?" Tanya Tina dengan tenang, tapi kedua matanya hanya fokus melihat gelas kayunya.
"Bukankah pak Tua Zack terlihat sedikit membenciku? Terlebih lagi, Kepala Desa terlihat hanya ingin aku bekerja keras demi desanya saja. Tanpa...."
'Brak!'
Tina memukul meja itu dengan kedua tangannya. Kali ini membuat suara yang cukup gaduh. Cukup untuk membuat beberapa pasang mata memperhatikan ke arah sumber suara.
"Begitu kah? Kalau begitu pergi saja sekarang." Balas Tina dengan kesal sambil segera berlari menjauh.
Nyonya Mia yang melihat kejadian itu dari kejauhan terlihat sedikit menggelengkan kepalanya.
Pada akhirnya, malam yang indah itu pun berubah menjadi sedikit pahit. Semua itu karena Dimas yang terlalu sibuk untuk membuat orang di sekelilingnya terlihat begitu buruk.
......***......
"Uuggh.... Kepalaku pusing." Ucap Dimas pada dirinya sendiri yang baru saja terbangun dari tidurnya.
Pemandangannya sama seperti biasanya. Yaitu pemandangan mengenai puluhan cangkul dan sekop, serta berbagai alat yang lainnya.
Kasurnya adalah tumpukan jerami, dengan bantal berupa karung kecil yang diisi jerami lalu dijahit. Cukup untuk meletakkan kepala di suatu tempat yang empuk.
Sedangkan selimutnya hanyalah sambungan dari puluhan potongan kain yang tersisa oleh penjahit di desa ini. Cukup untuk membuatnya tidak merasa kedinginan pada malam hari.
"Sudah pagi ya? Nampaknya aku terlalu lama begadang semalam. Sekarang.... Saatnya kembali bekerja." Ucap Dimas pada dirinya sendiri.
Ia bangun dari tidurnya dan mengambil sebuah topi jerami. Mengganti pakaiannya menjadi pakaian dengan lengan yang cukup panjang, serta celana kain yang panjang.
Sedangkan untuk kakinya sendiri Ia mengenakan sepatu kulit yang cukup tinggi sehingga mampu melindunginya dari panas, kerikil dan juga hewan-hewan yang ada selama berada di lahan.
Dengan tangan kanannya, Ia mengambil sebuah cangkul pribadinya. Cangkul itu selalu diasah hingga tajam untuk memudahkannya bekerja. Dan diatur sedemikian rupa sehingga sudut ayunannya sesuai dengan tubuh Dimas.
Pada saat Ia keluar dari gudang peralatan itu....
Terlihat keramaian di tengah desa. Puluhan orang, terutama gadis dan juga anak-anak kecil.
Merasa penasaran, Dimas pun mencoba melihat kerumunan itu lebih dekat sebelum berangkat ke lahan. Sesampainya disana....
'Swuutt! Wuuutt!!!'
"Hyaaat!"
Apa yang ada di tengah kerumunan itu adalah sosok Reina yang sedang mengayunkan pedangnya kesana kemari. Posisinya sungguh baik, dengan gerakan yang mulus.
"Kyaaaa!"
"Luarbiasa sekali!"
"Kau sangat keren kak Reina!"
"Di masa depan aku juga akan menjadi Ksatria Pengembara!"
Banyak gadis dan juga anak kecil mulai mengagumi sosok bernama Reina itu. Mereka melihat gadis dengan zirah kulit yang sebagian besar telah dijahit dan ditambal itu berlatih.
Meski terlihat begitu keren dan hebat, Reina sebenarnya sama sekali belum menguasai teknik berpedang dengan baik dan benar. Ia hanya menciptakan gerakannya sendiri sesuka hatinya.
Tapi apa yang membuatnya cepat belajar adalah skill bakat berpedang yang diperolehnya dari dunia surgawi oleh Dewi Silvie.
"Hufff...."
Reina terlihat menghela nafasnya. Secara perlahan mengatur pernafasannya yang telah kelelahan itu.
Sedangkan pedang yang sedari tadi diayunkan kesana kemari, kini telah beristirahat kembali di sarung pedangnya yang ada di pinggang gadis itu.
Setelah melirik beberapa saat ke berbagai arah, Reina melihat sosok Dimas yang sedang melihatnya berlatih.
"Dimas! Kau disini?! Ayo berlatih bersamaku!" Teriak Reina dengan keras sambil melambaikan tangan kanannya.
Tapi Dimas hanya memalingkan wajahnya dan segera kembali berjalan. Menjawab tawaran Reina dengan singkat.
"Maaf aku masih perlu bekerja." Balas Dimas yang segera pergi untuk kembali bertani.
Reina yang melihatnya membawa cangkul di bahu kanannya itu hanya memiringkan kepalanya.
"Ah benar juga. Kau masih perlu bekerja ya? Kalau begitu aku akan terus berlatih disini."
Tapi balasan Reina itu tak terdengar hingga ke telinga Dimas.
Segera setelah itu, Ia pun kembali berlatih. Bersama dengan belasan anak kecil yang terus mengidolakannya.
Sementara itu....
"Oh? Kau kemari?" Tanya pak tua Zack kepada Dimas.
"Tentu saja. Bagaimana aku bisa makan jika aku tidak bekerja, dasar pak tua sialan." Balas Dimas yang segera melanjutkan pekerjaannya kemarin. Ia langsung mengayunkan cangkulnya tanpa menunggu perintah.
Mendengar celaan dari Dimas, Zack justru hanya tertawa keras.
"Buahahaha! Kau barusan menyebut pria tua ini sialan? Dasar bocah sialan!" Teriak pak tua Zack yang segera merangkul Dimas.
"Hentikan dasar kakek sialan! Keringatmu bau! Menjauh lah dariku!"
"Nampaknya, kekhawatiran dik Tina hanya berada di dalam pikirannya saja." Balas Zack dengan pelan.
"Apa yang barusan kau bilang?"
"Masih muda tapi sudah tuli? Kau benar-benar bocah yang tua ya?"
Perkelahian ringan antara dua orang itu pun terus berlanjut. Meski begitu, takkan ada yang menyangkal bahwa keduanya sangat akrab.
Termasuk Tina yang baru saja datang ke gazebo di dekat mereka berdua untuk membagikan makanan ringan.
'Bukankah kau terlihat akur?' Pikir Tina dalam hatinya sambil tersenyum.
Itu karena Dimas baru tiba ketika matahari hampir berada di titik tertingginya. Atau dalam bahasa modern....
Pukul 10.30
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Semau Gue
jejak
👣👣👣
2023-06-25
2
Hanachi
kaki nya dimas yang kena tebasan goblin sudah sembuh kah?
2022-11-07
0
ꇙꋬ꓄ꌦꋬ ꀘꏂꋊꉔꋬꋊꋬ
11.59?
2022-08-29
0