Jean menyadari bahwa paman dan bibi Jhonson masih baik-baik saja ketika mendengar suara mereka. Jean langsung menoleh ke belakang dan melihat mereka berdua berlari menghampirinya. Keduanya langsung memeluk Jean pada saat mereka sampai di depan bocah itu.
"Jean!! Syukurlah kamu baik-baik saja nak. Kami sangat mengkhawatirkan dirimu."
Bibi Jhonson menangis ketika memeluk Jean. Jean juga. Dia memeluk bibi dan pama Jhonson dengan erat sambil menangis. Pelukan dari mereka berdua sangat hangat. Rasa gelisah dan rasa takut yang daritadi terus menghantui Jean sekarang telah menghilang.
Keduanya mengajak Jean untuk masuk ke dalam reruntuhan rumah yang mereka tempati. Masih ada beberapa bagian yang layak huni. Jadi Jean ditempat di salah satu kamar yang ada di sana.
Mungkin karena sadar bahwa Jean terlihat cukup kurus daripada yang terakhir kali mereka lihat, bibi Jhonson menghidangkan makanan untuknya. Itu adalah sebuah roti hangat berukuran sedang dengan sup ikan hangat sebagai pelengkapnya. Ada juga kentang rebus yang telah ditumbuk.
Untuk minumnya, bibi Jhonson memberikan segelas sari apel dengan madu hangat. Jean langsung memakannya dengan lahap. Sudah berapa lama dia tidak makan sesuatu seperti ini? Yang kemarin ia makan hanyalah cacing, tikus, dan terkadang cicak.
Sedikit lebih baik ketika dia masuk ke dalam hutan, tetapi dia hanya bisa membakar hewan yang berhasil dia tangkap.
Setelah Jean puas, dia menoleh ke arah paman dan bibi Jhonson yang ada di depannya. Dengan suara sedikit bergetar, dia bertanya kepada mereka berdua.
"Paman, bibi. Sebenarnya apa yang terjadi di desa kita? Kenapa semua rumah terbakar dan semua orang kehilangan nyawa mereka? Apakah masih ada yang selamat diantara kita?"
Itu adalah pertanyaan yang bertubi-tubi. Paman dan bibi Jhonson sudah memperkirakan kalau pertanyaan ini akan keluar dari mulut Jean. Karena itu, dengan suara yang juga bergetar, paman Jhonson mulai menjelaskan semua yang terjadi.
Pada saat itu, keadaan desa baik-baik saja. Semua orang beraktivitas seperti biasanya. Laki-laki dan perempuan dewasa pergi ke ladang gandum dan kebun mereka karena masa tanam sudah tiba. Anak-anak bermain di rerumputan pedesaan. Tidak ada yang aneh soal itu.
Namun, beberapa hari kemudian, awan gelap itu mulai datang. Desa mereka diserbu oleh para bandit. Jumlah mereka lebih dari seratus. Mereka memiliki pedang, tombak, dan busur.
Yang pertama kali mereka lakukan pada saat masuk ke desa ini adalah membunuh setiap orang dewasa yang lewat di depan mereka. Mereka lalu menangkap anak-anak dan remaja serta menjarah seluruh rumah. Mereka mengambil ternak, gandum, dan semua harta benda milik penduduk desa.
Para bandit juga mengumpulkan semua penduduk desa di tengah lapangan. Mereka memilah para gadis dan anak muda yang ada di desa ini lalu memaksa mereka untuk ikut dengan para bandit itu. Termasuk diantaranya adalah Svetlana, ibu Jean, dan Jeanne.
"Mereka berjanji untuk tidak membunuh sisanya dan membiarkan yang lain selamat jika Svetlana ingin menuruti perintah mereka. Karena itulah meskipun dia bisa melawan, Svetlana dan Jeanne tetap ikut bersama mereka. Tapi......"
Paman Jhonson berhenti sejenak. Dia menghirup nafas lalu menghembuskannya lagi. Mungkin agar dirinya menjadi sedikit lebih tenang. Tapi Jean tahu kalau amarah, benci, takut, dan perasaan buruk lainnya memenuhi diri paman Jhonson. Dia bisa merasakan hal itu.
"Tetapi mereka....para bajingan itu.....para bajingan itu melanggar apa yang mereka janjikan!! Setelah Svetlana, Jeanne, dan yang lainnya dibawa pergi oleh para bandit itu, mereka menembaki anak-anak, wanita, orang tua yang tidak ikut dengan mereka menggunakan anak panah!!
"Tidak hanya itu, mereka juga menzinahi para wanita dan anak-anak kecil lalu menggorok mereka setelah itu! Lalu semuanya dibuang ke galian yang sudah mereka ciptakan serta membakar semua rumah yang ada di desa ini!
"Kami berhasil selamat karena pada saat itu kami bersembunyi di hutan. Kami melihat semua kejadian itu tetapi kami tidak bisa melakukan apapun.....maaf...maafkan kami, Jean!"
Paman Jhonson mulai menangis. Dia bersujud di hadapan Jean sambil memegangi kakinya, seolah memohon pengampunan. Namun Jean hanya menatap kosong. Pikirannya seolah tidak bisa memproses semua cerita tadi.
"Begitu....Ibu dan kakak telah diambil oleh mereka....begitu. Lalu, bagaimana dengan ayah? Kenapa dia tidak membangun ibu dan kakak?"
Paman Jhonson terlalu sibuk menangis sehingga tidak mendengarkan apa yang Jean tanyakan. Sebagai gantinya, Bibi Jhonson mulai menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada ayahnya.
"Jean, enam bulan yang lalu, ayahmu datang dengan diantar oleh seorang pedagang dari ibukota. Dia terluka sangat parah dan sebelum kesadarannya menghilang, dia mengatakan kepada kami berdua dan ibu serta kakakmu bahwa kamu telah diculik oleh para ksatria.
"Dia lalu tidak sadarkan diri hingga 14 hari lamanya. Lalu di hari ke 15, Nicholai menghembuskan nafas terakhirnya. Dia meninggal karena luka parah yang Ia derita."
Sampai sini, bibi Jhonson tercekat. Dia jelas masih tidak bisa menerima kematian Nicholai. Paman dan bibi Jhonson menganggap kalau keluarga Jean adalah keluarganya juga. Bibi Jhonson ingin melanjutkan kalimatnya tapi dia tidak kuasa.
"Cukup bibi. Cukup paman. Aku sudah memahaminya. Terimakasih karena sudah ingin menceritakan hal ini padaku. Aku akan keluar sejen...."
"Jangan Jean!!"
Bibi Jhonson memegang tangan Jean sembari menangis. Air matanya bercucuran ke kasur tempat mereka semua duduk.
"Di luar sangat berbahaya. Tolong, tinggal lah di sini sejenak. Besok, aku akan membawamu ke makam Nicholai."
Jean hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun. Tiba-tiba rasa lelah yang amat sangat menyerang dirinya hingga tanpa sadar dia jatuh tertidur.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Pagi harinya, setelah Jean kembali menjalankannya latihan rutinnya, meskipun kali ini tanpa ibu dan kakaknya, mengunjungi makam ayahnya bersama paman dan bibi Jhonson.
Itu hanya makam sederhana. Hanya gundukan tanah dan sebuah plat kayu yang tertancap di sana, bertuliskan nama Nicholai. Jean hanya berjongkok di depan kuburan ayahnya sambil mengelus plat kayu itu. Paman dan bibi Jhonson meninggalkan dirinya sendirian di sana.
"Ayah.....Kau benar. Hidup tidak adil dan akan selalu tidak adil. Mereka yang kuat akan selalu menindas yang lemah. Mereka yang di atas akan selalu melecehkan yang dibawah.
"Ayah.....dunia ini kejam. Itulah yang selalu kau katakan padaku. Dan kau lagi-lagi benar. Dirinya dikendalikan oleh orang-orang bodoh yang zalim. Mereka membunuh atas nama para Dewi, menumpahkan darah atas nama kesejahteraan, dan membantai atas nama keadilan.
"Karena itulah ayah, Aku akan menjadi semakin kuat. Aku akan berada di atas. Setelahnya, aku akan mendeklarasikan perang pada kehidupan dan dunia yang keji ini, menggulingkan otoritasnya, dan membangun dunia baru di atas darah dan mayat yang tertumpah."
Jean lalu mengelus pedangnya dan menggores telapak tangannya. Darahnya bercucuran ke tanah tempat pembaringan abadi ayahnya.
"Inilah sumpahku padamu, ayah. Biarkan tanah, pohon, langit, dan rumput yang aku pijak menjadi saksi. Terimakasih atas bimbinganmu selama ini."
Jean lalu membungkus lukanya dengan kain, bangkit, dan meninggalkan kuburan ayahnya. Dia mampir sebentar ke reruntuhan rumah keluarganya. Dia mengais sisa-sisa reruntuhan.
Syukurlah, masih ada beberapa buku yang belum rusak. Ada juga dua kotak dan satu tas kecil berisi koin uang dan beberapa pakaiannya yang masih cukup bagus. Jean mengambil semua itu lalu membungkusnya dengan kain besar dan mengangkatnya.
Dia menghampiri paman dan bibi Jhonson. Keduanya memegang sebuah kotak. Wajah mereka terlihat sangat sedih. Bibi Jhonson bahkan menangis.
"Jean, kami mengerti bahwa suatu saat nanti kau pasti akan meninggalkan desa ini. Tapi kami berdua tidak pernah menyangka bahwa kau akan pergi secepat ini."
Paman Jhonson lalu memberikan kotak itu pada Jean.
"Ambil ini. Di kotak ini tersimpan simpanan kami selama beberapa tahun terakhir. Semoga cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupmu di luar sana."
Jean terkejut. Dia mencoba untuk menolak tetapi keduanya memaksa untuk mengambilnya. Kami sudah tua dan akan tetap tinggal di tempat ini hingga ajal menjemput. Jadi kami tidak membutuhkan uang-uang ini. Begitulah kata mereka.
Pada akhirnya, Jean menerima kotak itu. Dia sangat berterimakasih kepada mereka berdua dan memeluk keduanya. Dia menangis bersama dengan kedua orangtua ini. Mungkin ini adalah terakhir kalinya mereka akan bertemu. Karena itulah, perasaan sesak memenuhi dada Jean.
"Selamat tinggal, Paman, bibi. Terimakasih untuk semuanya. Mari kita bertemu kembali. Kelak, ketika semuanya berakhir."
Jean mengatakan itu kepada keduanya sebelum pergi meninggalkan desa tempat dia dibesarkan oleh keluarga tercintanya dan orang-orang yang peduli padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 244 Episodes
Comments
Jackson Maswatu Maswatu
the real kata kata seorang anak kecil yang sudah muak dengan dunia....
2024-03-21
0
huff
sedih bet
2022-07-23
0
Ferry Andy
lanjut thor
2022-06-19
0